Perasaan yang sulit di jelaskan bagi Elina, ketika hatinya sudah merasakan sebuah kenyamanan pada seseorang lelaki yang teramat peduli pada kehidupannya. Tapi, di sisi lain ada hal yang harus membuat pemikirannya terbuka bahwa lelaki itu telah memiliki calon, bahkan wanita itu lebih segalanya di bandingkan dirinya yang hanya pelayan. Rasa cemburu simpang siur bergelantungan pada hatinya akan kenyaatan yang tidak pasti saat ini.
"Apa gua ini wanita bodoh!!!" ucap Elina dalam hatinya. Menatap kaca yang lebar, hingga memandangi wajahnya sendiri dengan jeli. Sudah cukup lama, ia berada di posisi sebagai wanita simpanan. Tapi, mengakhiri semua ini…. "Tidakk!! Gua belum jika harus pergi dari Byan, lelaki satu-satunya yang paling paham dengan perasaan gua ya hanya diaa," ujarnya dalam hati, sambil memegang kepala yang perlahan terasa pusing.
Kehidupan keluarga yang suah hancur membuat Elina, tak tau lagi kemana arah ia akan berjalan dan meneruskan perjalanan hidup ini di sisi lain juga, masih ada adik yang membutuhkan supports dari dirinya.
Lelaki terbaik dan terhebat bagi Elina, hanyalah bualan saja, buktinya papa dan mamanya dengan keji berpisah tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya yang melihat hal ini dan mereka hanya menginginkan kebahagian hidup sendiri. Bahkan ketika kedua telinga Elina mendengar bila kedua orang tua yang selama ini dianggapnya rumah tak ingin lagi campur tangan akan biaya hidup untuk bertahan.
"Arghh!!! Tuhan jahat, kenapa gua tidak pernah seberuntung mereka," teriak Elina, dengan nada yang tinggi. Hati yang kesal dan geram hingga cara meluapkannya hanyalah dengan cara menjambak rambut dengan amat kuat, tak peduli lagi akan rasa sakit akan apa yang saat ini dirinya lakukan pada tubuhnya.
"Aku benci hidup ini!!! Hiks hiks hiks,,,," ringiknya dengan mata yang sembab dan rambut tak beraturan.
Begitu menyakitkan sekali kehidupan seperti ini yang seharusnya tak pernah di alami, hanya karena sebuah ke egoisan hingga mengorbankan perasaan anak.
*Krekkkk,,,
"Elina, aku bawakan makanan untuk kamu, ayo kita makan bersama," ujar suara lelaki yang melangkah masuk ke dalam kontrakan.
Melihat apa yang ada di hadapannya, mata Bryan melotot dan langsung menaruh makanan di atas meja dan menghampiri wanita yang tengah lemah di lantai, dengan rambut tak beraturan.
"Elina, apa yang sudah kamu lakukan. Jangan berbuat sebodoh ini!!" tegur Bryan, sambil membopong tubuh Elina.
Terasa sakit melihat wanita yang ia cintai dalam keadaan seperti ini, meskipun Bryan sudah memiliki calon entah mengapa hatinya masih bersemayam pada Elina. Bahkan terkadang pikirannnya ingin sekali acuh pada Amora, tapi terasa tak mungkin ia harus menjaga hubungan baik antar keluarga.
Mengusap kepala Elina dengan amat lembut, menatap wajah yang pucat membuat Bryan merasa sedih dan tak sanggup wanita yang selama ini ceria berada pada posisi seperti ini.
"Kamu kenapa seperti ini? Aku tau kehidupan kamu itu berat tapi, disini masih ada aku yang akan selalu ada di sisi kamu." Ujar Bryan dengan mata yang berkaca-kaca.
Walaupun terkadang ia sering bermain bersama wanita-wanita club tapi, posisi wanita ini belum tergantikan oleh siapa pun.
"Kamu jangan melakukan hal sebodoh ini lagi ya, aku masih butuh bahkan butuh banget," sembari mengusap kepala Elina. Terlihat cantik sekali, wajah wanita yang sedang tak sadarkan diri ini namun, hal itu cukup Bryan akui hanya dalam hati saja akan kenyataan ini.
