Elsa mendorong Emma ke samping.
"Aku tahu kamu pasti sangat syok dan terkejut dengan kondisimu saat ini. Tapi, jika kamu tidak keluar dan terus mengurung diri di dalam kamar. Orang lain mungkin akan berpikir aku memperlakukanmu semena-mena. Karena itu keluarlah meski hanya untuk sekedar makan dan mempelajari seluk beluk rumah."
Savvana mendesah. Dia tak ingin mempelajari apapun tentang rumah ini. Dia juga berharap hanya akan menjadi penghuni sementara di rumah ini. Savvana menghindari tatapan serius yang mengarah hanya padanya.
"Saya tidak nafsu makan, Nyonya. Saya juga seharusnya tak perlu mempelajari seluk beluk rumah ini karena saya hanya akan sebentar berada di rumah ini."
Elsa menatap sinis dan letih pada Savvana.
"Aku tidak tahu apa saja yang sudah Nicho lakukan padamu. Namun, melihatmu bersikap begitu dingin dan ketus. Aku yakin itu bukan sikap yang tepat terhadap dua orang yang sudah mencoba bersikap baik padamu!"
Savvana mengendurkan kewaspadaannya.
"Lidah saya masih keruh dan terasa pahit. Saya belum lapar. Dan ingin menyentuh makanan."
Elsa tak mau bersusah payah membujuk.
"Baik. Jika itu yang kamu mau. Aku tak akan memaksa dan melayanimu!"
Savvana menghentikan kepergiaan Elsa. Dia juga menatap serius Elsa.
"Jika Anda begitu tidak menyukai saya. Tolong, bantu saya keluar dari rumah ini dan membujuk putra Anda!"
Elsa menyentuh keningnya dan berwajah kesal.
"Oh, ayolah! Bagaimana bisa aku melakukan itu, jika aku sendiri tidak punya banyak hak di rumah ini? Hanya bertindak sebagai anggota keluarga yang tercatat dalam kartu keluarga tapi tidak punya kuasa apapun untuk membujuk Nicholas!"
Savvana memperlihatkan kekecewaan yang mendalam.
Dia sudah sadar bahwa hubungan antara Elsa dan Nicholas tak berjalan dengan baik. Mereka berdua terjerat pada hubungan yang rumit. Namun tak ada gunanya Savvana sampai ikut campur atau mengharapkan bantuan dari mertuanya.
Savvana mengurungkan niatnya untuk bersikap seperti anak kecil setelah melihat situasinya tak jauh lebih buruk dari orang lain. Tatapan khawatir Emma bahkan membuat Savvana menjadi enggan.
"Saya akan keluar untuk sarapan. Jadi Nyonya tidak perlu merasa terbebani."
Elsa mengoreksi ucapan keliru Savvana.
"Bukan sarapan. Tapi makan sore!" Elsa masih saja mengeluhkan sikap tidak dewasa Savvana, "Cih! Kapan itu pagi, siang dan sore saja tidak tahu bedanya! Jadi inikah alasanmu bertingkah seperti anak kecil yang mengurung diri dalam kamar setelah gagal membeli permen!"
Elsa mengeluarkan perintah sinis pada Emma.
"Siapkan makanan hangat untuknya. Kemudian ajak dia berkeliling seperlunya. Meski dia tak ingin dan malas. Dia tetap harus tahu dimana dapur, ruang makan dan kamar mandi luar jika dia tak mau berebut dengan suaminya!
Emma mengajak Savvana turun. Menemaninya makan sore dan terlihat prihatin.
Tatapan hangat Emma membuat Savvana merasa malu. Dia tak berani mengangkat wajahnya. Dia juga berusaha menghindari pertanyaan yang mungkin akan membuatnya merasa tidak nyaman.
Wanita berusia 40 tahun itu, bertanya dengan wajah cemas.
"Ada apa, Nyonya? Kenapa Anda terlihat tidak nafsu makan? Apakah masakan saya kurang enak dan tidak sesuai dengan lidah Anda?"
Emma menjadi orang pertama yang memperlakukan Savvana dengan sangat baik ketika dia tiba di rumah ini. Memang sudah menjadi kewajiban dan keharusan baginya untuk melayani sang majikan dengan tulus dan hati-hati. Namun bagi Savvana yang saat ini sedang haus perhatian, tetap saja bisa melihat kehangatan Emma yang tulus dan tidak dibuat-buat.
