"Apa Anda sedang menunggu seseorang, Nona?"
Chiara yang tadinya sedang menatap jauh sembari menopang dagu, mendadak menoleh. Wajahnya datar, enggan berbasa-basi dengan orang asing.
Lelaki separuh tua itu tak membutuhkan jawaban dan tanpa sopan langsung menarik kursi untuk duduk di hadapan Chiara.
"Sembari menunggu temanmu, aku pikir tak ada salahnya numpang duduk sebentar di sini."
Chiara menatap bosan. Baginya lelaki sama saja. Hanya butuh mangsa untuk diajak bersenang-senang. Jika sudah bosan, akan pergi seolah-olah tidak berdosa.
"Aku Saptono, kamu siapa?"
"Maaf, Pak. Saya sedang tidak ingin basa-basi." Chiara berdecak kesal.
"Ah, saya pikir tidak butuh basa-basi, Nona. Apa Anda butuh sesuatu?"
"Ya, tentu saja." Chiara menyeringai jahil.
Saptono merasa mendapat angin, langsung menegakkan tubuh. "Katakan. Aku pasti bisa mengabulkan."
Chiara tertawa renyah. Kecantikannya berpendar dalam suasana temaram lampu. Tak hanya Saptono, tetapi lelaki yang sedari tadi memperhatikan pun diam-diam merasa terpesona.
"Kau cantik sekali, Nona." Saptono memuji tanpa sadar.
Chiara kembali menopang dagu. Namun, kali ini sembari mengarahkan pandangan ke arah lelaki pengganggu itu. "Silakan pergi dari hadapanku, Pak. Enyah!"
Nada yang diucapkan oleh Chiara lembut, tetapi tatapannya jauh dari kata ramah. Saptono merasa sangat tersinggung. Lelaki itu bangkit lalu menggebrak meja.
"Dasar perempuan murahan! Kau pikir kau siapa, hah?" Wajah Saptono merah padam.
Dalam waktu singkat, Chiara menjadi pusat perhatian. Namun, gadis itu hanya tersenyum samar.
Seolah-olah tak terusik, Chiara bergeser lalu bersedekap. "Sudah? Hanya seperti itu saja kemampuan Anda?" Chiara tersenyum mengejek.
Saptono merasa direndahkan. Beberapa laki-laki berbadan tegap langsung mendekat. Seringai licik muncul di wajah lelaki separuh tua itu.
"Kau harus menerima hukuman, Nona Sombong! Bawa dia!" Sartono memberi perintah pada bodyguardnya.
"Hentikan!"
Sosok lelaki yang berseru lantang itu langsung menjadi pusat peralihan perhatian. Penuh percaya diri sosok itu mendekat. Tatapannya tajam dan mengesankan kekejaman.
"Kau siapa? Jangan coba-coba jadi pahlawan kesiangan!" Saptono mengancam.
Bodyguardnya langsung pasang badan, sigap melindungi sang majikan.
"Gadis itu tunanganku. Aku hanya terlambat datang beberapa menit dan kau ...." Telunjuk Ronny mengarah ke Saptono. "Laki-laki tua tak tau malu. Tak bisakah kau menjaga pandangan?"
Chiara tergemap. Wajah dan suara berat itu seperti pernah ia kenali, tetapi entah di mana. Hanya sesaat, karena gadis itu langsung memasang wajah datar kembali untuk menutupi rasa penasaran.
"Kau pasti hanya mengada-ada." Saptono berdecih.
"Sayang, kemarilah." Ronny tersenyum memikat.
Bagai terhipnotis, Chiara langsung melangkah mendekat lalu berlindung di balik tubuh kekar milik Ronny.
Saptono merasa malu. Lelaki separuh tua itu mulai menyadari bahwa mereka menjadi tontonan gratis.
"Lain kali minta tunangan Anda untuk menjaga mulut! Gadis sombong yang kasar." Saptono mengumpat.
"Semua tidak akan terjadi kalau Anda tidak datang sebagai pengganggu."
Saptono merasa emosi. Salah satu bodyguardnya sudah maju satu langkah. Namun, Saptono menahan pergerakan bodyguard itu.
"Aku tidak ingin ada keributan." Ronny menekan nada bicaranya.
Tanpa aba-aba, Saptono membalikkan badan, menjauh dari area roof top itu.
"Terima kasih, Pak," ucap Chiara, lembut.
Ronny langsung berbalik badan. Wajahnya masih tampak seram. Tak ada senyum yang membuat Chiara menurut seperti tadi.
"Lain kali, berpakaianlah dengan layak. Kau sengaja memancing buaya berdatangan, Nona." Ronny berucap dingin.
Chiara langsung memberengut. "Mereka saja yang tidak bisa menjaga pandangan."
"Ya. Karena pemandangan yang tersaji memang terlalu sayang untuk dilewatkan." Ronny mendengkus.