15 menit berlalu…..
Membuka mata dan melihat keadaan dengan tatapan samar bukanlah yang hal yang menyenangkan,
"Apa yang sudah terjadi denganku?" sambil memegangi kepala yang terasa pusing sekali. Namun, ketika melihat keadaan yang ada di sekitar Elina benar-benar terkejut. Siapa yang sudah memindahkan dirinya ke atas kasur.
"Kenapa posisi gua berubah ya?" tanya Elina dengan penuh tanda tanya.
"Hai! Sayang kamu sudah bangun, makan dulu yuk. Tadi aku bawakan makanan untuk kita makan bersama," ujar Bryan dengan seketika hadir di hadapan wanita itu.
"Byan? Kamu kok bisa ada disini, sejak kapan kamu datang?" tanya Elina, masih merasa bingung, sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ketika mengingat apa yang akan terjadi beberapa waktu yang lalu.
"Sudah, jangan di pikirkan itu tidak penting. Yang ada kepala kamu akan terasa pusing lagi, lebih baik kita makan aja yuk," ajak Bryan tersenyum full, ketika melihat wanita penting dalam hidupnya akhirnya sadar juga.
Menyiapkan makanan, hingga menuntun wanita bukanlah hal yang di sukai oleh Bryan, bahkan ia terasa anti sekali akan hal seperti ini. Tetapi, baginya ketika hal ini di lakukan untuk Elina bukanlah sebuah hambatan dan sudah semestinya ia juga menunjukan rasa peduli pada wanita yang membutuhkan supports system.
"Hah?" dengan mata melotot, lalu menoleh kea rah lelaki yang ada di belakangnya.
"Sudah duduk saja, jangan banyak bengong yang ada kepala kamu akan terasa pusing," memakasa Elina untuk duduk tanpa bertanya lagi pada dirinya.
"Kamu yang menyiapkan semua ini?" tanya Elina, dengan kening mengkerut. Terasa masih tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya saat ini secara tak langsung ia paham sekali bagaimana lelaki yang ada di depan matanya ini yang amat anti sekali.
"Sudahlah jangan begitu, ungkapan rasa sayangku ke kamu," goda Bryan sambil tersenyum bahagia.
"Hahaha, bolehlah. Kalau sering begini," balas Elina, sambil tersenyum juga akan hal ini.
Perhatian seperti memang jarang sekali, bahkan saat ini tak pernah dirinya dapatkan pada siapa pun.
"Sudah, jangan banyak tersenyum yang ada aku jadi mabuk nih,"
"Apaan sih jangan lebay dehh," dengus Elina, dengan wajah yang masam.
"Hahah, sudahlah makan dulu. Lalu kita lanjut cerita," ujar Bryan.
"Sepertinya ada kabar baik nihhh," tebak Elina, sambil mengunyah makanan dan menatap lelaki yang ada di depan matanya ini.
"Tidak ada yang baik, kecuali bertemu denganmu,"
Hanya gombalan yang terus keluar dari mulut lelaki itu, padahal Elina berusaha mengutarakan percakapan yang cukup serius tapi, nyatanya tak untuk Bryan yang lebih suka akan hal candaan.
Momentun seperti ini yang wanita itu rindukan terhadap keharmonisan keluargnya yang sudah hilang dengan seketika tak tau mengapa Tuhan mudah sekali mengubah pola pikir mereka. Dan taka da lagi perasaan yang tersisa untuk menunjukan rasa peduli pada anak-anak mereka.
"Nanti malam jalan yuk," ajak Bryan.
"Tidak bisa, Byan. Kamu juga tau aku harus kerja, demi Sindy dan kehidupan aku kedepannya," jawab Elina dengan nada yang santai. Lalu duduk di samping lelaki yang tengah mengamati dirinya sejak tadi.
"Izin dulu, nanti aku bantu biayain Sindy," ujar lelaki itu, sambil merangkul Elina dari samping.
"Stop, aku tidak ingin orang luar campur tangan juga akan masalah ini. Biarkan aku saja," sambil tersenyum lalu, menoleh ke arah Bryan yang ada di sampingnya.