Hari-hari yang dijalani oleh Chiara terasa sibuk tetapi menyenangkan. Banyak perusahaan rekanan yang berhasil didapatkan dengan bantuan Brandon.
Hubungan di antara keduanya semakin dekat. Walau tentu saja, Chiara hanya menganggap Brandon sebagai rekan kerja semata. Karena mereka sering dipasangkan untuk visit ke perusahaan rekanan.
"Pagi, Beb. Balik jam berapa semalam?" Chiara mengulurkan cangkir kopi pada Maureen yang baru bangun tidur dan melangkah ke arah kitchen island.
"Jam dua pagi. Capek banget aku. Untung hari ini aku cuti." Maureen langsung menghidu aroma kopi yang menguar tajam. "Enak banget aromanya."
"Jangan kecapekan, dong. Jaga kesehatan."
"Kamu taulah kalo Craig giliran nginap. Mana mau dia gak memanfaatkan aku." Maureen menyesap kopinya lalu mengucapkan kata 'aah' yang sangat seksi.
"Iya. Aku tidur kayak orang pingsan. Gak tau kalau kamu balik."
Maureen tertawa. "Untung, deh. Kalau gak, kamu bakalan nonton adegan live kami di ruang tamu."
Chiara melotot. "Hah? Serius? Jadi sofa itu semalam jadi tempat kalian menumpahkan--"
"Iya. Kan udah aku bilang kalau Craig suka gak tau tempat kalo lagi pengen." Maureen nyengir tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Dasar pasangan gila! Kalo semalam kebangun karena haus, ternoda sudah kesucian mataku." Chiara mencebik.
"Asal jangan lo khilaf sama si Brandon aja."
Chiara batal menyesap tehnya. "Kok, tiba-tiba bawa nama Brandon, sih?"
"Hanya mengingatkan. Tipe cowok bergaji minimalis kayak Brandon, walau tampangnya mirip artis Turki, tapi gak banget buat cewek kayak kita."
Chiara mencebik. "Kenapa melulu harus dikaitkan dengan uang, sih, Rin?"
"Karena Cia sayang, perawatan kecantikan juga biaya hidup di Jakarta ini mahal. Gak cukup hanya makan cinta."
Chiara menopang dagu dengan kedua tangannya. "Tapi dulu, Janu memfasilitasi segalanya. Selingkuh juga dia."
"Karena dia pengen dapat yang lebih dari sekedar ciuman dan grepe-grepe badan doang. Apesnya, maaf, sama Mami dia dapat semuanya."
Luka hati Chiara seperti terbuka kembali. Wajah cantiknya langsung berubah sendu.
"Eh, maaf, Beb. Aku cuma--"
"It's oke, Babe. Aku pikir dengan menjauh, akan cepat kering luka hati ini. Tapi ternyata, aku masih sakit banget, belum sembuh sepenuhnya."
"Pelan-pelan aja, ya. Kamu gak sendirian, kok. Ada aku di sini." Maureen meremas jemari Chiara, mencoba menguatkan hati sahabatnya itu.
"Iya. Sudah enam bulan, aku masih belum bisa move on."
"Patah hati akut, apalagi cinta pertama, itu memang beda-beda waktunya untuk sembuh. Gak bisa instan juga, kan."
"He em. Apa aku cari pacar lagi aja?"
"Mau dikenalin? Temen blasteran Craig ada, kok. Minat?"
"Ogah. Aku belum kepengen dibolak-balik tiap hari." Chiara mendengkus.
"Iya, deh, yang masih virgin," ejek Maureen.
Mereka berdua tertawa serempak. Tiba-tiba Craig muncul dan memeluk Maureen dari belakang.
"Tumben udah bangun?" tanya Maureen.
Craig menyusupkan wajah di ceruk leher Maureen. "Karena gak ada kamu di sebelah aku."
"Hei, jangan berbuat mesum di depanku. Aku masih terlalu polos!" Chiara langsung memekik kecil.
"Ah, lanjutin, Honey. Agak ke bawah." Maureen malah sengaja menarik kepala Craig untuk menempel di dadanya.
"Dasar pasangan sableng." Chiara tergelak.
Hubungan mereka bertiga memang sudah sangat dekat. Craig tak lagi menjaga jarak pada satu-satunya sahabat kekasihnya itu. Terlebih sikap Chiara yang memang mudah berbaur dengan siapa saja.
"Gak ngantor, Bu?" Maureen merebahkan diri di dada Craig yang sengaja menarik stool bar untuk duduk berdekatan.
"Ngapa? Mau ehem lagi?"
Craig mengacak rambut Maureen penuh kasih sayang. "Jangan gitu, Baby. Kasian Cia. Gak punya pelampiasan."
Chiara langsung mendengkus. "Kayaknya aku pindah aja, deh, ya. Biar kalian bebas show off di semua sudut kayak dulu."
