Chiara membuka mata lalu mendapati diri sedang terbaring di ranjang pasien. Gadis itu pun memindai sekeliling. Selang infus menancap di punggung tangannya, tetapi ruangan rawat itu kosong.
Chiara mencoba untuk bangkit tetapi rasa nyeri di kepala langsung menghantamnya. Chiara membatalkan niat. Ia menatap ke arah langit-langit kamar rawat sembari mengingat apa yang sudah terjadi.
"Kenapa aku tidak jadi mati?"
"Karena waktunya belum tiba." Suara berat tetapi ketus itu tiba-tiba terdengar.
Chiara menoleh dan mendapati sosok asing sedang berdiri di depan pintu. Lelaki itu bersedekap dan menatap sinis.
"Anda siapa?" Chiara tak kalah ketus.
"Hah! Apa aku salah kalau menyelamatkanmu dari upaya mengakhiri hidup?" Laki-laki itu berjalan mendekat.
"Aku tidak minta ditolong." Chiara masih bersikukuh tidak butuh bantuan.
"Oke. Kalau begitu, silakan menjalani masa perawatan di sini. Kunci mobil dan tas kamu ada di laci itu. Mobilnya sudah diparkirkan di depan."
Chiara menoleh ke arah yang ditunjuk oleh lelaki asing itu. "Ya, terima kasih."
"Oh, masih bisa berterima kasih ternyata. Aku pikir cuma bisa bersikap ketus saja."
Chiara melotot kesal ke arah laki-laki tinggi itu. Ia ingin membalas, tetapi dokter dan suster mendadak masuk.
"Dokter, sepertinya kehadiran saya tidak dibutuhkan lagi. Saya permisi." Laki-laki itu beranjak tanpa menunggu jawaban dari dokter.
Chiara ingin berteriak memanggil tetapi niat itu segera diurungkannya. Dokter juga suster tampak sibuk menjelaskan tentang kondisi kesehatan Chiara.
Laki-laki yang sudah menolong Chiara itu melangkah menuju parkiran mobil. Semua biaya administrasi sudah diselesaikan. Tidak ada lagi urusan apa-apa di antara mereka.
"Pak Ronny, sedang apa di sini?"
Lelaki itu berbalik badan lalu tersenyum. "Hai, Cantika. Hanya mengunjungi seseorang. Saya duluan, ya."
"Baik, Pak." Cantika mengangguk sopan.
Ronny langsung masuk ke mobil dan segera tancap gas. Enggan berbasa-basi karena hatinya sedang tidak baik.
Cantika yang masih berdiri di parkiran terus menatap sampai mobil itu tak lagi tampak di pandangan.
"Padahal dulu kita hampir saja ..." Cantika menghela napas panjang.
Hati Cantika masih sakit jika membayangkan tentang kebersamaan yang pernah ada bersama Ronny. Kala itu Cantika masih menjadi salah satu asisten kebanggan sang CEO.
Ke mana pun Ronny pergi, pasti Cantika akan ikut serta. Sampai akhirnya Ronny sempat mengutarakan keinginan untuk mencari pendamping hidup. Cantika dibawa untuk berkenalan dengan orang tua Ronny, tetapi penolakan keras justru datang dari ayah bosnya itu.
Terlanjur sakit hati, Cantika memilih untuk resign. Ronny tak bisa memaksa Cantika untuk tetap bekerja di perusahaan itu. Maka sebagai gantinya, Ronny memberi kompensasi yang cukup besar.
"Apa Bapak sudah bahagia bersama perempuan itu?" Cantika tersenyum perih.
Rasa sakit itu kembali menyeruak. Ingatan tentang undangan pernikahan yang masuk ke nomor ponsel pribadinya seolah-olah kembali membayang di pelupuk mata.
Butuh waktu bagi Cantika untuk bisa bangkit dan menata hati lagi. Sekarang, hanya karena tak sengaja bertemu lalu tegur sapa singkat itu, luka Cantika berdarah lagi.
"Sayang, kok malah melamun di sini, hm?" Laki-laki yang mengenakan seragam khas dokter itu merangkul pinggang Cantika.
"Eh, Mas." Cantika tersenyum gugup. Dipindainya wajah tampan yang sedang tersenyum lebar. "Aku beruntung banget ketemu kamu."
Firmansyah, lelaki berprofesi sebagai dokter itu, mengernyit. "Kok tiba-tiba ngomong kayak gitu? Abis liat apa emangnya?"
Tentu Cantika tidak mungkin berterus-terang habis melihat seseorang yang pernah mencuri hati dan menjadi mimpi indah di masa lalu, bukan?