Tanpa ingin berurusan lagi dengan gadis yang sudah dua kali diselamatkannya itu, Ronny berjalan menjauh.
"Hei, tunggu aku." Chiara mengambil tasnya lalu berusaha mengejar sosok penolongnya.
Terlambat. Lelaki itu sudah menghilang entah ke mana.
Chiara mencebik kesal. "Apa, sih, maunya?"
Chiara masih celingukan mencari keberadaan laki-laki tampan misterius itu. Namun, nihil. Maka ia pun memutuskan untuk kembali ke kamar saja.
Sialnya, ketika hendak menuju lift, Saptono dan bodyguardnya kembali menghadang. Seringai serigala muncul di wajah laki-laki mesum itu.
"Sudah aku duga. Laki-laki itu cuma mengaku-ngaku. Ayo, Cantik. Kita bersenang-senang malam ini." Saptono mendekat.
Chiara merasa takut, tetapi tetap berusaha untuk tampak tak peduli. Chiara bersedekap seraya menatap mengintimidasi.
"Jangan sok jual mahal. Sebutkan saja berapa nominal yang biasa kau dapatkan. Aku bayar dua kali lipat." Saptono tak bisa lagi menahan hasrat yang muncul ketika melihat lekukan tubuh Chiara.
Chiara tak bisa bergerak lagi. Empat orang bodyguard sudah mengepungnya. Namun, gadis itu tetap tidak mengubah mimik muka sama sekali.
"Ayolah. Kau tidak akan rugi. Sebut saja. Minta apa saja. Aku bisa memenuhi semua. Kau mau jadi sugar baby juga boleh."
Hati Chiara sakit mendengar ucapan itu. Dahulu, Januari selalu menyematkan gelar itu padanya.
"Kau adalah Karina, my sugar baby. Aku sungguh tergila-gila padamu."
Biasanya, usai mengatakan itu, Januari akan memagut lembut bibir Chiara. Mereka akan berbagi saliva sampai keduanya megap lalu memisahkan diri untuk sementara.
Setelah mengisi kembali pasukan oksigen di paru-paru, mereka akan memagut lagi. Candu.
'Janu, aku rindu.' Chiara memejamkan mata. Meresapi perih yang menjalar.
"Astaga, Sayang. Kenapa aku selalu mendapati pemandangan seperti ini kalau sedikit saja menjauh dari kamu?"
Chiara membuka mata. Laki-laki penolong itu lagi. Dalam hati Chiara merasa beruntung karena lagi-lagi diselamatkan oleh orang yang sama.
Langkah kaki Ronny sudah sampai di kepungan para bodyguard itu. "Minggirlah, Bung. Aku hanya ingin menjemput gadis itu."
Empat bodyguard itu bergeming. Mereka hanya paruh pada majikannya semata, bukan?
"Kenapa Anda tidak mengerti juga? Gadis ini tunanganku. Jangan coba-coba melampaui batas!" Ronny menatap tajam ke arah Sartono.
"Beri dia hadiah, Anak-anak!"
Sartono tersenyum lebar. Sartono merasa bisa mengalahkan sosok lelaki sombong yang coba-coba mengacaukan rencananya untuk mendapatkan gadis molek itu.
Chiara memekik ngeri ketika melihat empat orang bodyguard itu mencoba menghajar lelaki penolong itu.
Ronny tersenyum tipis lalu meladeni perkelahian itu. Tak butuh waktu lama, ke empat orang bodyguard itu tumbang.
Sartono gemetar ketika Ronny melangkah. Tatapan membunuh kentara terbaca dari raut wajah Ronny.
Direnggutnya kerah lelaki separuh tua itu sembari berbisik. "Aku Ronny Erlangga. Tidak pernah gentar sama sekali. Jangan coba-coba mengusik perempuanku lagi. Camkan itu baik-baik kalau kau masih sayang nyawa, Sartono Anuar!"
Laki-laki separuh tua itu mendadak gemetar. Tentu saja Sartono mengenal rumor tentang Ronny Erlangga. Maka Sartono pun mengangguk.
"Bagus. Sekarang, enyahlah!" Ronny mengempaskan tubuh Sartono.
Lelaki itu menjauh dengan kaki yang gemetar. Ke empat orang bodyguard itu mengikuti dengan langkah yang sedikit kepayahan.
"Tunggu, Pak. Jangan pergi dulu." Chiara mengejar Ronny yang hendak menghilang lagi.
Ronny menyembunyikan senyuman sebelum berbalik badan. "Apa?"
Chiara terkejut dengan nada galak yang terlontar dari bibir lelaki tampan itu. "Galak amat, sih. Saya cuma mau bilang terima kasih."
"Ya. Itu saja, kan?"
"Boleh saya tau, siapa nama Bapak?"
***