"Tolong kamu urus semuanya, saya akan datang setengah jam lagi." Yudha bergegas turun dari kamar dengan pakaian yang masih terlihat berantakan. Bau parfum yang menyengat dari pakaiannya, membuat Aisha yang masih asik dengan berbagai macam bumbu di hadapannya menoleh instan ke arah Yudha.
"Mas, kamu sudah siap?"
"Sudah," jawabnya dingin dengan mimik wajah datar, seraya memakai dasi.
"Wangi banget si suamiku," goda Aisha. Ia menghampiri Yudha sambil tersenyum manis, ia mengambil alih dasi yang ada di tangan suaminya, kemudian membantu pria itu untuk mengenakan dasi.
"Hentikan! Tanganmu bau bawang," protes Yudha seraya menepis tangan Aisha dengan kasarnya.
Melihat ekspresi sang istri yang terlihat kesal, Yuhda yang menghela nafas kasar, kemudian bertanya, "Ada apa? Apa ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Yudha dengan ketus.
"Kemarin Papa datang ke sini," ucap Aisha dengan wajah gelisah.
"Terus?"
"Dia memintaku untuk segera hamil." Dengan ragu, Aisha menatap suaminya yang kini terlihat kesal.
"Aku harus berangkat sekarang," ujar Yudha mengalihkan.
Yudha masih enggan untuk memenuhi hak Aisha sebagai istrinya. Sudah beribu-ribu alasan yang laki-laki itu lontarkan untuk menolak ajakan istrinya, hingga Aisha sendiri putus asa untuk mempertahankan rumah tangganya sendirian.
"Aku hanya ingin meminta hakku, Mas. Namun, jika kamu masih keberatan, aku akan menunggu sampai kamu siap," gumam Aisha. Bibirnya bergetar setelah mengatakan itu. Harus menunggu berapa lama lagi, untuknya mendapatkan belaian dari seorang pria yang sudah sah menjadi suaminya?"
"Heum," responnya tidak peduli.
"Ayo! Aku sudah siapkan sarapan untukmu!"
Sejak kemarin malam, Aisha merasa pusing dan mual, entah sudah berapa kali wanita itu menghirup aroma kayu putih. Ingin sekali Aisha mendapatkan perhatian penuh dari Yudha disaat dirinya sakit. Namun, apa boleh buat, pernikahan itu membuatnya terkurung dengan pria dingin yang tidak pernah menganggapnya ada.
"Aku langsung berangkat." Yudha melengos meninggalkan rumah tanpa menghampiri Aisha terlebih dahulu.
"Kok gak sarapan dulu si, Mas. Aku buatkan sarapan kesukaan kamu, loh." Aisha mengejar Yudha yang sudah berada di ambang pintu.
"Tidak usah, Aish. Nanti aku sarapan di kantor saja, lagipula aku tidak lapar," tolaknya tanpa rasa bersalah.
"Baiklah kalau begitu."
"Oh iya. Uang bulanan sudah aku transfer. Berikan sebagian uang itu untuk ibumu, tapi ingat! Kamu jangan pergi ke sana!" ucap Yudha dengan penuh ancaman. Aisha masih bertanya-tanya dengan peraturan yang Yudha buat untuknya, kenapa Aisha tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan ibunya sendiri.
"Terima kasih, Mas." Aisha melambaikan tangannya ke arah mobil yang sudah melaju di hadapannya.
Di ruang makan, Aisha menatap nanar ke menu sarapan pagi, yang lagi-lagi tidak disentuh suaminya. "Kenapa dia semakin jauh, dia tidak hanya menolak untuk tidur denganku, tapi dia juga tidak mau menyentuh masakanku."
"Sudahlah, tidak ada gunanya aku bersedih seperti ini, aku yakin, lambat laun dia akan berubah," ujarnya yakin. Aisha melanjutkan sarapannya.
Dering ponsel terdengar nyaring dari arah kamarnya, Aisha yang masih menikmati sarapan bergegas naik dan melihat siapa seseorang yang sudah menghubunginya sepagi ini.
