Sebagai calon istri dari Bryan Sandavid, Amora berusaha untuk bersikap sopan, dan menerima segala perkataan yang di lontarkan oleh calon suaminya ini. Bila tak di latih dari sekarang maka hatinya tak akan mungkin terbiasa dengan perkataan Bryan yang sangat menyakitkan hati bila di dengar dengan baik. Apa lagi perjodohan ini adalah impiannya sejak dulu, dan berharap dapat menjadi kenyataan dan lelaki itu akan seutuhnya menjadi miliknya, penuturan yang telah di berikan oleh mami dan papinya selalu Amora jaga dengan baik, agar tak ada pandangan buruk terhadap dirinya atas semua hal ini.
"Sudahlah tante, biarkan saja kalau Bryan ingin pergi. Aku nggak apa-apa kok, salah aku juga karena datang di saat yang tak tepat," ujar Amora dengan nada yang lembut.
"Sudah, jangan di pikirkan apa yang di katakan oleh dia. Jika, tak di larang dari sekarang maka dia pun akan semakin kebiasaan juga keluar malam," ungkap Ajeng sambil mengusap pundak calon menantunya ini.
"Sudah duduk dulu," ujar Ajeng berusaha membuat Amora tenang. "Kamu yang sabar ya, jangan di masukkan hati, dan kamu juga calon istri dia maka dari itu kamu wajib tau apa saja yang dia lakukan," lanjut wanita tersebut, sambil tersenyum.
Atas sikap Bryan yang sedikit tak sopan pada Amora, jangan sampai membuat hubungan yang selama ini terjalin baik dan begitu hangat beralih pada keburukan dan permusuhan.
"Ma, Pa, aku pergi dulu ada urusan penting," ujar Bryan, dengan hati yang kekeh.
"Urusan apa lagi si nak? Banyak sekali urusan kamu nih?"
"Penting pah, penting banget. Aku berangkat dulu," pamit Byan sambil menyalami tangan kedua orang tuanya. Tapi, tidak sedikit pun terbesit senyuman untuk Amora walaupun gadis itu berada di samping mamamnya.
"Ada urusan apa sih, si Bryan. Kenapa kelihatannya panik banget, apa dia ada perempuan lain ya?" ujar Amora dalam hati. Karena, selama ini lelaki itu selalu saja mengacuhkan dirinya dan beranggapan bahwa dia sama sekali tak memiliki calon dan hal ini juga patut untuk di pertanyakan.
"Heh" meraih tangan Amora, dengan lembut. "Kamu kenapa bengong, jangan sedih kita makan sama-sama aja yok?" ajak istri Alan.
"Iya nak, kita makan bersama. Biarkan saja Bryan, mumpung belum menikah maka puaskan saja keluar malam dari pada nanti sudah menikah akan semakin sulit seperti papa ini," gumam Alan, sambil tersenyum melirik ke arah istrinya yang berada di depan matanya.
"Hahaha, iya om. Bener juga yaaa," sahut Amora, memandang kedua pasangan suami istri yang terlihat begitu bahagia akan kehadirannya dalam rumah ini.
"Ya sudah makan yuk,"
"Ayo tante," dengan nada semangat, meskipun dalam hati ia begitu bertanya-tanya akan kepentingan apa yang sedang Bryan lakukan.
30 menit berlalu tapi, Elina belum juga sadar hal ini membuat Elsa merasa khawatir dan bingung tindakan apa yang harus di lakukan agar temannya ini kembali pulih dan membuka matanya.
"Haduh, lu kenapa belum sadar juga sih?" melihat keadaan yang sepi, membuatnya tak tega untuk meninggalkan Elina sendirian. Namun, bila tak melanjutkan pekerjaan maka Reno manager gila itu akan mencemooh dirinya.
"Hish, mana si Bryan. Kok nggak datang-datang," penuh keadaan yang resah. Sebelumnya Elina yang selalu ceria tak pernah mengeluh akan sakit hingga jatuh pingsan seperti ini.
"Elsa, mau sampai kapan kamu aka berada di situ. Ap kamu tidak butuh gaji?" dengan nada ketus.
