"For God's sake, what the hell are you doing?" Chiara memekik marah.
Hanya itu yang terucap dari bibir perempuan bertubuh seksi itu, karena kedua kaki Chiara seolah-olah tak mampu lagi menapak.
"Cia, kenapa kamu udah balik?" Wanita yang tadinya sudah larut dalam cumbuan itu mendadak sibuk membenahi pakaian.
Laki-laki yang sedang menindih, hanya tersenyum simpul. Namun, masih dalam posisi di atas tubuh wanitanya.
"Keluar, Berengsek!" Chiara menunjuk kepada lelaki yang masih bertelanjang dada itu.
"Cia, sopanlah sedikit! Dia ini calon suami Mami kamu."
"Ap-apa? Calon ... suami? Janu, apa maksudnya?" Chiara seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru saja didengar.
"Janu? Wait, kamu kenal sama pacarnya Mami?" Mia Kirana mengernyit heran, menatap ke arah putri dan kekasihnya bergantian.
Chiara kehilangan semua kalimat yang hendak diteriakkan. Bagaimana bisa laki-laki yang bernama Januari Prakasa itu ada di kamar sang Mami? Dan mereka adalah sepasang kekasih?
Chiara menggeleng cepat, berkali-kali. "Ini cuma mimpi buruk, Cia. Ayo, bangun!" desisnya, perih.
Namun, lelehan air mata menyadarkan ia bahwa ini semua nyata. Laki-laki yang belakangan ini selalu memeluk sembari memagut bibir sensual miliknya itu tak lebih dari pengkhianat.
"Pras, kamu kenal sama Cia, Sayang?"
Darah. Chiara merasa hatinya sudah dipenuhi oleh darah. Patah karena tak mungkin bersaing dengan mamanya sendiri.
"Pras! Jawab aku!" Mia memekik marah.
Dengan santainya, Januari beranjak dari tubuh Mia. Januari menyandarkan punggung pada headboard ranjang, menatap tajam ke arah Chiara. Kilat licik muncul sepintas, lalu berganti ketika menatap ke arah Mia dengan senyum memikat.
"Baby, kita sudah terlalu lama menyembunyikan hubungan ini, kan? Apa aku harus membatalkan rencana pernikahan kita, hm?"
"No, Sayang. Jangan tinggalkan aku. Please," rengek Mia dengan nada manja.
"Jadi kamu pilih aku atau dia?" Januari menunjuk ke arah Chiara yang terduduk lemas di depan pintu kamar.
Mia disergap rasa bimbang. Chiara adalah anak gadisnya semata wayang. Namun, Januari Prakasa adalah lelaki yang pertama kali menikmati tubuh dan memiliki hati Mia, sejak mereka masih duduk di bangku SMA.
Letupan cinta dan nafsu membuatnya tak mampu menahan gejolak ketika mereka kembali dipertemukan kembali. Ajang reuni adalah kuncinya. Januari menyadari kalau tubuh yang menjadi candunya dahulu itu masih sama. Terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Sejak ayah Chiara meninggal, Mia memang semakin getol merawat diri. Banyak duda bahkan pria beristri yang datang menawarkan diri. Namun, Mia memang mengunci hati. Karena hanya Freddy, ayah Chiara, yang mau menerima semua kekurangan Mia di masa lalu.
Reuni itu membuat getar-getar cinta di antara Januari dan Mia kembali meraja. Sejak saat itu, mereka selalu membuat janji kencan yang berakhir dengan beradu desah di kamar hotel.
Tadi, Mia beralasan kurang enak badan, sehingga Januari langsung datang ke rumah. Bahkan lelaki itu memakai taksi agar segera tiba di rumah wanitanya. Sial, ketika mereka baru pemanasan, keduanya dipergoki oleh Chiara.
"Aku beri kamu tiga hari untuk berpikir." Januari mendengkus sebelum akhirnya turun dari ranjang. Dipungutnya kemeja dan celana kerja yang terserak di lantai.
Tanpa berniat untuk memakainya, Januari melewati Chiara. Gilanya, Januari malah menjilat bibirnya seolah-olah mengingatkan Chiara akan kebiasaan mereka berdua sehabis berciuman.
'Bangsat!' Chiara memaki dalam hati. Tangannya mengepal, tetapi tak punya tenaga untuk melampiaskan.
"Sayang, tunggu." Mia yang baru sadar dari lamunan langsung tergesa-gesa.
"Mi, please. Pakai baju!" Chiara berbisik lirih.
