"Oh, jadi ini kelakuan kamu di belakang Yudha, Aisha." Sebuah pesan singkat yang seseorang kirim beserta foto yang memperlihatkan kedekatan Aisha bersama temannya, yang tidak lain adalah Arman.
Setelah mendapat pesan tersebut, Aisha langsung menoleh ke sana-kemari, mengamati sekitar yang tidak terlihat adanya seseorang yang sedang memperhatikan dirinya.
'Siapa yang mengirim pesan ini? Ya Allah, semoga ini tidak menjadi masalah baru untuk rumah tanggaku."
"Aku duluan ya, Man." Tanpa menunggu lama, Aisha bergegas dari tempat tersebut, meninggalkan Arman yang terlihat keheranan dengan sikap Aisha yang sangat cemas.
***
"Sial, bagaimana mungkin ibu melakukan itu?" teriak Yudha seraya melempar beberapa dokumen dari atas mejanya.
Pria itu nampak marah setelah kembali dari rumah ayahnya. Kini dirinya mengetahui bahwa hubungan yang telah dimulai bersama Aisha tidak bisa dia tinggalkan, karena perusahaan yang ibunya berikan hanya bisa Yudha dapatkan selama dirinya masih menjadi suami dari Aisha. Namun, sebaliknya, apabila perceraian itu disebabkan oleh kesalahan yang Aisha perbuat, maka Yudha masih bisa menguasai perusahaan itu dan berpisah dari istrinya.
"Ibu memang pintar, dia tahu kalau Aisha tidak bisa menjadi penyebab dari kehancurah pernikahan ini," gerutu Yudha. Dia merasa frustasi karena harus terus berpura-pura bahagia dengan pernikahannya, sedangkan dia tidak bisa meninggalkan kekasihnya yang sangat dia cintai.
"Tapi, apa mungkin aku harus membuatnya melakukan kesalahan, sehingga aku punya alasan untuk menggugatnya, tapi apa? Dia tidak pernah membuat kesalahan apapaun selama ini. Ahhh, sialan." Yudha mengacak rambutnya dengan geram, kemudian menghamburkan tubuhnya di atas kursi, dia merasa terjebak dengan hubungan yang sama sekali tidak dia harapkan.
"(Mas, aku sudah di rumah, kalau kamu sudah selesai, pulang lebih awal, ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu!)" Yudha mengerutkan dahinya seraya membaca isi pesan yang Aisha kirimkan.
"Apa yang ingin dia bicarakan, aku sangat muak kembali pulang ke rumah." Yudha mendengus. Ia menglihkan pandangannya pada jendela yang ada di samping kananya dengan tatapan kosong.
"Ehem, masuk!" titah Yudha kala dirinya mendengar pintu ruangannya diketuk. Tidak ingin membuat suasana di kantor menjadi buruk, Yudha beranjak dari posisinya kemudian menghampiri wanita cantik yang menunggunya dengan senyuman di ambang pintu.
Seperti biasa, Yudha selalu menampakan senyumannya kala berhadapan dengan seseorang, terutama wanita yang kini ada di hadapannya, yang tidak lain adalah Sarah. Wanita itu langsung merentangkan kedua tangannya, lantas memeluk Yudha tanpa rasa malu.
Yudha pun, yang sangat nyaman kala bertemu dengan Sarah, langsung menyambut wanita itu dengan hangat, bahkan semua karyawan yang ada di kantor tersebut tidak heran lagi melihat atasannya yang selalu bermesraan bersama Sarah, kabarnya, semua yang ada di kantor tersebut tahu bahwa Yudha dan Sarah hampir menikah.
"Ada apa, Yudha? Kamu terlihat sangat kusut dan tidak bersemangat?" tanya Sarah.
"Tidak ada apa-apa, Sarah. Nanti malam, aku pulang lebih awal ke sana," ujar Yudha. Laki-laki itu berjalan ke arah jendela dengan santai.
"Kamu tidak mau mampir dulu ke rumah? Kamu pasti lelah, biar aku pijitin kamu di rumah."
"Tidak, Sarah. Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Aisha. Aku ingin terbebas dari wanita itu," jawab Yudha.
"Bicara soal Aisha, tadi sore aku bertemu dengannya," timpal Sarah.
Mendengar hal itu, dengan cepat Yudha menoleh ke arah Sarah dengan wajah penasaran.
"Kamu bertemu dengannya di mana?"
"Di depan toko kue."
"Lalu, apa kamu berbicara dengannya?" Yudha mendekat, kedua matanya memandang Sarah dengan limit-limit, mencari kepastian.
"Sepertinya jawabanku kurang pasti, Yudha. Saat kamu pulang nanti, aku yakin kalau istrimu itu akan mengatakan yang sebenarnya," jawab Sarah dengan tegas.
"Astaga. Aku harap kamu tidak membuat masalah baru lagi, Sarah!" gerutu Yudha.
