Chiara meresapi perihnya dikhianati. Januari yang berjanji akan mempertahankan hubungan mereka, justru kembali ingkar.
Melihat bercak merah di leher Mia, Chiara sudah dapat menyimpulkan hal apa yang sudah terjadi setelah Januari memintanya keluar dari ruangan itu.
"Kenapa mencintai harus sesakit ini, Tuhan? Bukan hanya Janu, tapi juga Mami. Tega sekali." Chiara meremas jemari.
Di lantai atas gedung, Chiara menangis tergugu. Kepalanya penuh dengan segala hal yang tumpang tindih.
Biasanya, di tempat ini, Januari dan Chiara sering mencuri kesempatan untuk saling melepaskan rindu. Hanya sekadar memeluk dan memagut. Namun, bagi Chiara semuanya terlalu indah sekaligus menyakitkan.
"Jahat banget kamu, Janu. Selama ini kamu melambungkan aku setinggi langit. Sekarang, kamu hempaskan aku sampai hancur." Chiara meratap.
Chiara tak peduli dengan penampilan yang pasti sudah jauh dari kata sempurna. Selama ini, ia selalu menganggap penampilan di atas segalanya. Terlebih sejak menjadi kekasih Januari.
"Aku memang bodoh dan buta karena cintamu, Janu. Bahkan aku sama sekali tidak tau apa pun tentang kamu." Chiara masih terus mengoceh sendiri.
Ponsel di hand bag yang diletakkan sembarangan itu mendadak berdering. Chiara hanya menoleh sebentar, lalu tersenyum perih.
"Tidak ada yang akan mencari kalau pun aku tak pulang malam ini. Mungkin Mami dan Janu sedang asyik mengadu desah."
Chiara muak ketika membayangkan kembali adegan Mia dan Januari yang sudah hendak terbang ke bulan. Gadis itu merasa seperti pecundang yang berkali-kali jatuh dalam lubang kebodohan sama.
"Aku mencintai kamu, Januari Berengsek!" Chiara berteriak dalam kondisi pipi basah akan air mata yang membanjir. "Tapi kamu juga laki-laki yang akan jadi Papi aku. Apa kau tak punya otak, hah?"
Siapa pun yang ada di sana, pasti akan terenyuh melihat bagaimana hancurnya hati Chiara. Gadis itu luruh, bersimpuh sembari menangis.
***
"Terima kasih, Sayang. Kau masih sama seperti dulu." Januari mengecup bahu Mia yang basah karena keringat.
Entah sudah berapa kali mereka melakukan hal terlarang itu. Bagi Januari yang penting bisa melampiaskan hasrat. Karena lelaki itu sadar, saat ini belum ada kesempatan untuk memiliki ibu dan anak secara bersamaan.
Sayangnya, sejak tadi, yang dibayangkan oleh Januari adalah Chiara yang mengerang dan bergerak liar di bawah kepungan hasrat mereka.
'Sial. Aku malah lebih bersemangat untuk menguasai mereka berdua.' Otak kotor Januari semakin mengompori.
"Sayang, mikirin apa?" Jemari lentik Mia menjelajahi paha Januari.
Januari reflek menangkap jemari itu. "Aku mencintai kamu."
Bagi Mia, tak ada yang lebih indah selain bisa membuat Januari takluk sepenuhnya. Mia rela melakukan segala cara agar lelaki yang selalu membuatnya menggila itu tetap memuja.
"Pras, kau masih sama tangguhnya seperti dulu. Hanya kau yang bisa mengimbangi permainan kita." Mia berucap manja.
Mia masih ingat semua kelakuan buruknya setelah menikah. Setiap kali melayani suami sah, dalam ingatannya hanya ada malam panas penuh gairah bersama Januari Prakasa. Jika tidak membayangkan hal itu, Mia kurang berselera pada suaminya sendiri.
Secara fisik dan stamina, Januari memang unggul. Berbeda dengan suami Mia yang kurang pandai dalam hal masalah ranjang. Kadang hanya sekadar pemenuhan kebutuhan biologis semata saja.
"Aku tau."
"Kapan kita merealisasikan rencana pernikahan, Sayang? Kita butuh restu, kan?" Jemari Mia mulai bergerilya lagi.
Januari menangkap jemari yang mulai merayap itu. "Ibu? Aku gak mau beliau tau. Sudah cukup dulu beliau mencoba memisahkan kita dan berhasil."
