Elina Isabella tak ingin mudah percaya dengan ucapan lelaki yang selama ini selalu menemani dirinya dalam situasi apapun, dengan keyakinan hatinya saat ini pun wanita tersebut merasakan sebuah kegoyahan dan sebuah keraguan atas perasaan Bian yang entah itu atas dasar hal yang tulus atau hanya sebatas nafsu saja.
Bagi dia tak akan semudah itu untuk mempeberikan sebuah kepercayaan, hidup yang di jalani sudah cukup rumit, maka Elina pun tak ingin membuat keadaan semakin tak baik hanya karena rasa cintanya pada Bryan berujung pupus.
Masih banyak hal yang lebih penting dari ini, bahkan segalanya membutuhkan uang dan tak cukup bila hanya akan memakan cinta. Terkadang Elina hanya bisa membayangkan kehidupan yang selalu tak baik seperti ini, apalagi orang tua yang sudah pergi dengan pilihan masing-masing begitu mudah tanpa merasa ada beban pada pundak mereka.
"Sudahlah Byan kamu ikuti saja, apa yang menjadi keinginan orang tua kamu. Bila denganku tak mungkin ada harapan," jelas Elina, mengalihkan pandangan dari kedua bola mata yang sejak tadi memandangi wajahnya.
"Kenapa kamu selemah ini, bukan kamu juga mencintaiku Isa?" sambil menarik tangan Elina perlahan-lahan.
"Hahha, cinta? Sudahlah, semua hal juga bukan hanya tentang cinta, masa depan kamu masih panjang jadi apa yang menjadi keinginan mereka lakukanlah. Selagi, belum menimbulkan masalah baru," cetus gadis tersebut sambil menghempaskan tanganya begitu saja, berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.
Serasa membutuhkan tenaga yang ekstra bagi Isa untuk mengatakan semua ini pada Bryan bila dirinya seolah-olah tak peduli akan perasaannya.
"Kenapa kamu berkata begitu Isa, aku hanya mencintaimu!! Percayalah," ucap Byan dengan nada tinggi.
Berjalan menyusul Isa yang tengah menengguk segelas air, tak mengira bila keadaan cintanya akan seperti ini. "Apa kamu perlu bukti?" ucap Byan, dengan tatapan sinis.
"Jangan berbuat nekad Bryan, aku ini hanya perempuan remahan. Sedangkan kamu sudah di pilihkan berlian oleh orang tua kamu, jadi turuti saja apa yang menjadi keinginan mereka. Dan satu lagi, aku tidak butuh bukti apapun, sejak awal kita ini hanya berteman dan tak lebih dari itu," terang Elina, dengan nada yang tegas. Tak mau kalah lagi dari lelaki yang ada di depannya ini, Isa merasa bahwa dirinya memang harus bersikap lebih tegas agar Byan tak bergantung lagi pada dirinya.
Untuk kehilangan seoarang Elina Isabella terasa berat untuk Bryan, karena hal itu tak akan mungkin terjadi dalam hidupnya. Hanya dengan wanita yang tepat di depan matanya ini hati dan pikirannya kembali membaik. Kini, hanya sebuah perjodohan yang semuanya akan kandas begitu saja.
"Sudah hentikan Elina!!" bentak Byan merasa sangat muak akan perkataan gadis ini. "Sampai kapan pun aku tak akan melepaskanmu, dan perjodohan ini juga tak akan pernah berlanjut. Kamu harus ingat apa yang aku katakan saat ini,"
"Bagaimana untuk aku bisa percaya dengan kata-katamu Bryan, jaminan apa yang akan kamu berikan padaku, apa kamu yakin bila suatu saat nanti perasaan mu tak akan berubah?" pesimis Elina, dengan gaya hidup Byan yang tak pernah berhenti dari wanita-wanita cantik.
Mendekati Elina yang sedang duduk di kursi, lalu menarik tangannya dan menatap kedua bola mata yang indah, segalanya yang di katakan oleh Bryan terasa sunguh-sungguh namun, tak semudah itu untuk percaya pada seoarang lelaki yang terkenal dengan julukan buaya.
"Apa kamu ingin kita menikah siri?" ajak lelaki tersebut, tanpa ada kedipan sedikitpun ketika memandang Elina.
Jantung berdetak tak karuan, semua terasa kaku mendengar apa yang di katakan lelaki ini.
