Merasa panik dengan keadaa Elina yang tak juga bangun membuat Bryan berpikir untuk membawa gadis ini ke rumah sakit agar dia dapat di rawat dan di jaga dengan baik. Pikirannya sudah tak lagi memperdulikan keberadaan amora yang sedang menunggunya di rumah, karena baginya Isa lebih penting dari apapun.
Dalam keadaan sulit seperti ini yang setia menemani hanyalah Byan taka da orang tua atau pun kerabat yang datang setelah lelaki itu memberikan kabar bahwa Elina jatuh pingsan.
*Krekkkk,,,
Pintu kamar terbuka, pandangan Byan seketika teralihkan oleh seseorang yang sedang berdiri tegap menatap dirinya dan Isa.
"Hai," sapa suara tersebut dengan ramah, sambil berjalan ke arahnya.
"Nih, aku bawakan makanan. Pasti kamu juga belum makan? Begitu pun dengan Elina, nanti setelah dia bangun ajaklah makan," lanjut suara tersebut, sembari tak lepas dari senyuman di wajah.
"Ee-ee, btw siapa ya? Gua nggak kenal?" bingung Byan, akan seseoarang tersebut yang amat ramah dengan dirinya.
"Gua temannya Elina, nama gua Erika kita satu kerjaan juga kok. Gua sering banget lihat lu," sahutnya, dengan wajah bahagia.
"Oh, iya-iya. Thanks banget yaaa, ngomong-ngomong kok lu tau Elina ada disini?" satu alis terangkat, menatap jeli wanita tersebut.
Wajahnya teramat asing bagi penglihatan Byan, entah dirinya yang tak pernah memperhatikan atau memang wanita yang berdiri di depannya ini adalah karyawan baru.
"Emmm, iya nih. Elsa yang ngasih tau ke gua, katanya dia belum sempat kesini jadinya gua suruh duluin jenguk si Elina," jawab Erika, dengan nafas yang teratur. Agar tak terlihat bila dirinya sedang gugup atas pertanyaan Byan.
Tujuanya datang kemari hanya ingin mencari rasa simpati pada Byan, dan terlihat dengan jelas bila dirinya ini juga peduli dengan Elina.
"Dari semalam dia belum juga sadar?"
"Belum gua juga bingung, harus gimana. Entah apa penyakit yang sedang dia derita, sampai terjadi seperti ini," ungkap Byan dengan wajah gelisah.
"Lu sepertinya peduli banget ya sama si Elina, jangan-jangan lu suka ya?" tebak Erika, basa basi. Sembari menyelidiki sejauh mana hubungan keduanya.
"Hahaha, bukan suka lagi. Gua ini sayang banget dan juga cinta banget sama Elina," jawab Byan, sambil memeragakan ungkapan rasa cintanya ini.
"Huwawww!!! Beruntung banget ya jadi Elina, lu tampan, baik," sanjung wanita tersebut.
"Hahaha, bisa aja lu. Tapi, semua itu tidak seindah yang di bayangkan,"
"Kenapa?" kedua mata menatap Byan yang memasang wajah masam.
*Tlittttt Tlittt
Terdengar suara ponsel berdering, Byan yang baru saja akan menngucapkan sesuatu pada Erika seketika terhenti saat melihat ada yang menelvon dirinya, "Arghh!! Sialan baru aja gua mau tau hal penting dari hubungan mereka, kalau gagal begini nggak ada bahan gosip dongg," gerutu Erika, dengan keadaan hati dongkol akan hal ini.
"Maaf ya, gua mau angkat telpon dulu. Tolong jagain Elina," sambil berjalan keluar dan mencari tempat hening.
"Hah! Amora mau apa sih? Reseh banget nih cewe ganggu mulu," terus mengamti ponsel yang tak henti berbunyi. "Kalau nggak di angkat dia bakalan ngadu sama mama, dan gua juga bakalan kena omel," dengusku, karena memang taka da pilihan lain lagi, kecuali mengangkat telpon dari Amora.
"Hih! Menyebalkan banget kalau gua cuma nungguin Elina yang belum sadar. Mendingan gua balik aja deh, jalan-jalan dari pada ngelihatin dia kek orang mati aja," memutar tubuh dan berjalan keluar.
