Chereads / Between Two Sugar Daddy / Chapter 7 - Pindah ke Jakarta

Chapter 7 - Pindah ke Jakarta

"Ronny Erlangga," ulang Chiara sembari mengulum senyum.

Gadis itu sudah sampai di kamar lagi. Chiara merebahkan tubuh di ranjang tanpa mengganti gaun yang sejak tadi dikenakan.

"Tampan juga. Tapi galak banget." Chiara mencebik. "Tidak seperti Janu."

Chiara langsung menggigit lidah. "Kenapa aku malah menyebut nama laki-laki berengsek itu lagi!"

Chiara menelungkup. "Tapi aku masih sangat mencintai dia. Janu, apa sekarang kamu sedang berbagi peluh bersama Mami?"

Tangis Chiara luruh lagi. Kegiatan panas di antara Januari dan Mami mendadak muncul di ingatan Chiara. Ia sampai harus membenamkan wajah di bantal, lalu menjerit sepuas hati.

Merasa sudah cukup puas menangis, Chiara turun dari ranjang lalu melangkah ke arah balkon. Angin malam membelai wajahnya.

Chiara berdiri di pagar pembatas balkon lalu menumpu kedua tangan. "Cantik sekali pemandangan langit malam ini. Apa Janu juga sedang menatap ke langit sambil meluk Mami?"

Chiara menelengkan kepala. "Ah, Cia. Kenapa suka sekali mempersulit diri? Mau sampai kapan terus terpuruk seperti ini?"

Sayangnya, hati gadis itu masih sangat rapuh. Chiara pun kembali menangis terisak-isak sendiri di balkon itu.

***

Chiara sudah sepenuhnya bangun dari tidur yang tak nyenyak sepanjang malam. Gadis itu duduk bersila di lantai sembari menatap hampa ke arah koper.

"Aku tak bisa seperti ini terus. Lebih baik aku pindah saja ke kota Jakarta. Mungkin di sana aku akan punya masa depan yang lebih cerah."

Chiara meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak pasrah di lantai. Keningnya mengernyit. Ada pesan masuk dari Mami.

Chiara tersenyum. "Akhirnya Mami menyadari kalau aku menghilang." Tombol pesan masuk itu dibuka.

Tak butuh waktu lama, sebuah video rekaman pun muncul.

"Karina, lihat. Aku sudah menguasai ibumu. Dia sangat liar, tetapi sepertinya dalam waktu dekat aku akan merasa bosan." Januari berhenti berbicara lalu merekam ke arah di mana Mia tertidur lelah, tanpa busana.

Chiara menangis tergugu. "Berengsek! Kenapa kau melakukan hal sekotor ini, Januari Prakasa?"

"Bergabunglah bersamaku, Karina. Ayo, pulang dan merangkak naik ke tubuhku, My Sugar Baby."

Ponsel itu dilempar sembarang. Video masih tetap menyala. Chiara memeluk lutut yang gemetar sembari terisak-isak.

Celotehan Januari tak lagi terdengar karena yang terdengar selanjutnya hanyalah desahan napas dan rintihan tertahan dari Mia.

"Lelaki jahanam!" Chiara berteriak seperti kesurupan lalu menutup rapat kedua telinga.

**

Tekad Chiara sudah bulat. Dicengkeramnya handle koper kuat-kuat. Halaman bandara internasional itu yang menjadi tempatnya berdiri sekarang.

"Jakarta, aku datang." Chiara menggumam lirih.

Gadis itu tahu, tidak mudah memulai hidup tanpa siapa pun di Ibukota itu. Jika hanya mengandalkan tabungan saja, Chiara tidak yakin bisa bertahan lama karena belum punya pekerjaaan pengganti. Maka ia memutuskan untuk menjual mobil dengan harga murah karena butuh modal hidup.

Chiara merasa sedih ketika sudah duduk di bangku pesawat. Kembali teringat momen kebersamaan dengan Januari ketika mereka dinas ke luar kota.

Saat itu, hubungan mereka baru saja berjalan satu minggu. Perusahaan sedang sangat banjir klien yang mengharuskan mereka visit langsung.

Chiara dan Januari benar-benar sibuk dan tidak sempat untuk berpacaran. Mereka hanya bisa saling menggenggam tangan saja ketika sudah hendak kembali ke Jakarta.

Chiara menyandarkan kepala di bahu Januari. Hatinya berbunga-bunga. Terlebih ketika Januari membisikan kata-kata cinta. Rasanya Chiara melambung tinggi.

Sejak mereka resmi berpacaran, Januari sering mengirim uang ke rekening pribadi Chiara. Biaya perawatan kecantikan, belanja pakaian, tas juga sepatu untuk penunjang penampilan. Gadis itu benar-benar dimanjakan oleh Januari dengan segala fasilitas yang dibiayai penuh.

