"Apa yang terjadi Aish?" tanya Ayu, ibunya.
"Tidak ada, Bu," jawab Aisha dengan wajah tersenyum getir, menandakan dirinya yang sedang menyembunyikan sesuatu.
Hati seorang ibu tidak dapat dibohongi, dia bisa melihat kesedihan yang sedang anaknya sembunyikan, dari kedua mata Aisha yang terlihat memendam amarah disertai wajahnya yang pucat akibat terlalu sering menangis.
"Apa kamu bertengkar dengan Yudha? Apa ada masalah dengan rumah tanggamu, Nak?" tanya Ayu dengan mimik wajah penasaran. Wanita itu menatap Aisha dalam.
Diam. Aisha tidak tahu harus mengatakan apa, matanya langsung berkaca-kaca. Pertanyaan yang Ayu lontarkan membuatnya tidak bisa menahan air mata lebih lama lagi, alhasil bulir bening itu keluar dengan sendirinya.
"Benar?" Ayu langsung merangkul tubuh putrinya dengan hangat, mencoba menenangkan perasaan Aisha.
"Maaf, seharusnya aku tidak memaksamu untuk menerima perjodohan ini."
"Apa yang terjadi? Biar ibu bicara dengan Yudha."
"Tidak, Bu. Aku dan mas Yudha baik-baik saja. Malah pagi ini, dia memberiku banyak uang untuk kebutuhanku dan keperluan rumah," pungkas Aisha.
"Lalu, kenapa kamu menangis?" tanya Ayu heran.
"Aku hanya rindu sama Ibu." Aisha kembali memeluk ibunya dengan erat, air matanya benar-benar tumpah dibalik punggung ibunya, dadanya terasa sangat sesak jika ia mengingat rumah tangganya yang hidup dengan buruk, tapi dia tidak bisa memberitahu ibunya.
"Apa kamu tahu, Aisha. Saat ibu melihatmu menangis seperti ini, yang ada di pikiran ibu hanyalah wanita yang sering kali ada di dalam mobil suamimu." Aisha yang masih memeluk tubuh ibunya, langsung melepaskan pelukan itu dan beralih menatap Ayu dengan wajah bertanya-tanya.
"Apa kamu tidak mengetahinya, Aish? Apa suamimu tidak mengatakan apapun?"
'Siapa wanita yang ibu maksud?' batin Aisha.
"Apa jangan-jangan suamimu, berselingkuh? Berani-beraninya dia melukai anakku." Ayu langsung mengalihkan pandangannya kesembarang arah.
"Tidak, Bu. Ibu salah paham. Mas Yudha pernah cerita, kalau dia punya seorang asisten yang sudah dia anggap sebagai adik sendiri. Ibu tenang saja, Aish dan wanita itu juga berteman baik." Aisha tersenyum getir, mencoba meyakinkan ibunya, walau pun hatinya tersayat saat mengtahui hal itu.
"Ibu tidak perlu mencemaskanku, atau mencemaskan rumah tanggaku, aku dan mas Yudha baik-baik saja. Dia sangat menyayangiku, dia bahkan tidak pernah memarahiku, aku bahagia bersamanya." Apakah salah jika Aisha berharap ada sebuah keajaiban dari ucapannya tersebut? Dia mengucapkan nama suaminya dengan penuh harapan, kalau laki-laki itu akan bersikap baik, dan rumah tangganya benar-benar akan harmonis.
***
"Ya Allah, kenapa kini aku harus meminum pil pahit dengan racun secara bersamaan? Aku tidak berdaya ya Allah, tolong berikan aku kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya." Aisha merebahkan kepalanya di dalam mobil, tepat di depan supermarket.
"Aku tidak boleh terlalu memikirkan wanita itu sampai aku melihatnya sendiri. Mas Yudha adalah suamiku, dan aku harus percaya kepadanya."