Setelah sampai di kamar, Aisha langsung mengambil ponsel hitam yang tergeletak di atas ranjang. "Ini kan ponselnya, Mas Yudha." Ia mengernyit, dengan ragu dia mengambil ponsel Yudha. Itu adalah kali pertama dirinya menyentuh ponsel milik suaminya. Yudha selalu melarang Aisha untuk memeriksa atau sekedar meminjam ponsel miliknya.
Pernah sekali Aisha bertanya alasannya kenapa, tapi Yudha hanya meresponnya dengan sebuah tatapan tajam yang menyakitkan.
Mereka memang sudah menikah selama delapan bulan, tetapi selama ini Aisha tidak pernah tahu apapun tentang suaminya, karena Yudha yang enggan berbagi apapun dengannya. Jangankan memberitahu Aisha tentang pekerjaannya, Aisha pun tidak tahu tentang perusahaan yang suaminya jalankan.
Aisha berinisiatif untuk melihat siapa yang menghubungi suaminya. Namun, saat dirinya hendak membalikan layar ponsel yang terbaik itu, justru Yudha tiba-tiba ada di sana dan langsung merampas benda pipih yang ada di tangan istrinya tersebut.
"Jangan sentuh ponselku!" teriak Yudha dingin dengan penuh amarah.
Deg!
"M-mas Yudha. Maaf Mas, aku tidak bermaksud untuk ambil ponsel Mas Yudha," ucap Aisha dengan wajah panik.
Sadar dengan reaksinya yang berlebihan, Yudha langsung menghembuskan nafas panjang secara perlahan. "Tidak perlu minta maaf, Aish. Lagian aku juga yang salah karena teledor," timpal Yudha.
"Aku pergi lagi, ya." Yudha meraih tubuh Aisha kemudian mendaratkan sebuah kecupan ringan yang sangat singkat di dahinya.
"Hati-hati."
Setelah Yudha pergi, Aisha melanjutkan aktivitasnya dengan merapikan kamar tidur. Mereka memang tidur di kamar yang sama, tetapi Yudha membatasi ruang antara dirinya dan juga Aisha. Saat mereka tidur bersama, Yudha melarang Aisha untuk terlalu dekat dengannya, dengan alasan dia yang memiliki suhu tubuh yang terlalu tinggi.
"Aku bertanya-bertanya, apa kamu benar tulus bersikap baik kepadaku, Mas. Atau mungkin ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" Aisha duduk di atas ranjang, tatapannya kini beralih pada foto Yudha yang terpajang di meja dekat ranjang.
Aisha tersenyum simpul, ia mengamati foto tersebut kemudian mengelusnya hingga beberapa kali. "Ternyata kamu sangat tampan, Mas. Senyumanmu juga sangat manis, sayang sekali aku tidak bisa merasakan itu darimu secara langsung."
Yudha selalu berusaha bersikap baik kepada Aisha, laki-laki itu tidak pernah memarahinya sama sekali, tetapi semakin hari Yudha semakin berubah. Dia yang sebelumnya selalu menatap Aisha meskipun dengan wajah datar, kini dia tidak lagi melakukannya. Tatapan dan sikap Yudha tiba-tiba berubah sejak dua bulan terakhir. Dia bahkan tidak pernah lagi menatap Aisha dengan hangat, tatapan matanya berkilat penuh amarah dan kebencian.
"Aku berusaha untuk terus percaya dan bersikap baik kepadamu, Mas. Tapi hati tidak bisa bohong, aku terluka dengan sikapmu yang semakin hari semakin buruk," tutur Aisha. Dia meninggalkan ruangan tersebut.
Siang ini, Aisha akan pergi belanja kebutuhan bulanan dengan uang yang Yudha berikan padanya, sebelum dia berangkat, Aisha berniat mampir ke rumah orang tuanya untuk mengetahui keadaan mereka, kebetulan sudah sebulan lebih Aisha tidak bertemu dengan mereka, karena Yudha yang selalu melarangnya. Padahal jarak rumahnya dengan orang tuanya terbilang sangat dekat.
