Derap langkah tegas terdengar di lorong lantai sembilan dimana ruangan Arion berada. Lelaki dengan postur tubuh tinggi menjulang berjalan dengan memasukan tangan ke saku celananya menambah wibawa dan ketampanan dalam diri seorang Arion.
Erina yang telah cukup mengenal derap langkah yang terdengar menuju kearahnya dengan sigap bangkit dari duduknya lalu berdiri menyambut atasannya yang dalam beberapa langkah lagi melintasi meja kerjanya.
Arion menyipitkan mata dan memastikan jika penglihatan tidak salah dengan obyek yang ditangkap oleh indera penglihatannya saat ini. Ya. Arion melihat Erina tengah berdiri di tempatnya bersiap menyambut dirinya yang tengah melangkahkan kaki kearahnya. Arion terus berjalan menuju ke ruangannya dengan tatapan penuh tanya dalam benaknya.
"Assalamu'alaikum.. Selamat pagi pak.." Erina dengan sopan menyapa Arion dengan mengucapkan salam
"Wa'alaikumsalam.. Selamat pagi.. Kamu masuk kerja hari ini? Adik kamu bagaimana? Siapa yang menjaga adik kamu?" tanya Arion bertubi-tubi
Erina tersenyum simpul ke arah Arion, "Adik saya belum sadarkan diri pak. Saya memutuskan untuk tetap bekerja selagi adik saya belum sadar. Kalau saya tidak bekerja, nanti bagaimana saya bisa mengembalikan uang yang saya pinjam dari bapak?" lanjut Erina
"Kamu tidak usah terlalu memikirkan hal itu. Kamu harus memikirkan kesehatan adik kamu dulu. Saya mengizinkan kamu tidak ke kantor selama mengurus adik kamu di rumah sakit. Di sini kan masih ada Natan yang bisa membantu pekerjaan saya selama kamu tidak masuk Rin," terang Arion untuk pertama kalinya berbicara panjang lebar ke makhluk yang bernama wanita
"Baik Pak. Jika adik saya telah sadarkan diri, saya ingin untuk menjaga dan merawat adik saya pak. Terima kasih atas ingin yang bapak berikan kepada saya," tukas Erina
Arion menganggukan kepala lalu masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Erina yang masih bergeming di tempatnya. Erina menautkan kedua alisnya ketika mendengarkan Arion yang banyak bicara pagi ini tidak seperti biasanya yang hanya akan bicara seperlunya saja.
Arion menyandarkan punggung di kepala kursi kebesarannya setelah meletakan jasnya di punggung kursi. Arion membuka berkas yang berada di atas meja untuk diperiksa dan ditanda tangani hari ini. Namun entah kenapa pikiran Arion terus tertuju terhadap Erina sekretarisnya. Arion teringat bagaimana Erina berteriak histeris ketika melihat tubuh adiknya terkapar setelah ditabrak mobil dengan bersimbah darah di tepi jalan. Rait wajah sedih dan frustasi tampak sangat kentara diwajah Erina siang kemarin. Apalagi setelah Erina mengetahui jika orang yang menabrak adiknya melarikan diri dan tidak bertanggung jawab. Tubuh Erina lunglai sembari memangku Maya adiknya.
Hati Arion terasa nyeri melihat peristiwa itu. Arion tidak dapat membayangkan jika peristiwa itu terjadi kepada Nara, kakak kembarnya. Pasti sang mama akn histeris seperti Erina. Beruntung keluarga Arion masih lengkap. Jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan masih ada yang bisa membantunya. Berbeda dengan Erina yang seorang yatim piatu dan hidup hanya berdua dengan adiknya yang masih duduk di bangku SMA. Erina harus bekerja keras untuk membiayai hidup mereka dan pendidikan adiknya di ibu kota.
Ya. Arion telah meminta kepada anak buahnya untuk mencari tahu informasi mengenai Erina sekretarisnya. Arion terhenyak ketika memperoleh laporan dari anak buahnya tentang kehidupan Erina. Yatim piatu yang memilih pindah dari kota asalnya ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak agar tidak merepotkan saudara atau tetangganya di kota asalnya. Perjuangan Erina layak mendapat acungan jempol dari Arion. Wanita yang selalu dijuluki wanita kampung oleh Arion itu merupakan seorang wanita pekerja keras yang bisa melakukan pekerjaan apapun asal berlabel halal seperti penampilannya yang tertutup.
