Chiara merasa beruntung. Setelah dua minggu menumpang hidup hanya dengan makan, tidur dan tak mengerjakan apa-apa, akhirnya ia mendapatkan panggilan kerja.
Chiara duduk sopan di ruangan meeting, menunggu pihak HRD datang untuk wawancara.
Pintu ruangan itu tiba-tiba dibuka lalu muncul seorang laki-laki berpakaian rapi. "Hai, maaf karena membuatmu lama menunggu."
Chiara langsung berdiri untuk menyalami lelaki itu. "Saya Chiara Karina, Pak."
"Baik. Pertama, saya Roland. Kita mulai interviewnya."
Chiara menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Roland dengan baik. Sampai di penghujung pembicaraan, Roland mengakhiri interview itu.
"Kapan bisa mulai kerja?"
Chiara terkejut. "Besok, Pak."
"Oke. Selamat bergabung di perusahaan kami. Erl's Sparepart."
Chiara mengangguk. Mereka kembali bersalaman, lalu Chiara pamit. Walau pekerjaan ini jauh lebih rendah levelnya jika dibandingkan dengan menjadi sekretaris pribadi Januari, tetapi Chiara merasa beruntung.
Ketika berdiri di depan gedung kantor itu, Chiara meraih ponsel dari hand bagnya. "Beb, aku dapat kerja."
Terdengar pekikan bahagia di seberang sana, membuat Chiara ikut tertawa. "Akhirnya ya, aku gak numpang gratis mulu sama kamu."
Lalu terdengar omelan dari Maureen. Chiara hanya tertawa menanggapinya.
Setelah panggilan itu diakhiri, Chiara kembali menyimpan ponsel itu. Langkah kaki ramping itu kembali melangkah, mencari taksi untuk menuju ke tempat yang disebut oleh Maureen.
Setibanya di mal yang menjadi tujuan, Chiara langsung menuju restoran jepang yang disebutkan oleh Maureen.
"Anggap aja ini perayaan kecil atas berhasilnya kamu diterima kerja." Maureen mengunyah sashimi.
Chiara pun ikut mencicipi aneka hidangan khas jepang yang sudah dipesan. Keduanya makan sembari sesekali bertukar cerita.
"Tapi aku merangkak dari staf bawah, Rin."
"Ya gak masalah. Nyari kerja di Jakarta juga 'kan gak gampang. Sayang banget di kantor aku gak ada lowongan."
"Yang ada kita asyik menggosip. Bukannya kerja." Chiara tergelak.
"Tapi anak-anak kantor kami seru semua, kok. Apalagi kan kita kerjanya bagian iklan, ya. Jadi ya emang kudu kreatif dan asyik semua."
Chiara sendiri belum mengetahui bagaimana karakter teman-teman sekantornya nanti. "Aku lebih banyak di lapangan kayaknya, Rin."
"Ya gak apa-apa. Sekalian ngapalin jalan. Motoran?"
"Iya. Dikasi sama kantor."
"Amanlah itu. Aku yakin kamu pasti bisa maju dan sukses. Dan kali aja dapat jodoh." Maureen tertawa.
"Amin."
"Cuma ya, jaraknya dari apart, agak jauh." Maureen mengembuskan napas pendek.
"Kalau naik motor masih okelah, ya."
"Iya juga, sih. Apalagi kalau tau jalan pintas. Asyik juga."
Mereka mengobrol sampai semua menu makanan itu habis.
"Kamu balik kantor lagi?"
"Enggak. Hari ini semua pekerjaan sudah rampung. Aku mau jemput Craig."
"Dia nginap?"
"Pastilah. Seminggu ini jatahku. Dia udah janji."
"Pulang ke apartemen aja, Rin. Aku gak enak banget. Sejak aku datang, kalian harus buang uang untuk sewa hotel. Pemborosan."
"Eh, enggak, Cia. Justru enak. Banyak pengalaman baru yang kami punya. Itu tuh, jadi kayak ikatan baru untuk hubungan kami malah."
"What?" Chiara melotot.
"Iya. Kalo di apartemen, ada kamu, kan gak mungkin kami show di depan tivi. Soalnya Craig suka yang aneh-aneh, Cia."
"Suka kasar gak, sih?"
"No. Dia bukan tipe cowok yang suka main kasar. Malah lembut banget. Mana jago lagi. Buat nagih."
Maureen memang blak-blakan jika berbicara mengenai kehebatan Craig di atas ranjang. Jika tidak terbiasa, maka akan timbul rasa jengah bagi orang yang mendengar gaya bicaranya.
"By the way, mau aku kenalin sama yang kayak Craig, gak?"
Chiara menggeleng. "Unfortunately, aku masih belum bisa move on dari Janu."
