Chereads / Between Two Sugar Daddy / Chapter 14 - Hari yang Mendebarkan

Chapter 14 - Hari yang Mendebarkan

Usai mengantar Maureen ke kantornya, Chiara langsung mengemudi ke tempat yang ditentukan oleh Brandon.

Hari ini mereka akan menemui calon rekanan yang akan memakai produk sparepart perusahaan Erl's. Ketika Chiara tiba, sepeda motor milik Brandon sudah tampak terparkir rapi. Namun, pemiliknya tidak kelihatan.

Chiara memarkirkan mobil lalu meraih hand bag. Gadis itu hendak menghubungi Brandon. Namun, baru hendak menekan tombol panggilan, terdengar suara ketukan di kaca mobil.

Chiara tersenyum lalu menurunkan kaca. "Panjang umur. Baru saja mau ditelepon."

Brandon tersenyum lebar. "Ayo, udah sarapan, kan?"

"Udah, Bang. Bentar." Chiara meraih hand bag lalu keluar dari mobil.

Kali ini, Brandon kembali terkesima melihat penampilan juniornya itu. Kemeja satin lengan panjang dengan aksen ruffle dipadu dengan celana bahan juga sepatu hak tinggi yang menunjang penampilan secara keseluruhan.

Hanya dengan melirik hand bag itu, Brandon sadar betapa harga keseluruhan outfit yang dikenakan oleh Chiara.

"Bang, kok malah bengong? Ayo, masuk." Chiara menepuk lembut tangan Brandon.

"Hah? Eh, oh, ayo, ayo." Brandon langsung gelagapan karena kepergok mengamati gadis itu agak lama.

Chiara berusaha meredam tawa karena tingkah Brandon. Bukan ia tak mengetahui kalau seniornya itu punya ketertarikan berbeda terhadap dirinya. Namun, Januari Prakasa masih menguasai hati Chiara.

Tidak bisa disalahkan karena memang sejak bersama Januari, Chiara menemukan sosok pelindung seperti kasih sayang ayah yang sudah lama tak didapatkan.

Chiara dan Brandon menemui divisi purchasing di perusahaan kontraktor itu. Sayangnya, tatapan liar dari lelaki paruh baya itu membuat Chiara merasa risi. Walau tentu saja, ia harus bersikap profesional.

Sampai sesi presentasi dan obrolan selesai, Brandon pamit diri lebih dahulu. Sialnya, ketika Chiara mengulurkan tangan untuk bersalaman, lelaki yang bernama Jack Tampu itu menyambutnya dengan senyuman menjijikkan.

"Biasanya ada bonus plus jika aku memakai perusahaan kalian sebagai supplier sparepart. Apa kau si hadiah istimewa itu?" Kumis lelaki itu bergerak-gerak seiring pertanyaannya.

Darah Chiara mendidih, tetapi atas nama profesionalitas, pelan-pelan ditariknya tangan yang tadi saling bersalaman.

"Maaf, Pak. Saya permisi." Chiara tersenyum tipis lalu berbalik badan.

"Andai kau berubah pikiran, aku bersedia memenuhi semua kebutuhanmu." Jack masih berusaha menggoda Chiara.

Lengan Chiara mengepal tinju. Ingin rasanya ia melayangkan pukulan ke mulut kurang ajar itu. Namun, pekerjaannya sedang dipertaruhkan di sini. Maka Chiara memilih untuk segera keluar dari ruangan itu.

"Gadis yang menggoda. Aku penasaran seperti apa dia kalau hanya berdua di kamar." Jack menyeringai menjilat bibirnya.

Chiara tergesa-gesa menyusul Brandon yang sudah keluar dari ruangan lebih dahulu. Ternyata laki-laki itu sedang menelepon. Pantas saja tampak terburu-buru.

Chiara hendak menepuk punggung laki-laki yang membelakanginya itu. Namun, urung karena mendengar suara Brandon yang sedikit ketus.

"Aku tidak akan kembali ke rumah itu, Mam. Maaf. Jangan paksa Ando."

Chiara mundur beberapa langkah. Sungguh tidak sopan menguping pembicaraan orang lain. Ia menunggu di kursi yang kebetulan berada di ruang tamu.

'Lebih baik pura-pura tidak tahu saja.' Chiara pun sok sibuk dengan ponselnya.

Usai menolak permintaan mamanya, Brandon celingukan mencari keberadaan Chiara. "Ah, di situ dia. Untung saja dia gak denger obrolan gue dengan Mama."

Chiara tersenyum sendiri pada ponselnya. Brandon yang menghampiri langsung merasa tak suka.

"Hei, jangan senyum sendiri, Neng. Kesambet ntar."

"Eh, udah selesai urusannya, Bang?" tanya Chiara sembari memasukkan kembali ponsel itu ke hand bagnya.

"Udah. Yok, balik." Brandon kembali melangkah penuh percaya diri.

"Oke." Chiara mengekori langkah lelaki bertubuh tinggi kurus itu.

Jika boleh menilai, penampilan Brandon memang cukup memenuhi syarat sebagai pacar. Namun, entah mengapa, selera Chiara agak berbeda. Ia suka lelaki yang usianya jauh di atas. Lebih dewasa dan nyaman untuk bermanja, itu alasannya.

"Gue balik naik motor, ya. Sampai ketemu di kantor." Brandon melambaikan tangan.