Cantika tak menjawab, hanya menyusup dalam pelukan sang kekasih. Lelaki yang dipeluk hanya tertawa hangat.
"Tadi aku dapat pasien. Dari informasi yang aku dapat, dia berusaha untuk lompat ke sungai. Untung saja upaya itu bisa digagalkan."
***
Ronny sudah menandatangani semua dokumen yang disusun rapi oleh sekretaris pribadinya. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Wajah gadis yang ditolongnya mendadak muncul.
"Sebenarnya apa yang terjadi sampai-sampai dia nekat mau mati?" Ronny tak bisa menekan rasa kesal atas kebodohan gadis itu.
Sebenarnya, tidak ada untungnya bagi Ronny sama sekali. Entah bisikan malaikat apa yang membuat Ronny bahkan sampai meminta bagian administrasi untuk mengirim semua tagihan ke kantor. Ya, laki-laki itu juga mengambil alih semua biaya perobatan gadis itu.
"Chiara Karina, siapa kamu sebenarnya?"
Ronny yang merasa penasaran langsung mencoba menelusuri akun sosial media. Mungkin saja ada gambaran mengenai siapa sosok yang sudah ditolongnya itu.
Sayangnya, tidak ada petunjuk sama sekali. Chiara bukan termasuk orang yang punya akun sosial media.
"Ah, kenapa aku harus repot-repot ingin tau? Lagipula dia terlalu judes." Ronny meletakkan ponsel lalu berusaha fokus pada laptopnya.
Tak butuh waktu lama, Ronny sudah kembali menyatu dengan segala dokumen penting yang harus dipelajari.
Menjadi seorang CEO dari perusahaan sparepart yang dirintis dari nol bukanlah hal yang mudah. Butuh kerja keras dan pengorbanan. Terutama dalam hal cinta.
Ronny Erlangga sudah cukup kenyang dengan segala tipu daya cinta. Dahulu, ketika hidup belum memihak kepadanya, cinta adalah hal paling mustahil.
Jika tidak ada uang sepeser pun di kantong, jangankan cinta, sekadar tersenyum juga sulit. Karena itu Ronny bekerja tak kenal waktu, keras pada dirinya sendiri.
Ketika sudah berhasil menggapai mimpi, usia Ronny tak lagi muda. Desakan untuk menikah pun datang. Ronny yang tak pernah menghabiskan waktu bersama perempuan mendadak canggung.
Lelaki itu berupaya menggandeng perempuan cantik ke hadapan ibunya. Namun, tidak ada kriteria yang sesuai. Sampai akhirnya sang Ibunda menjodohkan Ronny pada seorang wanita yang dianggap sepadan.
Pernikahan tanpa cinta itu dijalani. Ronny merasa hidupnya sudah lengkap. Sebisa mungkin dia berusaha untuk membahagiakan perempuan yang menjadi pilihan sang Ibunda.
Bunyi interkom menyentak kesibukan Ronny. Ditekannya tombol pengeras suara.
"Maaf, Pak. Ada vendor yang menunggu di ruang meeting. Trans Techno." Suara sekretaris pribadi Ronny terdengar merdu.
"Oke. Saya ke sana lima menit lagi."
"Baik, Pak."
Ronny merapikan beberapa dokumen yang sedang dipelajari. Dia bangkit untuk mengancingkan jas, lalu dengan langkah tegap menuju pintu.
Febiana, sekretaris pribadi Ronny, langsung sigap mengekori langkah atasannya.
Keduanya melangkah menuju ruang meeting. Ronny masuk lebih dahulu dan dalam sekejap merasa terkejut. Ketika mengenali sosok perempuan yang duduk bersisian dengan utusan vendor itu.
"Cantika?"
Gadis itu sigap berdiri lalu mengulurkan tangan. "Selamat siang, Pak. Kita bertemu lagi."
"Ah, Trans Techno beruntung sekali mendapatkan kamu," puji Ronny tulus.
'Ya. Sayangnya, Bapak tidak melihat potensi lain dari dalam diri saya di luar urusan pekerjaan.' Cantika menutupi getir di hatinya dengan tersenyum sopan.
"Karena sudah saling kenal, sepertinya meeting kali ini tidak perlu basa-basi lagi. Tika, kita mulai presentasinya." Adrian, manager pemasaran Trans Techno, menyodorkan laptop pada Cantika.
Cantika tersenyum. Gadis itu mengambil alih laptop. 'Ayo, Cantika. Bersikap profesional.'
***