Erika masih memiliki rasa kesal terhadao Elina, setelah apa yang sudah dia lakukan di masa lalu. Hingga di pertemukan kembali dalam satu Club bukan hal yang di sangka, namun bagi wanita penuh rasa kesal tersebut ini adalah jalan yang begitu mudah bagi dirinya untuk membalasakan rasa kesal yang telah dia buat oleh Elina.
"Halo ada apa?" dengan nada ketus.
"Kok kamu belum pulang juga Byan, apa masih banyak urusan di luar sana?"
"Lu jadi cewek kepo banget sama urusan gua. Mau gua pulang atau nggak, itu terserah gua nggak usah sok ngatur dehhh," suara tegas serta nada kesal terlihat dari jawaban Byan.
"Aku tanya baik-baik lo, kenapa kamu malah begitu?" tanya balik Amora yang kesal akan perkataan Byan tak pernah sedikit pun lembut terhadap dirinya.
"Serah lu deh, mau tanya baik apa buruk yang penting jangan pernah ngehubungi gua. Dan sampai kapan pun gua nggak akan pernah mau di jodohkan dengan elu!!!" lanjut Byan dengan nada yang tinggi. Lalu langsung mematikan ponselnya tanpa berkata apapun lagi pada Amora.
Sudah lelah untuk bersandiwara semua ini menerima keadaan Amora adalah hal yang paling menyakitkan bagi hidupnya, jelas-jelas hanya Elina yang sampai kapan pun akan ia perjuangkan meski keadaan sulit sekali pun.
"Buang-buang waktu banget bicara sama dia," dengusnya, sambil berbalik tubuh dan berjalan kembali ke ruangan Elina di rawat.
"Bagaimana nak? Apakah Byan akan pulang siang ini juga?" tanya Ajeng melihat calon menantunya yang tampak dengan wajah gelisah.
"Entahlah ma, bahkan dia malah marah-marah di tanya mau balik kapan," menghadap wanita paruh baya yang senantiasa mendukung apa saja yang ia lakukan.
"Kamu yang sabar saja ya, jangan dipikirkan seiring berjalannya waktu dia pasti akan menerima keadaan kamu, mama yakin itu," sambil tersenyum lebar, dan bertidak tegas. Meskipun dalam hatinya saat ini merasa malu dan kesal dengan kelakukan anak sendiri seperti tak memiliki sopan santun sama sekali.
"Semoga saja ma, aku selalu berharap yang yang terbaik untuk Byan," membalasa senyuman manis mama mertunya.
Melihat pintu yang terbuka membuat Bryan timbul tanda tanya akan siapa yang masuk atau keluar dari kamar Elina.
"Ini pintunya ke buka, dan Erika nggak ada?" ujarnya sambil celingukan melihat keadaan ramai.
"Jangan-jangan," dengan hati yang panik. Namun, saat masuk ke dalam langkahnya seketika terhenti saat melihat seoarang wanita yang sedang duduk di kursi sambil memandangi Elina yang belum juga sadarkan diri.
"Permisi," ucap Byan dengan lembut.
"Siapa kamu?" dengan tatapan tajam, dan berdiri menatap lelaki tersebut.
"Tante, mamanya Elina ya?"
"Iya, saya mama dia. Kamu ini siapa?" satu alis terangkat. Sebelumnya ia merasa bila anaknya ini seperti tak memiliki teman lelaki satu pun, namun yang ada di hadapannya cukup di bilang tanpa dan sopan.
"Saya Bryan tan, temannya Elina. Dan saya yang bawa dia kemari, soalnya semalam ketika dia sedang kerja tiba-tiba jatuh pingsan saya, dokter bilang dia hanya kelelahan dan stress," jelas Byan.
"Iya, tante tau itu," jawabnya, lalu kembali memandangi anaknya. "Ketika dia merasa sedih, lelah dan banyak beban pikiran hingga timbul stress dan jika dia tak kuat dengan hal itu maka akan seperti ini jadinya. Dulu, Elina juga sering seperti ini," lanjutnya, mengusap rambut putri sulungnya yang menjadi korban broken home atas keegoisan dirinya dan sang suami.
"Kamu tolong jaga dia ya," meraih tangan Byan, dan menatap penuh harapan. "Mungkin dia merasa bila sudah tak memiliki siapa pun lagi, kamu tolong jagain Elina ya?" pinta wanita tersebut, tersenyum tipis dengan membawa penuh harapan di dalam hati.