"Ya udah. Nikmati aja momen jomlonya. Kejar karir dulu, urusan cinta belakangan."
"Siap, Bos."
Ketika mereka keluar dari restoran jepang itu, tiba-tiba ada yang menegur Maureen. Dalam sekejap, suasana menjadi heboh karena ketiganya ternyata saling mengenal.
"Febby, cantik banget, sih, sekarang." Chiara memuji.
"Kamu juga sama, kok. Cia kok bisa ada di sini? Liburan?"
"Dia tinggal bareng aku. Baru juga dapat kerjaan." Maureen yang menjawab.
"Eh, selamat ya, Sayang. Pada mau ke mana abis ini?" Febby menatap dengan mata yang berbinar-binar.
Chiara dan Maureen berpandangan lalu serempak menggeleng.
Febby langsung tersenyum semringah. "Ayo, main ke tempatku."
"Oke."
Dahulu, mereka bertiga sempat menjadi sahabat dekat sebelum akhirnya Febby dibawa pindah oleh suami.
Chiara dan Maureen merasa heran kenapa Febby sampai ada di kota Jakarta. Karena yang mereka ketahui, suami Febby memboyongnya pindah ke Singapura.
"Panjang ceritanya, Bebs. Nanti kita puas-puasin ngerumpi, ya."
Mobil Maureen mengekor di belakang SUV milik Febby.
"Udah lama banget gak bertukar kabar. Eh, malah rezeki ketemuan di sini. Seru, ya."
"Cia, jangan ceritain tentang Januari dan Craig, ya."
Chiara tertegun. Gadis itu heran dengan sikap Maureen yang berubah. Ia tidak pernah menyangka kalau Maureen merasa perlu menyembunyikan status mereka.
"Oh, oke."
"Jadi sugar baby itu jelek banget di mata perempuan bersuami, Babe. Aku gak mau direndahkan oleh sahabat sendiri."
'Ya. Maureen benar. Tetap aja salah di mata dunia karena menikung dan menjadi duri dalam daging di hubungan sakral milik orang lain.'
"Tapi aku bahagia, kok. Kan aku udah pernah jawab pertanyaan kamu kemarin." Maureen mencoba menyakinkan Chiara.
"Iya. Aku tau. Ya udah. Gak usah mikir yang aneh-aneh. Selama Craig cinta sama kamu, aku rasa semua akan baik-baik aja."
Setelah itu, keduanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, mobil Febby berbelok ke sebuah komplek perumahan mewah.
"Serius dia tinggal di sini?" Maureen memekik.
Perumahan yang memang dikhususkan untuk orang yang berkantong benar-benar tebal. Tak hanya pejabat, tetapi juga artis dan pengusaha kelas atas.
"Kan suaminya emang kaya." Chiara menimpali.
Maureen langsung bungkam. Namun, kernyitan di dahinya membuat Chiara bingung. Entah apa yang ada di pikiran Maureen mengenai kehidupan Febby saat ini.
Mereka tiba di salah satu rumah yang berada di posisi pojok. Ketiganya turun dari mobil. Chiara memindai sekeliling. Kelebihan tanah dimanfaatkan oleh Febby menjadi bangunan estetik lengkap dengan roof top.
"Kita ngopi cantik di situ aja, ya." Febby menunjuk ke arah bangunan apik yang cantik untuk background foto.
"Aku selalu menjamu teman-teman di sini. Biar gak keganggu sama anak-anak di dalam."
'Oh, dia udah punya anak. Tapi masih langsing. Body goals banget.' Chiara membatin, iri.
Bagi gadis fakir cinta yang sampai harus melarikan diri ke kota Jakarta seperti Chiara, kisah hidup sahabat terdekat membuatnya merasa iri. Bukan dalam konteks negatif, tetapi lebih ke rasa ingin memiliki hal yang sama, yakni dicintai sepenuh hati.
Di dalam bangunan estetik itu, tenyata sudah ada bartendernya sendiri.
"Seru banget. Kalo pengen ngopi, gak perlu ke mal." Maureen tertawa lepas.
Chiara mengamati sosok yang tengah sibuk meracik minuman pesanan mereka. Ia merasa seperti tidak asing dengan wajah laki-laki itu.
"Serius banget ngeliatin bartendernya," bisik Maureen. "Jangan naksir sama cowok bergaji rendah. Kamu gak akan bahagia."
Chiara menoleh ke arah Maureen yang hanya mengedikkan bahu. Sungguh, Chiara tidak mengerti dengan jalan pikiran Maureen yang mengaitkan semua hal dengan materi semata.
'Sejauh apa kamu berubah, Rin? Kenapa aku ngerasa ngeri?'
***