Memaksakan diri agar terlihat kuat dan tegar berujung hal yang tak baik bagi Elina, siapa yang menyangka gadis 19 tahun tersebut jatuh ke lantai ketika hendak mengantarkan minuman pada konsumen. Seketika seluruh orang terpanah saat akan kejadian tersebut,
"Heh! Ada yang pingsan nihh, Reno karyawan lu ada yang pingsan nihh," celetuk suara lelaki yang hanya memandangi tubuh Elina tergeletak di lantai
Elsa yang mendengarkan hal itu, seketika terpanah dan teringat bila tadi Elina terlihat tak baik, "Apa itu Elina ya?" ujarnya memandang teman-teman yang berada di hadapannya.
"Yaelah, lemah banget. Kerja nggak seberapa juga," celetuk suara dengan nada ketus.
"Heh! Erika itu mulut bisa di jaga nggak sih, dimana perasaan lu, teman lagi kesusahan bukannya di bantui malah ngoceh nggak jelas," balas Elsa, dengan hati geram mendengar ucapan temannya ini yang sejak dulu memang tak suka pada Elina.
"Ya udah sana kalau lu kepo dan yakin itu si Elina, samperin dah sana. Gua males lagi banyak kerjaan," ujar Erika sambil berjalan ke arah depan tanpa menghiraukan siapa yang jatuh pingsan tadi.
"Huh! Untung saja, manusia seperti Erika hanya ada satu di Club ini bila, rata-rata begitu bisa mati kutu gua tiap hari nahan batin," ujarnya sambil berjalan kedepan.
Banyaknya kerumunan orang membuat Elsa semakin penasaran apakah itu benar Elina atau konsumen yang datang kemari.
"Permisi mbak, mas,"
"Elsa, bawa nih teman kamu ke kamar. Jangan sampai acara mala mini jadi kacau gegara dia," ujar suara tegas, namun nadanya terlihat kesal. Bahkan tatapannya tampak acuh.
Malam yang penuh dengan drama ketika berada di rumah, itulah salah satu yang menjadi alasan paling kuat bagi Bryan tak ingin pergi jauh dari Elina, hanya dia yang mampu membuat dirinya merasakan sebuah kenyaman dan itu tak di temukan pada wanita mana pun.
"Kamu mau kemana Bryan, ini sudah malam. Jangan kelayapan mulu," ucap suara yang mampu membuat langkah Bryan terhenti dengan seketika.
"Mencari ketenangan mah, di rumah bosan," jawabnya, tanpan menoleh ke belakang.
"Ngaco kamu ya, ini sudah malam. Lagi pula sebentar lagi Amora akan datang kemari, jangan sampai dia merasa kecewa dengan tingkah kamu ya!" jelas wanita yang mengenakan pakaian tidur tersebut.
"Hah?" sambil menoleh ke belakang merasa terkejut dengan perkataan mamanya.
"Kok gila banget sih mah, ngapain dia kesini malam-malam seperti tak ada hari lainnya saja," lanjut Bryan.
"Sudahlah, mama nggak mau dengar alasan kamu. Dia mau kesini kapan pun yan terserah dong, lagi pula dia itu calon istri kamu dan kalian berdua juga butuh pendekatan,"
"Tapi, ya masa malam mah? Emangnya nggak bisa lusa atau kapan itu?"
"Enggak!!" dengan nada tegas.
"Mah, aku nih ada acara. Jangan begini dongg, masa apa-apa Amora, aku juga butuh kebebasan,"
"Udahalah, pusing mama sama alasan kamu," membalikan tubuh dan berjalan kea rah dapur.
Begitu banyaknya alasan yang telah di ciptakan oleh anaknya ini, membuat Ajeng ibunda dari Bryan Sandavid tidak ingin semudah itu percaya akan perkataan putrnya.
"Mama, mau buatkan makanan untuk Amora dan kamu telvon dia saja jam berapa akan sampai," teriak Ajeng dari arah dapur.
"Hishh! Menyeblkan sekali, padahal malam ini gua pengen banget ketemu sama Elina," ujarnya dalam hati.
Tak bisa lagi berkutik, Byan hanya mampu duduk di sofa sambil memandangi ponselnya. Berharap malam ini bisa keluar dan bertemu dengan Elina. Ia merasa bahwa perasaaanya sedang tak baik dan selalu tertuju pada gadis tersebut.