Craig tergelak. "Jangan. Selama ini, sejak kamu ada, My Mou semakin ceria. Gak perlu disogok pake berlian lagi."
"Eh, enak aja." Maureen langsung menarik diri dari dada kekasihnya. "Aku mau nagih janji. Kamu udah cair bonusan, kan? Goal kan, proyek kemarin?"
"Oo ow." Chiara menimpali sembari tersenyum jahil.
Craig menggaruk kepala. "Aku pikir kamu lupa, Baby."
"Maureen? Lupa sama duit? Itu mustahil banget, Craig. Dia matrenya gak nanggung." Chiara memeletkan lidah, mengejek sahabatnya.
"Lah, kan ujungnya buat dia. Semua keseksian ini, dia juga yang merem melek menikmati sampe minta tambah melulu."
Craig langsung mencapit bibir seksi milik Maureen. "Di rem dikit mulutnya, Baby."
Chiara hanya tertawa melihat 'pertengkaran' di antara keduanya. Mereka berdua adalah pasangan kekasih yang tidak pernah bertengkar. Selalu akur dan penuh cinta. Membuat iri siapa saja yang memandang.
"Makanya punya rekening itu dicek. Aku udah transfer banyak, kamu gak nyadar." Craig menarik jemarinya dari bibir Maureen.
"Eh, serius? Cia, nanti pulang kerja, kita shopping, ya. Aku mau beli lingerie seksi buat menjamu tamu." Maureen mengedipkan sebelah mata.
Chiara hanya menggeleng cepat. "Aku gerah kalau lama-lama dekat kalian. Bye, Craig. Aku berangkat kerja, ya, Rin."
Belum sempat Chiara menutup pintu, sudah terdengar jeritan seksi ala Maureen.
Chiara langsung tergelak. "Belum juga lima menit ditinggal, udah langsung nerkam aja itu lakik. Ckck."
**
Keduanya tiba di apartemen dalam kondisi tangan penuh dengan kantong belanja. Tak hanya membeli untuk dirinya sendiri, Maureen juga mentraktir Chiara.
Sejak dahulu, keduanya memang selalu berbagi. Tak jarang juga mereka membelikan satu sama lain.
"Kamu belanja banyak banget, Rin. Gak sayang duit."
"Come on, Babe. Uang yang dia transfer itu banyak banget. Di tabungan juga masih banyak sisanya, kok."
"Semua yang kamu punya, atas nama siapa?"
"Aku, dong. Ada dua rumah yang sudah aku beli dari uang jajan dari Craig. Aku juga punya usaha kos-kosan kecil-kecilan."
"Craig tau?"
Maureen menggeleng seraya tersenyum jahil. "No. Dia taunya aku boros banget. Padahal semua yang dia beri, jadi asset berharga."
Chiara mengangguk setuju. Ia merasa sedikit menyesal karena tidak secerdik itu kala bersama Januari. Padahal tiap bulan, Januari selalu memberinya uang dalam jumlah besar.
"Kita belanja kalap kayak gini, dia gak marah?"
"Ck! Ayolah. Aku udah beli enam pasang lingerie dan kostum. Dia gak akan marah. Money back guarantee."
"Insane."
"Yes, I am." Maureen tertawa lepas.
Ketika mereka tiba di apartemen, Craig membuka pintu lalu bersiul. "Shop till you drop, hm?"
Maureen meletakkan semua barang belanjaan lalu mencium bibir Craig. "Aku bakalan buat kamu drop abis ini, Honey."
"Oke. Anak di bawah umur mau duluan bobo, ya."
Maureen dan Craig langsung tertawa lebar. "Jangan lupa minum obat cacing, Babe," ejek Maureen.
"Iya, deh. Mentang-mentang mau main ular kasur." Chiara langsung beranjak menuju kamar.
Tawa sepasang love bird itu kembali pecah. Craig lalu memunguti kantong belanja milik Maureen. Mereka berjalan bersisian menuju ruang tengah.
"Kamu traktir Cia juga, kan?" Craig berbisik.
"Iya. Gak apa-apa, kan, Hon?"
"Gak apa-apa banget. Kalau kurang, nanti aku transfer lagi."
"Aku gak tega liat Chiara. Dia itu merintis karir dari bawah banget. Ke mana-mana naik motor. Kasian, kulitnya jadi item."
Sebenarnya, Maureen agak berlebihan. Padahal kulit Chiara tidak mengalami perubahan sama sekali.
"Ya udah. Nanti kita beliin mobil buat dia. Doakan proyek selanjutnya goal lagi, ya."
"Serius, Honey?" Maureen langsung mencium Craig bertubi-tubi.
**
"Cia, aku ... hamil."
Mendadak, pandangan mata Chiara menggelap, lalu tubuhnya limbung dan disusul dengan pekikan Maureen.
***