Janji Januari yang belum terealisasi adalah mengganti mobil Chiara. Mereka akan menggantinya ketika Chiara resmi mengikat diri pada Januari.

Chiara menghapus air mata yang kembali mengalir. Sun glasses yang tadinya berada di kepala, langsung diturunkan untuk menutupi mata yang agak bengkak karena terus menangis.

Chiara memalingkan wajah ke arah jendela, memandang hampa ke arah kumpulan awan. Ia berusaha menabahkan hati di sepanjang perjalanan via udara itu.

Ketika sudah menjejakkan kaki di bandara internasional Soekarno-Hatta, Chiara langsung menghubungi seseorang memakai ponselnya.

"Kamu di mana? Aku udah sampe di bandara." Chiara tetap melangkah ke arah luar sembari celingukan mencari orang yang ia hubungi. "Oke."

"Halo, Cantik. Nyari aku?" Suara renyah itu menyapa telinga Chiara.

Langsung saja Chiara berbalik badan. "Maureen. Aah, aku kangen banget."

Keduanya berpelukan erat. Beberapa pasang mata pengunjung bandara tampak mengulum senyum. Bagaimana tidak, dua gadis berperawakan tinggi langsing dengan setelan modis juga beraroma wangi menjadi hiburan bagi mata lelaki.

"Ayo, pulang. Kita cerita di apartemen aku aja." Maureen melepas pelukannya.

Chiara langsung mengiyakan seraya menarik kembali kopernya. Sepanjang jalan, keduanya asyik bertukar cerita. Mengenang masa-masa indah ketika mereka berkuliah dahulu.

Ketika Chiara melihat mobil Maureen muncul decak kagum dalam hati. Betapa hidup Maureen sudah berubah drastis sejak pindah ke kota Jakarta.

Tidak ada lagi gadis tomboi yang cuek. Maureen sudah bertransformasi menjadi sangat cantik. Kulitnya putih mulus.

Jika dahulu Maureen sering mengenakan kemeja kotak-kotak gombrong plus celana jeans belel, kali ini semuanya seperti disulap. Maureen mengenakan setelan blazer lengkap dengan rok mini dan high heels berwarna senada. Shocking pink.

Tak hanya itu, rambut yang biasanya hitam legam terikat asal itu sekarang sudah ditata agak bergelombang. Seksi.

"Makasih ya, Rin. Aku bingung banget tadinya mau ke mana."

Maureen hanya mencebik. "Ih, basi, deh. Kayak sama siapa aja."

'Benar. Dahulu, aku dan Maureen adalah sahabat yang sudah seperti saudari kandung. Kami saling memiliki satu sama lain. Sampai akhirnya, ada satu keadaan yang memaksa kami untuk terpisahkan dan sempat putus komunikasi.' Chiara membatin.

"Besok, aku bakalan tanya ke HRD. Ada lowongan kerja gak buat kamu. Atau nanti aku cari tau, deh, pekerjaan apa yang cocok."

"Oke."

"Jadi malam ini, kamu istirahat aja dulu. Kebetulan aku ada urusan, jadi mungkin balik agak malam. Gak apa-apa, kan?"

"Gak masalah, Rin. Santai aja."

"Kita mampir beli makanan dulu, ya. Aku gak mau kamu sampe kelaparan. Malu dong aku, sebagai tuan rumah." Maureen tertawa lepas.

Dari jarak yang sangat dekat, Chiara bisa melihat bagaimana mulusnya kulit Maureen. 'Pasti banyak sekali biaya yang sudah dia keluarkan untuk perawatan kecantikan.'

Tentu saja, lagi-lagi Chiara teringat pada perawatan kecantikan yang biasa dibiayai oleh Januari. Senyum pahit pun kembali muncul di wajah gadis cantik itu.

Untung Maureen sedang berkonsentrasi penuh pada jalanan, sehingga tak menyadari gemuruh yang tengah bergejolak di hati Chiara. Wajah Chiara yang ditekuk masam itu luput dari pandangan Maureen.

Mereka berdua turun di salah satu restoran padang. "Aku paling suka beli makanan dari sini. Semuanya enak." Maureen mempromosikan restoran itu sembari mengelus perutnya yang ramping.

"Tapi kamu kayak tipe orang yang gak makan nasi, tau, Rin." Chiara tertawa kecil.

"Aku? Gak makan nasi? Mana mungkin. Aku cinta banget sama nasi, Cia."

Setelah puas memilih menu makanan untuk dibawa pulang, mobil Maureen kembali melaju membelah padatnya jalanan ibukota.

"Finally. Selamat datang di apartemen milik Maureen."

***