Chiara menelan ludah. Apartemen milik Maureen ini cukup berisi perabotan yang mewah. Belum lagi penataan ruangan yang sangat rapi.
"Serius ini apartemen rapi banget, Rin."
Maureen hanya tertawa. "Kalau ada duit, semua beres, Sayang. Ayo, masuk. Di sini ada dua kamar kosong. Pilih aja."
Ruangan dalam apartemen Maureen didominasi warna cokelat, hitam dan abu. Sofa yang ada di tengah berwarna cokelat muda dengan meja kecil berwarna emas.
"Yang itu kamar aku." Maureen menunjuk. "Itu ada balkonnya. Kalo suntuk, aku suka merokok di luar sana."
Maureen lalu melepas blazer, meletakkannya sembarangan di atas sofa. Dengan hanya berbalut tank top putih bertali tipis juga rok mini, kesan seksi terpampang jelas.
"Rin, udah punya pacar belum, sih?"
Maureen yang sedang berjalan menuju kitchen island, mendadak berhenti. "Ada. Tapi jarang ke sini."
Chiara merasa penasaran, langsung berjalan menyusul. "Pasti sibuk banget, ya?"
Maureen hanya mengedikkan bahu. "Aku tau dirilah. Gak melulu jadi prioritas utama dia. Tapi dia kalo lagi punya waktu, nginap di sini seminggu." Tawa renyah Maureen pecah.
'Nginap? Seminggu? Apa mereka sudah ....' Chiara menelan ludah.
"Hei, gak gitu juga kali mukanya. Iya, aku udah gak segelan lagi. Sejak pacaran sama dia." Maureen berucap santai sembari menuangkan jus dari kemasan ke dalam gelas.
"Seperti apa rasanya, Rin?" Chiara bertanya dengan tampang polos.
Maureen yang sedang minum langsung tersedak. Chiara langsung sibuk menghampiri untuk menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu.
Maureen mengangkat sebelah tangan, meminta waktu untuk menetralkan napas. Chiara menggigit bibir, merasa bersalah.
"Maaf."
"It's oke, Babe. Aku lupa kalau kamu masih virgin. Kemarin gak jadi kan, ya, gituan sama Janu?"
Ya. Tidak ada rahasia di antara keduanya. Setelah sekian tahun terpisah, akhirnya Maureen kembali menyambung komunikasi dengan Chiara.
"Batal, kan? Gara-gara mobil mogok."
"Tapi itu tandanya emang Tuhan masih melindungi kamu. Coba kalo sampe udah kejadian? Lebih nangis bombai pasti kamu sekarang."
Chiara mengangguk membenarkan. "Enak banget dia. Dapat perawan aku, terus gituan lagi sama Mami. Bajingan banget, gak, sih, itu orang."
"Nah, itu tau. Move on, dong, Babe. Di sini banyak cowok ganteng, tajir parah, dan bisa diporotin. Ya sebandinglah dengan timbal baliknya."
"Wait. Jangan bilang kalau semua fasilitas kamu, hasil morotin cowok?" Chiara bersedekap.
Maureen tertawa. "Lah, dia morotin celana aku, dapetin segel aku, masa aku gak boleh minta kompensasi?"
Chiara tertawa. "Dulu, Janu juga selalu ngasi aku fasilitas buat merawat diri. Dia selalu transfer uang banyak ke rekening."
"Apes juga, sih, dia, Beb. Belum dapat apa-apa dari kamu, eh udah ketauan."
"Dia udah cium aku, Rin. Kalau ciuman, tangannya ke mana-mana, tau." Chiara mendengkus.
"Tapi segel masih utuh, kan? Amanlah. Stok perawan langka, Say."
Chiara merasa Maureen memang sudah banyak berubah. Selain tambah cantik dan menggoda, jalan pikiran gadis itu pun semakin bebas.
"Makan, yuk. Aku harus balik kantor lagi abis ini."
"Oh, oke."
Maureen beranjak untuk mengambil bungkusan plastik berisi nasi dan lauk yang mereka beli dari restoran padang tadi. Mereka makan dengan lahap. Terlebih Chiara yang belakangan seperti kehilangan nafsu makan gara-gara patah hati.
"By the way, kalau pacar kamu datang, aku pindah ke hotel aja, ya?"
"Ih, ngapain. Aku aja yang ke hotel. Nyoba suasana baru." Maureen tergelak. "Dia itu kalo main, norak, Babe. Di semua tempat harus dicoba."
Chiara menelan lauknya dengan cemas. Ngeri membayangkan bagaimana adegan dewasa itu terjadi di setiap sudut ruangan.
"Buatan lokal atau impor?"
"Import, dong. Eh, campuran, ding. Makanya royal dan gak hitung-hitungan. Mana orangnya romantis banget."
Chiara manggut-manggut. "Cakep banget pasti, ya."
"Banget. Dan hot, jangan lupakan itu!"