"Tapi, bagaimana dengan Elina pak? Sedangkan dia sampai sekarang belum juga sadar?"
"Sudahlah tinggal saja dia, tak ada yang meminta dia untuk masuk kerja bila keadaanya seperti ini," jawab Reno, dengan nada ketusnya. Ia tak ingin bila sampai para konsumen memberikan penilaian buruk atas Club ini yang ada dirinya juga yang akan terkena masalah dari atasan.
Mau tak mau, dan sudah taka da pilihan lain lagi bagi Elsa, walaupun hatinya merasa tak tega tetap harus di lakukan demi menjaga ke profesionalan dalam bekerja. Namun, sebelum itu ia sudah lebih dahulu mengirimkan pesan pada Bryan yang sebentar lagi akan datang ke mari.
*Bryan, lu buruan kemari deh. Soalnya Elina sendirian, nggak ada yang jagaian si Reno ngomel-ngomel kalau gua nggak kerja, kamarnya seperti biasanya*
"Nahh, semoga saja si Bryan cepat kemari deh. Supaya Elina ada yang jagain sumpah nggak tega banget rasanya," ujarnya dalam hati, dengan tatapan iba melihat temannya terbaring.
Melihat keadaan di luar cukup ramai, Elsa kembali melanjutkan pekerjannya, bila terlihat dengan yang lain hanya akan timbul rasa iri. "Gimana teman lu? Apa dia udah sadar?" dengan tangan menghadang hingga membuat langkah Elsa terhenti.
"Lu jadi orang kepo banget, tapi giliran peduli aja nggak terbesit dalam hati lu," tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan apa yang di katakan oleh Erika karena, ia tau bila dia hanya sekedar ingin tau saja, namun tidak untuk rasa tulus dalam berteman.
"Argh!!! Mana jalanan macet lagi!" keluh Bryan, melihat di depannya banyak mobil yang mengantri. Mungkin bila mengenakan motor tak aka nada hal kemacetan seperti ini, namun untuk mencari aman taka da pilihan lain lagi kecuali menggunakan mobil.
"Ini semua gegara Amora yang buat gua terhenti untuk datang ke Club," ujarnya, sambil terus saja mengomel dalam hati.
"Gua telpon Elsa aja deh, biar tenang tau keadaannya Elina," ucapnya sambil meraih ponsel.
Belum sempat menghubungi teman Elsa, ternyata dia sudah mengirimkan pesan.
"Argh!!! Si Isa sendirian, sialan kalau dia kenapa-kenapa gimana coba, secara disana tempatnya lelaki jalang," celetuk Bryan dengan hati yang tak menentu.
Perjalanan yang cukup rumit bagi kedua insan yang saling mencintai namun, harus terhalang oleh keadaan yang tidak memungkin bersatunya mereka di setujui oleh berbagai pihak. Namun, rasa sayang Byan untuk Elina tak pernah main-main, meskipun terkadang hidupnya penuh dengan wanita yang hanya menjadi pemanis saja.
Keadaan Isa yang sudah tak memiliki apapun, terkadang membuat pikiran Bryan terbuka bila wanitanya ini sangat membutuhkan dukungan untuk kehidupan di masa mendatang.
*Brakkk!!
Menatap Elina tak sadarkan diri, membuat hati Bryan tersentuh dan sakit tak selayaknya Elina mendapatkan semua ini hidup dia sudah cukup berat. Entah apa yang sedang wanita ini pikirkan hingga membuatnya pingsan.
Wajah pucat, dan tubuh yang kian kurus, membuat membuat hati lelaki itu tersayat.
"Apa saja beban pikiranmu sayang, kenapa tak ingin berbagi denganku?" ucap Byan, sambil mencium tangan Elina berulang kali.
"Aku ada disini, hanya untuk kamu. Sampai kapan pun perasaan ini tak akan pernah berubah. Dan aku janji perjodohan itu tak akan pernah berlanjut, karena aku hanya ingin denganmu Elina tidak bersama Amora," lanjut Byan, dengan linangan air mata yang sudah membendung.