"Tapi siapa wanita yang ibu lihat? Apa mungkin wanita itu ...." Kalimat itu terhenti saat seorang penjaga mengetuk kaca mobilnya. Dengan cepat Aisha membuka jendela tersebut.
"Mbak, tolong parkirnya yang benar, mobilnya menghalangi kendaraan lain!" pinta penjaga tersebut.
"Baik, Pak." Aisha langsung membenarkan posisi kendaraannya, dan bergegas untuk berbelanja kebutuhan bulanan, berharap dengan itu perasaannya menjadi lebih tenang.
"Oh iya, apa mas Yudha membutuhkan sesuatu?" Aisha mengambil ponselnya dan menghubungi Yudha saat dirinya tengah berbelanja kebutuhan rumah. Dan tidak berselang lama, Yudha mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamualaikum, mas."
"Wa'alaikumsalam, ada apa kamu telepon aku?" tanya Yudha dengan ketus.
'Apa harus dengan nada itu dia bertanya?' batin Aisha tertegun.
"Cepat katakan, Aish! Aku sedang bekerja," tegur Yudha.
"Oh maaf. Aku sedang berbelanja, apa kamu butuh sesuatu?" tanya Aisha.
"Tidak. Aku tidak butuh apapun, kamu bisa gunakan uang tersebut untuk keperluanmu saja, aku bisa mengurus diriku sendiri. Jangan terlalu mempedulikanku!" jawabnya dengan nada yang mengandung emosi.
"Mas, kamu kenapa marah seperti ini?" Aisha langsung mengernyit heran, tidak biasanya Yudha bersikap seperti itu.
"Apa ada masalah dengan pekerjaanmu, mas?" Aisha berusaha untuk menyimpan rasa kesalnya setelah mendengar nada bicara Yudha.
"Tidak, sudalahlah, aku tutup panggilannya sekarang."
"Yudha, apa kamu sudah makan? Aku membawakanmu makanan seperti yang kamu bilang ditelpon tadi." Sebuah suara terdengar sangat jelas dikedua telinga Aisha, sebelum Yudha akhirnya menutup panggilan tersebut secara sepihak. Aisha menganga dengan rasa tidak percaya.
Aisha sangat yakin, kalau pemilik suara itu adalah seorang wanita. "Siapa dia? Kenapa dia berbicara dengan sangat santai dengan mas Yudha? Tidak mungkin jika wanita itu adalah asistennya. Mana mungkin seorang asisten akan berbicara seperti itu kepada atasannya sendiri." Aisha kembali menerka-nerka. Mimik wajahnya semakin murung.
"Apa mungkin, wanita itu adalah orang yang ibu maksud? Apa dia orang yang sama?" gumam Aisha.
"Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di belakangku, mas. Namun, jika benar-benar terbukti kamu melakukannya, aku tidak bisa mentoleransi hal ini," lanjutnya dengan yakin.
***
Cklek...
Tepat jam sepuluh malam, pintu kamar terbuka dengan perlahan, tampak Yudha datang dengan wajah yang sangat lelah. Aisha yang sedari siang menangis, kini menyambut Yudha dengan matanya yang bengkak, tapi hal itu tidak membuatnya mengkhawatirkan keadaan Aisha.
Saat ini Aisha merasa gugup dan tidak nyaman. Ada amarah yang bergejolak di dalam dadanya saat melihat Yudha. Ada emosi yang rasanya ingin sekali dia luapkan di depan muka suaminya tersebut. Namun, rasa sakit di hati, kembali menghentikannya dengan ketidak mampuan Aisha melawan kehendak Yudha.
"Apa kamu mau mandi, Mas?" Mungkin itulah kalimat yang bisa Aisha ucapkan di tengah kegelisahannya untuk mengurangi rasa canggung di hadapan Yudha.
"Tidak," jawab Yudha tanpa menoleh ke arah Aisha.