"Apa kamu sudah gila ya Bryan!! Menikah siri, kamu pikir itu gampang. Hah?? Terus kamu bisa meninggalkan aku kapan pun kamu mau, kamu jahat banget sih!" sela gadis tersebut, berdiri hingga tatapan yang semulanya teduh berubah menjadi penuh amarah, dengan pikiran yang tak menentu akan lelaki yang ada di hadapannya saat ini.
"Aku hanya kamu yakin denganku Elina, bila aku benar-benar mencintai kamuu," jelasnya, sambil mengepal tangan Elina, berharap bila wanita di hadapannya dapat percaya.
"Sudahlah, jangan katakan hal bualan lagi lebih baik kamu pergi dari dari sekarang!!!" usir Elina, dengan hati yang sudah geram. Tak pikir panjang lagi Elina pun langsung masuk ke dalam kamar.
*Brakkkk!!
Suara pintu yang keras hingga membuat tetangga kontrakan pun merasa tak nyaman, "Heh! ada apa si! Anak gua masih bayi kalau di nangis lu mau tanggung jawab," asal suara yang terdengar dari pintu.
Byan pun langsung menghadang pintu agar tak terjadi keributan lagi, "Ibu maafkan tingkah Elina yaa, itu tadi Cuma nggak sengaja," tutur Byan dengan nada yang lembut.
"Bodo amat apapun urusan kalian gua nggak peduli, tapi tolong toleransinya. Gua ini punya anak, jadi jangan seenaknya!!"
"Iya buk, maafkan kami,"
"Lu nikah aja sana, dari pada di grebek warga yang ada bakalan malu sendiri kalian. Belum nikah udah kumpul kebo aja kalian," cetus tetangga tersebut dengan tatapan sinis.
Terkadang apa yang di katakan para tetangga memang benar, namun terasa menyakitkan sekali di hati Elina. Bila meminta Byan untuk berhenti datang ke sini, ia juga merasa kesepian serasa hidup sebatang kara.
***
Tawaran Byan untuk menikah siri masih terngiang dalam pikiran Elina hingga terasa bimbang dalam mengambil keputusan, namun jika ia mengiyakan tawaran Bryan akan terasa sakit sekali bila Amora tau yang sebenarnya dan belum lagi bila kedua keluarga mengetahui hal ini dan menganggap dirinya seoarang pelakor yang tak tau malu.
"Heh!! Lu kerja yang bener dong, disini juga lu di gaji benar-bener," senggol Reno melihat karyawannya bertingkah tak professional.
"Ehh, iya," dengan nada spontan.
"Lu kalau kerjanya nggak bener, bakalan gua potong gajinya lu," ancam manager club dengan nada ketus lalu pergi melanjutkan langkahnya melihat keadaan dalam club malam.
"Huh!! Gua ini kenapa sih, kenapa pikirannya jadi begini," dengus Elina, dalam hati sambil memegang kepala yang terasa pusing.
Prihatin sekali melihat kehidupannya saat ini, tak ada tempat untuk bergantung dan harus menjadi tulang punggung adiknya yang masih membutuhkan banyak biaya. Bahkan untuk mengeluh pun tak ada orang lagi pikirannya hanya kerja untuk makan dan sekolah Sindy.
"Lu kenapa Elina? Pusing ya?"
"Elsa," tersenyum tipis. "Enggak kok, ini cuma pusing biasa nanti kalau minum obat juga sembuh," jawabnya sambil tersenyum.
"Lu yakin? Apa mau gua anterin ke ruang istirahat, agar pikiran lebih tenang," merasa ragu saat melihat Elina yang terus memegang kepala, dengan keadaan menunduk.
"Enggak apa-apa, jangan khawatir. Gua ini kuat kok, udah sana lu lanjut kerja, ketahuan si Reno bisa kena omel ntar," ledek Elina, meski kepalanya terasa cukup pusing.
"Hahaha, bisa aja lu. Ya udah gua mau lanjut ke depan,"
"Oke, Saa," tersenyum tipis, menatap temannya hingga jauh dari pandangnya.
"Oh Tuhann, gua ini kenapa sih. Gua nggak pantes ngeluh, ini bukan saatnya buat lu ngeluh Elinaa, ayo kuat dan kerjaaa!!!" ujarnya dalam hati sambil berjalan ke arah dapur, meskipun hanya dengan meraba dinding.