Sarah melangkah pasti, ia memandang Yudha dengan tatapan tajam, kemudian berkata, "Apa maksud kamu, Yudha? Kamu berpikir kalau aku adalah biang masalah? Bukankah sudah jelas yang menjadi sumber masalah itu istrimu. Kalau saja dia tidak ada diantara kita, aku pasti sudah menjadi istrimu, tapi kenyataannya apa? Dia mengambil posisi yang mana seharusnya, itu adalah posisiku, Yudh, kamu memberikan posisi yang aku impikan selama dua tahun lebih kepada wanita lain. Apa aku tidak berhak marah, atau meminta hakku kembali?" teriak Sarah dengan nyaring.
"Astaga, Sarah." Yudha langsung menutup pintu ruangannya sebelum ada orang yang mendengar teriakan kekasihnya tersebut.
"Iya aku paham posisimu. Tapi tolong, kamu juga harus paham posisi aku saat ini!" pinta Yudha dengan tenang.
"Posisi yang mana yang harus aku pahami? Posisimu sebagai seorang suami? Itu?" desak Sarah.
"Sarah!" Yudha berdesis.
"Cukup kamu tahu, aku sedang memperjuangkan hubungan kita, aku sedang mencari cara agar bisa meninggalkan wanita itu untuk dirimu, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tidak menghargai perjuanganku, kamu tidak melihat masalah yang sedang aku hadapi. Aku sedang kesulitan saat ini, pikiran kau sedang kacau ke sana-kemari. Aku frustasi memikirkan semua ini. Seharusnya kamu mengerti dan bisa bekerja sama denganku, bukan malah seperti ini!" bentak Yudha.
"Dan iya, jangan sekali-kali kamu berpikir kalau aku akan menyukainya! Aku tidak akan pernah mencintai wanita itu. Jadi perlu kamu ingat, jika kamu tidak mengerti aku yang sedang berjuang untukmu, jangan pernah salahkan aku jika aku berubah pikiran!" ancam Yudha.
"Yudha! Apa maksud dari ucapanmu itu? Kamu berniat meninggalkan aku?"
"Selama ini, aku selalu mengikuti keinginanmu, aku selalu pulang ke rumahmu, selalu menemuimu untuk mendapatkan ketenangan, karena kamu satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa nyaman, jadi jangan sampai aku merasakan hal yang berbeda darimu. Aku pergi sekarang." Yudha langsung menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja, kemudian meninggalkan wanita itu dengan wajah kesal.
"Yudha!" teriak Sarah, tapi Yudha tidak menghiraukan teriakannya.
Sedangkan di tempat lain, Aisha terlihat sangat gelisah, jantungnya berdegup kencang, perasaanya kembali bercampur aduk ,mengingat isi pesan dari nomor tadi, ditambah dengan ucapan yang Sarah katakan kepadanya. Aisha sudah menangis seharian penuh, bahkan dirinya lupa untuk mengurus dirinya sendiri karena terlalu setres.
"Siapa orang itu? Kenapa dia mengambil fotoku dengan Arman, apa yang akan dia lakukan?" Aisha menunduk cemas di atas sajadah.
Terdengan suara pintu diketuk, tak ingin membuat suaminya menunggu lama, Aisha langsung bergegas membuka mukena yang masih terpasang di tubuhnya, sebelum ia turun untuk membukakan pintu, dirinya mengoleskan sedikit lipstik ke bibirnya, berharap Yudha sedikit meliriknya.
"Assalamualaikum," ucapnya dengan suara memelas. Sepertinya Yudha sangat lelah, hingga dirinya tidak melihat Aisha sama sekali.
"Wa'alaikumsalam, Mas. Mas kamu kenapa? Apa ada masalah?" Saat melihat suaminya, ada desir darah panas yang seketika bergejolak, hatinya sangat sakit mengingat Sarah yang mengatakan kalau Yudha adalah kekasihnya.
Untuk sesaat Aisha terdiam dengan semua amarah dan rasa penasaran yang ingin sekali dia ungkapkan saat itu juga. Namun, dirinya memilih untuk mengurungkal hal itu, tatkala melihat Yudha yang datang dengan wajah muram, bahkan laki-laki itu yang tidak melirik Aisha sama sekali, jangankan melirik, saat Aisha meraih tangannya pun, Yudha langsung mengibaskannya begitu saja.
"Mas, kenapa kamu diam saja? Apa kerjaanmu bermasalah?" Aisha kembali bertanya, ia membuntuti suaminya hingga kamar.
"Jangan bicara kepadaku dulu, Aisha. Aku sangat lelah, biarkan aku beristirahat sejenak!" perintahnya.
"Tapi, Mas. Ini soal Sarah!"
"Aku sudah katakan, bicaranya nanti saja, Aisha. Jika kamu tidak bisa menjadi istri yang berguna untukku, setidaknya jangan buat aku kesal!