Binar mata Mia meredup. Kejadian di masa lalu mendadak memenuhi ingatan. Tanpa bisa dicegah, tangis Mia pecah. Tubuhnya bergetar.
"Cantik, hei, kamu ... No, jangan kayak gini." Januari merengkuh tubuh polos itu.
Mia terisak-isak di pelukan Januari. "Ak-aku masih ingat ketika Ibu kamu mendorongku, Pras. Aku sampai harus ...." Mia menggigit bibirnya.
Satu rahasia yang disimpannya rapat-rapat dari Januari. Karena Ibu kekasihnya itu mengancam akan melenyapkan nyawa Mia jika berani membuka mulut.
"Maaf, ya. Kamu harus menjalani kehidupan tanpa aku." Januari bersungguh-sungguh ketika mengucapkannya.
Mia juga adalah cinta pertama bagi Januari. Walau sebelumnya banyak perempuan yang menarik hati, tetapi cuma Mia yang membuat laki-laki itu bertekuk lutut. Cinta masa muda yang rumit bagi keduanya.
"Kamu gak apa-apa kalau kita sembunyikan kebahagiaan ini dari dunia, Mia?"
Mia meragu. 'Bagaimana jika Cia tidak berhenti dan tetap menggoda Pras? Atau bisa saja Pras yang getol mengejar anakku.'
"Aku cuma takut kamu pergi seperti dulu, Pras." Mia sengaja menunjukkan sisi lemah yang dahulu bisa membuat Januari iba.
Benar saja. Januari menghela napas panjang. "Kau adalah segalanya, sejak dulu. Keadaan yang sama sekali tidak berpihak ke kita."
Mia mengangguk. Selama ini, tak ada kabar yang pasti mengenai siapa istri Januari. Bahkan dari teman-teman sekolah pun, tidak ada yang pernah diundang ke acara pernikahan lelaki bertubuh tinggi itu.
Hanya saja, Mia tak berani terlalu jauh bertanya. Bagi Mia, ikrar cinta di antara mereka saja, sudah lebih dari cukup.
Mia menggeliat, tetapi Januari tetap mempertahankan posisi mereka. Keduanya langsung bertatapan.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku masih tetap Prasmu yang dulu." Januari mengecup kening Mia.
Mia mengangguk. Semua hal manis ini lebih dari cukup. Tak hanya itu, Januari pun royal padanya. Sejak mereka kembali bersama, lelaki itu selalu rutin mengirim uang untuk Mia merawat tubuh.
"Kita pulang sekarang?" Mia bertanya sembari menatap manja.
"Beri aku satu kepuasan lagi, Cantik."
Di saat sang Mama sedang sibuk mendesah dan meneriakkan nama Januari Prakasa, Chiara justru sudah tiba di sebuah jembatan.
Menjelang malam, daerah itu tergolong sepi karena merupakan jalan pintas. Hanya beberapa pengemudi saja yang akan melintas untuk menghindari kemacetan.
Chiara merasa hidupnya tak lagi berarti. Karena setelah kepergian Papa, tak ada lagi yang sungguh-sungguh mencintainya sebesar itu.
Chiara masih menangis tergugu di dalam mobil. Entah kenapa sedari keluar dari kantor tadi, hanya jembatan ini yang ada di ingatannya.
Chiara turun dari mobil, lalu melangkah tergesa ke arah jembatan. Kondisi jembatan bahkan seperti sedang bersahabat, karena beberapa lampu tampak tak menyala.
Chiara membuka high heels yang dikenakan, mencampakkan benda itu sembarangan. Chiara mulai memanjat pagar pembatas jembatan, tekadnya sudah benar-benar bulat. Mata yang bengkak karena menangis membuat pandangannya agak memburam.
Chiara tersenyum getir. "Selamat tinggal semuanya. Aku lelah dengan semua kepalsuan ini."
Chiara sudah berdiri di atas tembok pembatas jembatan dan hendak melompat.
"Hei! Berhenti! Jangan gila! Apa kaupikir dengan bunuh diri semua masalah akan selesai, hah?!"
Chiara berbalik badan dan mendapati seorang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang sibuk mengatur napas. Tiba-tiba pandangan mata Chiara berkabut lalu tubuhnya limbung.
Laki-laki yang hendak memuntahkan semua emosi, mendadak panik karena tubuh Chiara reflek jatuh dalam pelukannya.
"Astaga, sekarang apa lagi?"
***