Namun, Mia yang tampak panik mengabaikan bisikan putrinya. Lingerie yang dikenakan sang Mami tampak masih berantakan. Tak hanya itu, bekas merah di leher sang Mami pun tercetak jelas di beberapa tempat.
Chiara berusaha keras untuk bangkit lalu menyeret langkah ke kamarnya. Hanya satu hal yang ingin ia lakukan, menghapus semua kenangan bersama Januari.
**
"Ada hubungan apa kamu dengan Pras?" Mia bertanya dengan nada dingin.
Chiara yang baru saja duduk dan hendak sarapan, mendadak kehilangan selera makan. Ia hendak bangkit, tetapi tangannya malah dicekal oleh Mia.
"Jawab Mami, Chia!"
Walau enggan, terpaksa Chiara kembali duduk. "Hanya sebagai atasan dan bawahan, Mi."
"Jadi ... kamu itu sekretaris pribadinya Pras?" Mia memekik keras.
Chiara mengangguk lemah. Ya, Januari Prakasa adalah CEO di kantor tempat Chiara bekerja. Lelaki tampan yang mampu membuatnya terbius pesona. Awalnya Chiara hanya kagum karena sesibuk apa pun, Januari selalu punya waktu untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dipahami oleh pegawai baru sepertinya.
Mia mengigit bibir. Mendadak muncul ingatan ketika sedang asyik melenguh di atas ranjang bersama Januari, ada panggilan masuk yang langsung ditanggapi oleh lelakinya itu.
"Kamu ... Karina yang selalu dipuji oleh Pras?" Mia berusaha memastikan ulang.
Chiara mengangguk lemah. Di kantor, Karina adalah nama panggilannya. Januari yang pertama kali mengucapkan panggilan itu dan diikuti oleh seluruh pekerja di kantor.
Mia tak percaya kalau sekretaris pribadi yang selama ini membuat cemburu tak lain adalah putri semata wayangnya sendiri.
"Makanlah." Mia menghela napas panjang. "Mami gak mau kamu sakit."
"Maaf, Mi. Cia gak lapar. Cia ke kantor dulu, ya." Chiara langsung beranjak.
Padahal hatinya hancur lebur, tetapi Chiara memutuskan untuk bersikap profesional. Terlebih karena hari ini ada rapat penting yang harus dihadiri oleh seluruh divisi.
Sebelum masuk mobil, Chiara memastikan penampilannya sudah sempurna seperti biasa. Setelan blazer juga celana panjang berwarna magenta itu tampak manis dipadu dengan high heels berwarna senada. Rambut panjang kecoklatan miliknya diikat ala ponytail.
Ketika Chiara baru tiba di area parkir, Januari pun tampak baru turun dari mobil. Jantung Chiara seperti ingin melompat dari tempatnya. Biar bagaimanapun, pesona lelaki itu tak mungkin sirna dalam satu malam.
Terlebih ketika Chiara mengingat otot pejal milik Januari yang terpampang jelas saat melewatinya semalam.
Chiara menggeleng cepat, memilih untuk segera masuk ke ruangan kerja dari pintu yang berbeda. Untung saja, walau berstatus sebagai sekretaris pribadi, tetapi Chiara punya ruangan sendiri.
"Mbak, dipanggil Bapak ke ruangan."
Chiara ingin kabur, tetapi itu adalah hal yang mustahil. Dalam hati ia merutuk, menyesal karena tidak membolos saja agar bisa puas menangis seharian di rumah.
Sembari mengangguk sopan, Chiara melangkah ke ruangan Januari. Padahal baru kemarin, mereka saling memagut lembut di dalam ruangan itu.
'Shit, Cia! Jangan bodoh! Bajingan itu sebentar lagi bakalan jadi pengganti Papimu!'
Chiara mengetuk pintu lalu masuk sebelum dipersilakan. Seolah-olah sudah mempersiapkan diri, Januari langsung mendekap tubuh Chiara lalu menekannya ke arah dinding.
"Kirana, aku merindukan aroma napasmu."
Belum sempat Chiara berpikir, bibir Januari sudah memagut lembut. Seperti biasa. Chiara merasa tungkai kakinya mendadak lemas, ingin berteriak tetapi tak mampu.
Ternyata, ia sudah sedalam itu mencandu ciuman dari seorang Januari Prakasa, kekasih Chiara sekaligus calon suami maminya sendiri.
'Aku tak akan mengalah. Aku yang akan memenangkan hati kamu, Janu. Kamu milikku, bukan Mami!'
***