"(Mas, aku ijin mampir ke rumah orang tuaku ya, sekalian aku mau belanja bulanan)" Sebuah pesan yang Aisha kirim kepada suaminya.
Yudha yang sedang asik berbincang dengan seseorang di kantornya, langsung merespon pesan tersebut, "(Pergilah, lagipula aku akan pulang terlambat, jadi tidak perlu menungguku untuk makan, ataupun tidur, aku akan makan di luar malam ini)"
Sungguh Aisha terkejut bagai tersambar petir, jawaban Yudha benar-benar menyakiti perasaannya. Sungguh Aisha berharap kalau suaminya itu akan bersikap lebih manis kepadanya. Namun, kenyataannya berbeda, Yudha malah semakin buruk dari sebelumnya.
"Malam ini? Tidak, mas. Bukan hanya malam ini kamu mengatakan itu, tapi setiap hari. Selama kita menikah, kamu hanya pernah mencicipi makanan yang aku buat, dua kali, itu pun karena ibumu yang memintanya," ujar Aisha dengan segala amarahnya. Dia menumpahkan semua kekesalannya yang selama ini dia bendung, di dalam mobil.
Usai letih meratapi kemalangan diri, meski dengan tubuh yang seakan melemah, Aisha menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari halaman rumah. Selama perjalanan, pikiran Aisha hanya terngiang dengan kalimat sama yang selalu Yudha ucapkan berulang kali. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ia cegah. Aisha tersedu, merintih menahan pilu.
"Kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa kamu berubah, mas? Kamu semakin jauh dariku." Berulang kali Aisha menyebut nama laki-laki yang melukai hatinya itu. Banyak harapan saat dia menyebut nama suami yang tidak pernah menganggapnya sebagai sorang istri.
Aisha tidak mengerti kenapa rasanya bisa sesakit itu, sedangkan dia yakin, kalau dirinya tidak menyukai Yudha sama sekali. Aisha memilih untuk menerima pernikahan tersebut setelah ibunya memaksa dia untuk melakukannya, dan mengatakan tentang penyakit yang diderita temannya yang tidak lain adanya ibu dari suaminya.
"Aku menyesal telah menerima perjodohan, ini." Aisha merasa sangat pening dengan semua masalahnya yang selalu saja bertambah. Dia menghentikan kendaraannya di pinggir jalan, sekedar menetralisir perasaannya yang sudah kacau.
"Seharusnya aku tidak mencintaimu, mas," lanjutnya lagi dengan frustasi. Ia menyesali perasaan yang tumbuh setelah mendengar Yudha mengucapkan ijab. Aisha mengira, janji sakral itu adalah awalnya menemukan kebahagiaan.
Dering telepon berbunyi, dengan cepat Aisha menyeka air mata yang masih saja turun di atas pipinya. Dia mengambil ponsel yang tersimpan di dalam tasnya. Sebuah nama terpampang jelas di layar ponsel, 'ibu'."
"Ibu," lirihnya dengan wajah panik.
"Apa yang harus aku sampaikan kepada ibu tentang rumah tanggaku? Bagaimana caranya aku bisa menjelaskan kalau aku tidak baik-baik saja menikah dengan laki-laki pilihannya? Karena aku sudah tidak tahan lagi, aku benar-benar tidak nyaman hidup disebuah rumah yang tidak memberikaku cinta." Aisha kembali tersedu.
Aisha menolak panggilan dari ibunya tersebut, lantas mengirimi pesan, dan mengatakan kalau dirinya hendak mampir ke sana, dan sedang berada di jalan.
Aisha menepis semua hal-hal buruk yang masih kalut di dalam pikirannya. Ia mencoba untuk lebih tenang, dan kembali menjalankan kendaraannya. "Ini bukan sekali, dua kali, Aish. Jadi jangan cengeng! Jika kemarin aku bisa melwatinya, kenapa kali ini tidak?" ujarnya seraya tersenyum getir.
Namun saat Aisha hendak melanjutkan perjalanannya, ibunya membalas pesan yang Aisha kirim. "(Bagus kalau begitu, tadinya ibu ingin bertanya mengenai wanita yang sering Yudha jemput)"
Deg!