"Oke, Bang." Chiara membuka pintu mobil dan bersiap untuk mengemudi.

Namun, Brandon bukannya segera melajukan motornya, malah menunggu mobil Chiara keluar lebih dahulu. Entah mengapa, laki-laki itu memilih untuk mengekori Chiara saja.

"Ah, Brandon. Kenapa kau sampai seperti ini hanya karena seorang perempuan?" Brandon tersenyum konyol di balik helm full face yang dikenakannya.

Setibanya di kantor pun, Brandon tetap mencoba melindungi Chiara dari godaan nakal para staf lelaki yang masih lajang. Brandon merasa Chiara adalah calon pacar yang berpotensi besar untuk menggapai cita-citanya. Hanya butuh sedikit waktu dan kerja keras ekstra untuk meraih hati gadis cantik itu.

"Chiara, gak keluar makan siang?" tanya Brandon kepada Chiara yang sedang fokus pada laporan dan jurnal.

Chiara menoleh dari laptop yang sedari tadi membuatnya pusing. "Beli pake aplikasi aja, kayaknya, Bang. Kerjaan masih banyak ini."

Brandon menarik kursi putar yang berada di depan meja kerja Chiara. "Laporan apa, sih? Kayaknya ribet banget lo."

Chiara menggeser laptopnya. "Tuh. Hitungan stok barang, Bang. Kan harus klop- klopan dengan divisi gudang, ya."

"Iya. Harusnya ada email masuk tentang stok dari mereka, sih." Brandon mengarahkan mouse ke arah email masuk. "Lo tinggal minta ke adminnya aja. Aman. Nanti gue bantuin."

Chiara mengerjap berkali-kali. "Beneran, Bang?"

Brandon menelan ludah. Hatinya bergemuruh melihat sosok cantik itu. "Iyalah, mana mungkin gue bohong. Nanti lo merajuk terus gak mau dipasangin sama gue visit ke lapangan," ucap Brandon setelah menguasai diri.

"Makasih banyak, Abang. Gak tau deh gimana jadinya kalo gak ada Abang."

Hati Brandon semakin panas mendengar panggilan itu. Ditambah lagi gesture tubuh Chiara yang membuatnya ingin menerkam si cantik itu.

'Astaga! Sudah terlalu lama jadi jomlo ternyata bisa buat otak gue langsung geser kayak gini. Mana nih cewek wangi banget lagi. Hadeh.' Brandon langsung beranjak dari kursinya.

Sedikit saja lebih lama di situ, Brandon yakin akan mempermalukan diri. "Yok, makan mie ayam lagi."

Chiara mengejar Brandon untuk menyamakan langkah. "Jangan mie ayam hari ini, Bang. Aku pengen pizza."

"Oke. Naik sepeda motor aja, ya. Biar cepat."

"Sip."

Seusai makan siang bersama di gerai pizza kesukaan Chiara itu, Brandon malah membantu menerangkan tentang pekerjaan. Tentu saja Chiara merasa beruntung. Karena beberapa rekan lain tampak dingin dan datar ketika ia mengalami kesulitan.

Brandon adalah staf senior di kantor itu. Selain humble, laki-laki itu disegani oleh staf lain. Maka ketika Brandon turun tangan mengajari Chiara, yang lain hanya bisa berbisik-bisik tak suka saja.

Namun, yang tidak suka itu bukan dari divisi mereka, tetapi tim lain. Maka Chiara abai dan tak ambil pusing.

Ketika jam pulang tiba, Chiara bergegas menuju parkiran. Brandon mengejarnya.

"Buru-buru banget, sih." Brandon berkomentar ketika sudah berhasil menyusul Chiara.

"Iya, Bang. Mau jemput yang punya mobil. Dia lagi gak enak badan. Aku duluan, ya, Bang. Makasih lagi untuk bantuannya hari ini."

"As your pleasure, Girl." Brandon tersenyum lebar.

Chiara masuk ke mobil dan segera berlalu. Ia takut Maureen terlalu lama menunggu. Di saat seperti ini, pikiran Maureen benar-benar tidak stabil. Chiara tidak mau terlambat dan menyesali segalanya.

"Hei, maaf. Udah lama nunggu?" tanya Chiara begitu Maureen masuk mobil.

"Aku lemes banget, deh. Semuanya gak enak. Lidahku aneh rasanya," keluh Maureen sembari memasang seat belt.

"Pucat banget mukanya. Ke dokter, yuk? Kita periksa kondisi janin kamu." Chiara menggenggam jemari Maureen.

'Astaga, tangannya dingin banget.' Chiara membatin takut.

"Aku pengen pulang. Pengen tiduran aja." Maureen menolak. "Nanti buat bubur nasi aja."

"Kamu yakin kita gak perlu ke dokter?" Chiara masih bersikukuh.

"Gak. Pulang, yuk. Please."

"Oh, oke." Chiara langsung mengemudi.

Sesekali Chiara melirik ke arah Maureen yang bersandar dengan mata terpejam. Bulir keringat tampak muncul di dahinya. Namun, Chiara merasa itu tandanya Maureen butuh istirahat segera.

"Cia, perutku sakit banget. Aduh," rintih Maureen tiba-tiba seraya meremas kemeja yang dikenakannya.

Chiara panik. Segera disambarnya ponsel milik Maureen.

"Mau apa?"

"Minta Craig datang. Dia harus segera nikahin kamu!' Chiara berteriak. Panik.

***