Setelah ia berhasil membuka baju dan membersihkan diri, Yudha menghampiri Aisha. Laki-laki itu duduk tepat di samping istrinya, dia menatap wajah Aisha dengan dalam. Aisha semakin canggung dengan Yudha yang tiba-tiba menghampirinya, padahal sebelumnya Yudha selalu menjaga jarak selama di dalam kamar.
"A-ada apa, Mas?" tanya Aisha gugup.
Ini kali pertama Aisha bertatapan di dalam kamar dengan suaminya secara intens, bahkan nyaris tidak ada jarak diantara keduanya. Yudha terus mendongakkan wajahnya ke arah Aisha, sedangkan Aisha sudah terdiam di atas bantal dengan mata yang terpejam.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh," bisiknya, menghancurkan harapan Aisha.
Yudha menarik tubuhnya, kemudian berkata, "Aisha, apa kamu punya waktu sebentar? Aku ingin bicara."
"Aku selalu punya waktu untukmu, Mas. Jadi menurutku, pertanyaanmu tidak tepat untukku," jawab Aisha.
Yudha mengalihkan pandangannya ke arah lantai, sedangkan Aisha langsung bangun dan duduk begitu mendengar ucapan suaminya.
'Apa yang ingin mas Yudha bahas? Tidak biasanya dia ingin berbicara seserius seperti ini. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan wanita yang ibu maksud? Ya Allah, semoga aku tabah mendengarnya,' batih Aisha.
Waktu sudah berlalu, beberapa menit Aisha duduk terpaku menatap Yudha yang tak kunjung membuka suara. Aisha sudah menduga-duga, kalau suaminya akan membahas tentang rumah tangganya yang tidak baik, atau membahas soal perempuan yang ada di kantornya.
Wajah Yudha kini memandang Aisha dalam, membuat rasa gugup kembali hadir. Aisha menghela nafas panjang, mencoba untuk lebih tenang menghadapi kenyataan yang akan suaminya katakan.
"Ada apa, Mas? Bicara saja! Aku tak pernah melarangmu apapun, katakan saja!" ucap Aisha diikuti senyuman yang getir. Kini rasanya sangat sulit untuk Aisha tersenyum dengan tulus kepada suaminya.
'Aku harap pikiranku salah, mas. Aku berharap yang akan kamu sampaikan adalah sesuatu yang sangat baik. Aku berharap kamu akan memperbaiki rumah tangga kita yang sudah ropoh ini,' batin Aisha dengan penuh harapan.
Yudha tersenyum simpul, sungguh senyuman yang sangat dingin kini Aisha dapatkan darinya. Ia mengangguk perlahan, memandang Aisha dengan mantap sambil membuang nafas dengan kasar, Ia beranjak dari posisinya, memilih duduk di tepi ranjang, kembali memulai membatasi jarak seperti sebelumnya.
"Ada hal penting yang ingin aku sampaikan, mungkin kamu pernah mendengar ini dari Almarhumah ibuku, tapi kini akan aku sampaikan lagi," ujaranya dengan ragu.
Aisha mengangguk pelan. Ia mencoba mengikuti keinginan Yudha dengan tenang, meskipun hatinya sangat cemas dan jantungnya yang berdegup kencang. Aisha tidak tahu apa yang akan Yudha bahas, tetapi, dia tahu kalau suaminya tidak ingin membahas perempuan yang ada di kantornya tadi, dia menyangkutkan hal ini dengan Almarhumah ibunya, kemungkinan itu bersangkutan dengan niat pernikahannya.
Detik-detik berlalu, Yudha tak kunjung mengatakannya, hanya terdengar helaan nafasnya bersamaan dengan detak jantung yang kian berpacu. Aisha meremas ujung hijab yang masih ia kenakan, berusaha menenangkan perasaannya.
Yudha berdecak pelan, bibirnya tertahan, seolah ragu untuk mengatakannya.
"Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan, Mas?" tanya Aisha geram.
"Perpisahan!"