Raya yang tak lain adalah mama kandung dari Sindy dan Elina tak kuat menahan perihnya hati ketik kedua matanya menyaksikan bahwa putrinya sedang tak berdaya. Tak pantas rasanya bagi ia di panggil dengan seorang ibu terbaik, dengan keras hati membiarkan putrinya banting tulang hanya demi mendapatkan secui nasi. Sedangkan dirinya tengan asyik menjalin asmara dengan lelaki yang di cintainya, mengorbankan perasaan kedua putrinya hanya karena, keinginan masing-masing untuk bersama dengan orang yang di cintainya terlihat seperti keputusan yang jahat sekali.
Orang tau memang tak sepantasnya melakukan hal seperti itu, namun bagi seorang Raya taka da pilihan lain lagi, ia juga tidak ingin kehilangan orang yang paling di cintai selama ini, meskipun harus mengorbankan anak. Bila membawa keduanya, ia tak memiliki nyali yang cukup belum tentu juga pacarnya menyukai kedua anaknya.
"Tante tidak ingn kehilangan pacar yang selama ini di perjuangkan, maka dari itu tante minta kamu jaga Elina dengan baik. Tante percayakan sama kamu ya," satu tangan kanan menompangi pundak gagah Bryan, lalu tersenyum tipis dengan tatapan penuh harapan.
"Iya tan, akan saya usahakan untuk menjaga Elina dengan baik. Selama ini juga saya melihat dia merasa kasihan harus berjuang sendirian, namun bagaimana lagi dia tak pernah mau di berikan uluran tangan maka dari itu, seperti ini jadinya," jelas Bryan, membalas senyuman wanita tersebut.
"Ya sudah, kamu jaga dia baik-baik ya. Tante pamit mau pulang dulu, masih banyak urusan yang harus di selesaikan, permisi,"
Menatap kepergian wanita tersebut hingga bayangannya hilang dari kedua matanya. Begitu miris bagi Bryan mendengarkan penjelasan dari orang tua Elina yang mengorbankan semuanya termasuk anak demi kekasih yang paling dia cintai.
"Ada orang tua seperti itu, kasihan Elina yang harus menghadapi orang tua egois," heran Bryan sambil geleng-geleng kepala.
Wanita yang ada di hadapannya saat ini memang begitu layak untuk di cintai, meskipun dalam keluarga tak ada yang mencintai dia dengn tulus, masih ada dirinya yang tetap menerima Elina dengan setulus hati.
"Auwww, sakit sekali kepalaku? Apa yang sudah terjadi sama gua?" rasa pusing yang begitu kuat membuat tatapan sedikit kabur, hingga sulit untuk mengenali keadaan yang ada di sekitarnya.
"Lu jangan banyak gerak dulu, lu istirhat aja ya," ujar suara lembut, dengan senyuman.
"Siapa ya? Dari suaranya sepertinya gua kenal?" tebak Elina,
"Gua Elsa," tersenyum menatap Elina yang akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.
"Apa yang suah terjadi sama gua? Kenapa gua begini?" tanyaku, kepala yang masih terasa pusing membuat otak tak bisa mengulas apa yang sudah terjadi silam hingga membawa tubuh ini ke rumah sakit.
*Krekkkk,,,
"Loh, Elsa? Sejak kapan lu ada disini?" menunjuk, dengan kening yang mengkerut.
"Baru aja gua datang, dan pas bangun si Elina siuman," balasa Elsa, duduk di samping Elina.
Melihat wanita yang paling ia cintai sudah membuka mata kembali membuat hati Bryan terasa bahagia sekali, yang selama ini dirinya tunggu akhirnya.
"Kamu sudah sadar," menghampiri Elina dengan wajah bahagia, hingga membuat gadis tersebut merasa heran dengan perlakukan lelaki ini, "Apaan si kamu Byan, lebay banget deh. Orang aku baik-baik aja kok," celetuk Elina, dengan wajah sinis.
"Selama ini aku panik banget, dan ketik kamu sudah membuka mata tenang banget hati ini," ungkap lelaki tersebut.
"Sejak kapan kamu jadi manusia super lebay, sudah deh nggak perlu berkata seperti itu yang ada aku ilfil sama kamu," dengus Isa, dengan wajah masam. Melihat tingkah lelaki yang berdiri di hadapannya ini tak biasa sama sekali.