"Masakan Bibi enak. Hanya saja saya memang kurang bernafsu makan. Tapi Bibi tenang saja karena Anda sudah membuatnya susah payah. Saya pasti akan menghabiskannya."
Emma menyodorkan secangkir teh hangat untuk Savvana.
"Karena Anda adalah anggota baru di rumah ini. Dan saya tidak tahu apa saja selera Anda. Saya membuatkan teh ini dengan menimbang-nimbang Anda mungkin akan menyukainya."
Savvana mengangguk lemah dan menerima minuman yang Emma berikan khusus untuknya. Bukan sekedar menyajikannya dari bentuk instan. Namun langsung membuatnya dari dedaunan kering dan serbuk teh. Savvana tampak menyukai minuman itu dan menikmatinya.
"Terima kasih dan rasanya sangat cocok di lidah saya."
Emma tersenyum lebar mengetahuinya. Mengajak Savvana berkeliling sebentar untuk menghirup udara segar. Emma memperkenalkan Savvana beberapa tata letak ruangan dalam rumah besar Nicholas.
"Almarhum Tuan Besar Gilbert sangat menyukai segala sesuatu yang simpel dan berkesan. Dia membangun rumah ini dari nol. Kemudian, karena putra semata wayangnya, Tuan Nicho, memiliki sifat yang mirip dengannya. Beliau juga mempertahankan pola yang sama dalam rumah ini seperti dulu."
"Hanya sedikit merombak bagian tertentu yang menurutnya sudah layak diperbaiki. Dan mendesain ruangan khusus untuknya sesuai kriterianya. Anda mungkin akan menemukan beberapa ruangan yang memiliki kesan sedikit berbeda namun tetap terhubung."
Sebuah panggilan telepon mengejutkan Savvana. Dia menatap layar ponsel dalam diam. Dia juga mengatur napas panjang lebih dulu sebelum menjawab panggilan telepon itu. Suara yang begitu dia kenal mengkhawatirkannya.
"Hallo, sayang? Kamu baik-baik saja? Dan apa mereka memperlakukanmu dengan baik?"
Savvana selalu menganggap Yolanda seperti ibu kandungnya sendiri. Meski mereka tak punya hubungan darah atau atau sanak saudara. Yolanda selalu menganggap putri Silvi, sahabatnya, sebagai putrinya juga.
Air mata Savvana tanpa sadar membanjir.
"Tante.." panggil Savvana lirih sambil berusaha menutupi suara tangisnya. Dia melihat sekeliling. Dia juga tak mau mencuri simpati Emma.
"Maafkan kami dan maafkan juga Arianna, Vana. Kami tahu kami sudah memberikan beban berat untukmu. Tante pun tidak tahu kalau keadaannya akan menjadi begini."
Savvana bersikap sangat tenang. Dia tak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Yolanda. Dia juga belum tega membagi kepedihannya pada orang yang begitu berjasa dalam hidupnya setelah kematian kedua orangtua-nya.
"Aku mengerti, Tante. Sangat mengerti. Lalu, karena ini keputusan Vana. Vana tidak mungkin menyalahkan Tante. Vana hanya perlu menerima ini sebagai bentuk Vana balas jasa Vana pada kebaikan kalian selama ini, sekaligus meredam perkara."
Savvana mengutuk nasib buruknya. Dia sudah merelakan dirinya berkorban. Dia pun hanya bisa mengambil hikmah dari kejadian buruk ini. Bahwa Arianna, sahabat sekaligus putri kandung Yolanda, keluarga yang paling berjasa dalam hidupnya, terlepas dari pernikahan buruk di masa depannya.
Yolanda masih mempertahankan rasa bersalahnya yang membuat dia sulit tidur.
"Jujur, Vana. Kami tahu kamu terpaksa melakukan ini demi kami. Kami juga terkejut Nicholas berani melayangkan gugatannya pada kami. Namun, terlepas dari itu. Kami berharap Nicholas tidak memperlakukanmu dengan buruk karena masalah Rinna. Dia yang kami tahu adalah pria baik. Itu sebabnya kami yakin untuk menikahkan Rinna dengannya."
"..." Savvana tak berani berbohong.
Dia tak suka menutupi perlakuan kejam Nicholas. Dia juga tidak bisa menceritakan betapa kejam Nicholas memperlakukan istri keduanya. Menikahinya hanya demi status. Kemudian menidurinya setelah dia sudah meniduri wanita lain. Savvana menahan kuat keinginannya untuk menampar wajahnya sendiri yang terlalu bodoh mengikuti semua permainannya.
***