Ajakan untuk menikah siri memang terdengar sedikit menggila tapi, hanya itu yang dapat di lakukan oleh dirinya, sebagai bukti rasa keseriusan. Meskipun hanya sebatas siri, baginya sudah lebih dari cukup hingga sampai ia mendapatkan restu dari kedua orang tua.
"Kamu mau kemana Bryan malam begini dengan pakaian rapih? Pakai jaket pula?" tanya seseorang yang berdiri di depannya.
Kepala yang semualnnya tertunduk fokus pada ponsel seketika terangkat dan melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini.
"Papa?" satu alis terangkat. "Mampus, gua bakalan semakin sulit untuk keluar. Ngapain sih, papa muncul segala," ucap Byan dalam hati, sambil menelan salivanya berulang kali.
Bila sudah begini maka keadaan pun akan kian merumit, entah bagaimana caranya. Ia akan berusaha sebaik mungkin.
"Biasalah pah, anak bujang ya keluar malam. Kumpul-kumpul sama teman, emangnya papa, yang takut sama mama kalau mau keluar, " ledek Byan sambil tersenyum menatap lelaki yang masih berdiri di hadapannya.
"Hushh!! Jaga bicara kamu, kalau mama tauuu,"
"Apa pa? Kalau mama tau kenapa, mama marah begitu?" sambung Ajeng, berjalan mendekati mereka berdua sambil membawakan cemilan.
"Ng-nggak kok mah. Ngaco aja nih Byan bicaranya," dengus lelaki tersebut dengan wajah yang masam.
"Ya kalau Papa, mau keluar pun nggak masalah. Hanya saja setelah itu jangan tidur di kamar,"
"Ma, kok jahat banget sih. Enggak kok nggak ada yang mau keluar malam, Bryan aja nih kalau ngomong suka nagco,"
Andai saja taka da perjodohan yang di timbulkan oleh mereka, mungkin saja dirinya tak akan menjadi manusia yang sekeras ini.
"Hallo om, tante. Selamat malam," sapa seseorang dengan suara yang manja.
"Nah itu Amora datang, sambut gih Byan jangan begitu," ujar mamanya, dengan wajah yang bahagia ketika melihat keberadaan Amora yang berjalan menghampirinya.
Dari mana dan atas dasar apa perjodohan ini bermula Byan juga tak paham.
"Halo sayang, kok lama banget datangnya?" sambut Ajeng dengan wajah ceria, sambil cepika-cepiki pada calon mantunya ini.
"Iya ihhh, tadi aku tuh belikan makanan dulu untuk kalian. Agar kita bisa makan bersama, papi sama mami juga esok mau kemari katanya sim au ngajakin healing gitu tan," ujar Amora dengan wajah bahagianya.
Akhirnya setelah banyak alasan yang di ciptkan oleh lelaki ini, ia dapat bertemu dengan Byan langsung.
"Hai Byan, kamu rapih sekali," sapa Amora, sembari duduk di samping lelaki batu tersebut.
"Gua mau pergi keluar, tapi gegara lu, gua di larang. Reseh banget lu," celetuk Byan dengan nada yang ketus. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan wanita yang ada di sampingnya saat ini.
"Hush!" Plaakk," memukul paha Byan dengan keras. "Kamu kalau bicara jangan asal ceplos dongg, dia juga punya perasaan," sela Papa Byan yang merasa kesal aka ucapan anaknya.
"Ya kamu kalau mau keluar, tinggal keluar ajalah nggak masalah. Aku juga kan tidur disini, jadi kita masih bisa berjumpa,"
"Nah, harusnya gitu. Kan gua jadi enak," jawab Byan sambil berdiri.
"Enggak! Mama melarang kamu untuk pergi malam ini, apa kamu nggak kasihan dengan Amora yang rela malam-malam datang kemari hanya ingin bertemu dengan kamu. Lagi pula kalau kamu keluar mala mini pasti akau pulang esok pagi," gumam Ajeng dengan nada yang tegas.
"Enggak ada yang nyuruh dia untuk datang kesini malam-malam. Kurang kerjaan banget, malam itu untuk orang istirahat bukan bertamu," oceh Byan dengan tatapan sinis.