"Hihh gemes banget sih kalau sudah cerewet begini," ledek Byan sambil mencubit hidung Elina.
"Sakit tauuu,"
"Hahaha, sudah jangan bertengkar. Makan yuk, aku bawa makanan banyak nih untuk kalian," ajak Elsa, membuka bungkusan yang sudah ia siapkan dari rumah.
"Tadi gua udah di kasih makanan, Sa,"
"Hah! Siapa?" sontak Elina terkejut dengan perkataan lelaki yang ada di hadapannya ini.
"Katanya sih teman kamu, sayang. Namanya Erika," jawab Byan dengan polos, sambil memperlihatkan apa yang sudah di bawakan oleh wanita tersebut untuk dirinya dan juga Elina.
"Diaa! Wahh, jangan Byan kalau hal yang berurusan sama dia itu pasti ada nggal beresnya. Erika orangnya kepo dan usil, bisa aja di makanan ini ada racunya," tebak Elsa, melihat dari tingkah Erika pada dirinya sehari-hari tak memungkinkan bila wanita itu baik tanpa ada sesuatu yang membuat dia menjadi baik.
"Ah masa?" ragu Byan.
"Iya, nih. Lu jangan souzon dulu deh, siapa tau memang niat dia baik?" lanjut Elina.
"Kalina berdua nih ya, pada ngeyel banget gua bilangin. Si Erika itu nggak suka sama Elina, karena dia terlalu dekat sama elu. Kalau pun berbuat baik pasti ada maunya," tegas Elsa. "Jangan sampai kalian berdua terhasut dengan rayuan mereka!!" lanjut Elsa, hatinya sudah geram dengan Erika yang mampu melakukan segala hal yang untuk mencapai yang dia inginkan.
"Yeyy, gua mah biasa aja sama Bryan. Dia aja nih yang kegatelan deketin gua mulu," celetuk Elina, dengan sikap acuh, terhadap lelaki di depannya ini.
"Ya karena, akum au berjuang untuk dapatkan kamu. Kan aku sayang sama kamu Isaa," jelas Byan, tanpa rasa malu mengatakan hal seperti itu tepat di hadapan Elsa yang melihat keduanya sedang berdialog.
"Waduhh, gua jadi nggak enak nih ganggu kalian," sela Elsa, tersenyum malu.
Elsa dapat melihat dari tatapan Elina dan tingkah dia terhadap Bryan yang juga mencintai lelaki itu namun, entah apa alasannya membuat keduanya tak langsung pacaran tak membuang waktu seperti ini.
Keadaan yang sudah berangsur membaik dan keputusan dokter yang memperbolehkan Elina pulang membuat Bryan tenang dengan begitu dirinya dapat menjaga Isa dengan sepenuh hati atau bahkan 24 jam.
"Naa, gua balik dulu ya. Mau nyiapkan untuk shift nanti malam. Lu baik-baik ya, jangan khawati nanti gua izinin ke Reno," ucap Elsa, sambil tersenyum. Lalu berjalan keluar meninggalkan keduanya yang masih berada di dalam.
"Loh, kamu kenapa enggak ikut balik?" tanya Isa, menatap Bryan yang berdiri di depannya. Selang dari ucapan Isa, lelaki itu pun langsung duduk dan tersenyum, " Apaan sih, nggak jelas banget malah senyum, aku tanya sama kamu," lanjutnya, dengan nada yang tinggi.
"Husttt!!!" jari telunjuk menempel pada bibir tebal Elina. "Aku masih berada disini itu untuk jagain kamu, jadi jangan bawel yaaa," bisik Byan,
"Enggak perlu!!" jawab dengan nada tegas.
"Aku masih bisa sendiri, lebih baik kamu pulang. Mungkin saat ini mama dan calon istri kamu lagi khawatir karena, kamu nggak pulang-pulang,"
"Aku sudah bicara dengan mama akan hal ini, namun jika Amora aku tidak peduli sama sekali. Karena, calon istriku ada di hadapanku," dengan mata saling beradu, dan perlahan-lahan tangan Byan menyelinap pada perut Elina, hingga dengan begitu pelukan hangat pun terasa.