Satu fakta terungkap dari hasil penyelidikan anak buahnya tentang Erina yang bekerja di cafe cahaya setelah menyelesaikan pekerjaan di kantornya. Erina bekerja di cafe cahaya dari sore hari hingga pukul sebelas malam. Hal itu terus menerus dilakukan Erina setiap hari tanpa mengenal kata lelah. Bahkan Erina menerima dengan lapang dada apa yang dilakukan oleh Arion ketika berada di kantor. Arion yang dingin, datar, cuek, kasar dan punya hobby membentak orang ini merasakan satu hal yang berbeda dari Erina saat Arion berkata atau bersikap kasar kepadanya yakni menerima dengan senyuman dan sabar.
Ah.. Rasanya Arion menyesal pernah memperlakukan Erina dengan kasar setelah mengetahui riwayat hidup Erina. Arion menghela nafas kasar mencoba menetralisir rongga paru-parunya dari rasa sesak yang datang dengan tiba-tiba. Arion meletakan tinta kembali di atas meja lalu menerawang ke arah pintu ruangannya dimana meja kerja Erina tepat berada lurus di depan pintu ruangan Arion sehingga Arion dapat melihat aktivitas yang tengah dilakukan Erina.
"Wanita yang hebat dan langka dijaman sekarang," gumam Arion
Tok..
Tok..
Tok..
Arion menyadarkan diri dari lamunannya ketika mendengar suara ketukan pintu ruangannya.
"Masuk," titah Arion dari dalam
Ceklek..
Pintu ruangan terbuka dan tampak seorang wanita paruh baya yang tidak lain sang mama atau Karin berjalan dengan langkah anggunnya masuk ke dalam ruangan Arion. Karin mendudukan diri disofa yang berada di ruangan Arion sembari meletakan tas dan kotak makan yang dibawanya.
"Mama.." Arion berjalan menghampiri mamanya lalu duduk di samping mamanya
"Kamu sibuk Ri?" tanya Karin
Arion menggelengkan kepalanya, "Tidak ma. Ada apa mama ke kantor? Papa bagaimana kalau mama ke kantor?" balas Arion sembari bertanya
"Papa kamu lagi di ruangan Natan, Ri. Papa dan mama sengaja datang ke sini untuk makan siang dan membahas perjodohan Nara, Ri," tambah Karin
Arion mengernyitkan dahi mendengar ucapan mamanya yang mengatakan papanya di ruangan Natan, "Papa sedang apa di ruangan Natan ma?" tanya Arion dilanda penasaran
"Papa habis menanyakan kamu lewat Natan, Arion.." Suara bariton sang papa terdengar di indera pendengarannya
Ya. Naren masuk ke dalam ruangan Arion setelah bertanya tentang Arion kepada Natan. Naren duduk di samping sang istri dengan menyilangkan kaki kiri bertumpu di kaki sebelah kanan.
"Papa habis nanya apa ke Natan?" tanya Arion sedikit ketus
"Papa habis nanya Natan kamu sudah punya pacar apa belum. Kamu kan jauh banget dari wanita. Dingin banget malah. Umur kamu juga sudah tidak muda lagi Arion," jawab Naren
Arion menghela nafas kasar, "Kalau bicara tidak usah berbelit pa. Langsung ke intinya saja. Papa ajan menjodohkan Arion seperti papa menjodohkan kak Nara tanpa kasih tahu dulu ke kak Nara kan pa?" tukas Arion
"Thats right. Itu kamu pinter bisa menebaknya Ri," seru Naren
"Pa.. Arion tidak mau dijodohkan. Arion bisa mencari pasangan sendiri. Pernikahan itu bukan permainan pa. Arion buka kak Nara yang selalu menuruti kemauan papa dan mama. Arion tidak mau pa. Arion nolak." Arion mengatakan kebertannya dengan sedikit nada tinggi kepada Naren
Naren bersikap tenang dengan penolakan yang dilakukan oleh Arion. Naren menatap sang istri yang tampak khawatir melihat perubahan raut wajah Arion dengan rahang yang mengeras. Ya. Arion marah dengan papanya yang entah kenapa sberrindak seenaknya sendiri sekarang. Tidak seperti dulu yang memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Arion menghela nafas kasar dan panjang dengan raut wajah tampak memerah. Kesal. Marah. Itulah yang Arion rasakan saat ini.
"Sudah. Ayo kita makan dulu," sahut Kiran menengahi sang suami dan Arion yang akan melanjutkan perdebatannya jika Karin tidak berbicara
Ya. Karin memilih menjadi penengah diantara Naren dan Arion ketika melihat suaminya akan membuka mulutnya kembali. Sontak Naren mengatupkan mulutnya ketika sang istri berbicara kepada mereka.
"Masih jam sepuluu pagi ma. Arion belum lapar," tukas Naren
Karin menghela nafas dengan sikap Arion. Jika Arion bersikap seperti ini menandakan jika Arion tengah marah kepada Naren. Karin memilih diam dan tidak ingin menggangu Arion saat ini.
"Assalamu'alaikum.."