Saking tidak ada rahasia di antara mereka, urusan ranjang pun diceritakan oleh Maureen tanpa rasa berdosa. Chiara yang minim pengetahuan hanya tersenyum simpul menanggapi.
Setiap orang punya pilihan hidupnya masing-masing. Terlebih urusan dosa. Chiara tidak ingin menghakimi sahabatnya. Karena gadis itu mengerti apa yang membuat Maureen sampai berubah drastis.
Chiara malah merasa bersyukur karena Maureen bisa tersenyum dan kembali ceria. Setelah semua kejadian buruk yang harus dialami di masa lalu.
"Kenapa gak nikah, Rin?"
Suapan Maureen langsung terhenti. Matanya berubah sendu. "Dia udah punya istri."
Chiara pun batal menyuap nasi itu. Sendoknya terhenti di udara. "Maaf. Aku gak tau."
Maureen tersenyum getir. "Aku hanya sugar baby untuknya. Tapi dia bisa melengkapi semua hal yang aku cari, Cia. Aku cinta banget sama dia."
Ah, cinta. Semua sama saja. Jika kau jatuh cinta dan ternyata hanya bertepuk sebelah tangan, layaknya menggenggam bara api. Cinta itu membakar.
"Aku sudah terlanjur masuk dan menjadi duri dalam daging, Cia. Tapi aku juga gak bisa mundur." Air mata Maureen menetes.
"Hei, don't cry." Chiara langsung beranjak untuk memeluk Maureen.
"Sebenarnya, ini sakit, Cia. Aku hanya punya sisa-sisa waktunya. Apalagi kalau dia pulang ke istrinya. Aku kesepian."
Chiara memeluk Maureen semakin erat. Ia tidak tau harus mengucapkan kalimat apa sebagai penghiburan.
"Udah, ah. Aku gak mau sedih-sedih lagi. Anggap aja ini adalah konsekuensi karena aku memilih jalan berbeda. Ayo, makan lagi."
Mood Maureen memang semudah itu berubah. Karena tak lama kemudian, Maureen sudah kembali berceloteh riang. Terlebih ketika menceritakan tentang kisah mereka ketika kuliah dahulu.
"Kamu mandi aja dulu. Bebas. Mau mandi di kamar aku ada bathtub. Kalau kamar mandi depan, ya fasilitas standar lah."
"Kalau gak ada kamu, aku segan ah, masuk ke kamar utama."
"Dih, lebai. Kayak sama siapa aja. Isi dalam baju kamu aja aku masih hafal ukurannya." Maureen tergelak.
Chiara juga ikut tergelak. Bagaimana mereka bisa lupa karena kejadian lucu di masa lalu. Ketika Chiara pertama kali mengikuti ajakan Maureen untuk mengunjungi kelab malam yang baru dibuka.
Tidak seperti Maureen yang sudah lebih dahulu mencicipi minuman beralkohol, Chiara malah tumbang di gelas pertama.
Maureen memapah tubuh Chiara. Gadis itu muntah parah sampai mengotori pakaiannya sendiri. Maureen tidak mungkin membawa Chiara pulang ke rumah, karena Mia pasti marah besar.
Di kamar kos, Maureen yang membantu Chiara berganti pakaian. Maureen juga merawat Chiara yang meracau karena mabuk.
"Kalo diingat lagi, malu-maluin banget, ya. Cuma minum segelas tapi norak banget." Chiara terkekeh geli.
"Karena baru pertama dan mungkin badan kamu gak bisa mentolerir kadar alkohol."
"He em. Tapi setelah itu, aku juga gak pernah nyoba minum lagi. Takut." Chiara menopang dagu.
"Iya. Jangan coba-coba. Di kelab malam itu banyak jebakan. Kalau salah langkah, hancur masa depan." Maureen menatap serius.
"Siap, Bos." Chiara langsung memberi sikap hormat.
Tawa keduanya berderai serempak. Maureen melirik jam tangan. "Aku balik ke kantor dulu, ya. Kamu kalau mau tidur, lanjut aja. Aku balik agak malam."
"Oke."
Maureen langsung beranjak untuk mengenakan kembali blazernya. "Bye, Babe."
Chiara tersenyum sembari melambaikan tangan. "Hidup baru bahkan mungkin pacar baru. Who know?"
Chiara pun membereskan peralatan makan yang masih berantakan di meja. Chiara merapikan semua setelah mencuci bersih piring dan perlengkapan makan itu.
Chiara membawa koper ke dalam salah satu kamar tamu yang ia pilih. Ia bersiap-siap untuk mandi.
Usai mandi, Chiara duduk di sofa. Gadis itu hendak menyalakan televisi ketika bel pintu berdenting.
"Loh, bukannya Maureen bilang bakal pulang telat? Apa batal?" Chiara bermonolog. Bingung.
Namun, gadis itu tetap melangkah untuk membukakan pintu.
"Kamu siapa?"
Chiara melongo. Laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya itu, benar-benar sangat mampu membuat lutut bergetar.
***