Secangkir teh sudah Savvana letakkan di atas meja. Dia berdiri tegang di depan Nicholas dan menantikan penilaiannya. Dia sudah bersiap jika teh yang dia buat tidak sesuai dengan harapan Nicholas. Untuk seterusnya, Savvana tak akan bersedia menyiapkan minuman apapun untuknya.
Sikap tenang dan menerima Nicholas, menghadirkan tatapan tak mengerti Savvana.
Padahal dia sudah mempersiapkan hati untuk menerima cibiran. Bila Nicholas ingin mencemooh atau memuji perbuatannya pun. Savvana sudah mempersiapkan kata-kata untuk menghadapinya.
Jika dicemooh. Savvana hanya akan mencemooh balik.
Lalu, jika dia akan dipuji atau dianggap sudah bekerja dengan benar. Dia hanya akan mengatakan bahwa itu sudah sewajarnya karena dia bukan wanita bodoh.
Dua kalimat itu seolah tertelan. Tanpa sempat Savvana lontarkan dengan sisa semangatnya mengangkat harga diri.
Savvana terpaksa bertanya dengan bingung pada Nicholas yang sudah meneguk habis tehnya tanpa berkata apapun.
"Apa Anda menyukainya? Apa teh itu sesuai dengan standar Anda?"
Nicholas menaikkan pandangan matanya ke atas. Menatap mata jernih Savvana yang sedang menantikan jawaban. Lalu, menatap ke cangkir teh kosongnya.
Nicholas menjawab ala kadarnya.
"Ya. Teh itu tidak buruk. Dan seperti teh pada umumnya. Kamu menyeduhnya berdasarkan anjuran Emma. Jadi untuk apa aku meragukan kualitasnya."
Savvana melengkapinya.
"Saya yang meracik teh itu. Bibi Emma memang telah sangat membantu. Namun, teh itu saya racik sendiri dengan tangan saya."
Nicholas memiringkan sedikit kepalanya. Dia bertanya-tanya apa yang Savvana inginkan dari pernyataannya itu. Nicholas hanya mengangguk sekedarnya tanpa merespon terlalu banyak.
"Ya. Aku mengerti."
Savvana menahan keinginannya untuk marah. Dia juga bingung pada diri sendiri kenapa dia harus tersulut emosi hanya karena diacuhkan oleh Nicholas.
Perintah baru diberikan untuknya setelah beberapa pertimbangan.
"Untuk seterusnya. Ketika aku pulang kerja atau sedang lelah. Aku ingin kamu melayaniku. Menyiapkan teh seperti hari ini. Dan melakukannya tanpa di suruh."
Savvana menelan bulat keinginannya untuk menolak. Dia tahu posisinya saat ini. Untuk hal kecil dia lebih baik tak perlu membantah.
Nicholas menambahkan kebaikan hatinya.
"Lalu, jika ibu mempersulitmu. Katakan langsung padaku!"
Savvana bertanya-tanya dalam hati. Apa yang sebenarnya yang membuat Nicholas begitu tidak menyukai ibunya?
"Nyonya Elsa memperlakukan saya dengan baik dan tidak kasar."
Savvana menghapus sejenak kata-kata Elsa yang terombang-ambing antara tidak menyukainya atau menganggapnya kurang penting tapi masih harus dia awasi.
Savvana diam-diam melemparkan tatapan sinis ke arah Nicholas.
"Sebaliknya, yang kasar adalah Anda. Yang seharusnya minta maaf dan mengakui kesalahannya, adalah Anda seorang!"
Nicholas melipat tangan dan menumpukan satu kakinya pada kaki yang lain.
"Kamu jadi tinggi hati setelah berhasil membuat secangkir teh tanpa cemoohan?"
Nicholas awalnya ingin menguji kesabaran Savvana sekali lagi terkait teh yang dia buat. Namun, setelah Nicholas menemukan tak ada yang salah di dalamnya. Nicholas memutuskan untuk berdamai.
Namun, sepertinya. Kata damai bukan sesuatu yang Savvana inginkan.
Nicholas terpaksa mengeluarkan secarik kertas ke hadapan Savvana. Memintanya untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan yang pernah Nicholas bahas dan tekankan.
Savvana menatap kosong lembar kertas panjang itu.
"Apa ini? Surat perjanjian nikah? Dan masa waktu pernikahan?"
"Lima tahun. Kita butuh waktu selama itu untuk menjalani pernikahan ini."
Savvana menyingkirkan jauh kertas itu dari hadapannya.
"Anda bercanda? Bagaimana mungkin saya menjalani pernikahan selama itu dengan Anda?"
"Satu atau dua bulan, tidak cukup. Jadi, kamu dilarang mengharapkannya."
Savvana merasa jantungnya terluka.
"Tuan... Anda tak boleh melakukan ini. Saya tidak bisa menjalani pernikahan ini selama itu."
"Aku tak menerima negosiasi. Kamu mungkin akan berpikir aku sangat keji dan tak berperasaan. Namun ini adalah syarat yang aku ajukan jika kamu ingin bebas dan nyaman setelah menikah."
Savvana sama sekali tak mengendurkan tatapan keberatannya.
"Tuan..."
"Panggil aku Nicho mulai sekarang. Lalu, aku pastikan kejadian semalam tak akan terulang jika kamu sangat mengkhawatirkannya."
Savvana menunjukkan keletihannya.
"Masalahnya bukan itu."
Nicholas memperlihatkan tatapan mata berbeda.
"Jadi, tidak masalah jika kita sering melakukannya?"
Savvana menahan kuat keinginannya untuk mengumpat.
"Kau...!"
Nicholas tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Savvana dan mengejutkannya.
"Vana. Aku tahu ini terlalu memaksa. Namun, kamu akan cepat mengerti kenapa aku harus melakukan ini, karena kamu bukan wanita bodoh."
Savvana melengos. Dia yakin betul sebelum ini, Nicholas-lah yang sudah mengatakan bahwa dia adalah wanita bodoh.
Nicholas menambahkan aturan dalam hubungan mereka agar jelas.
"Aku bukan melakukan ini karena aku tertarik padamu. Aku hanya ingin mempertahankan seorang istri di sampingku demi keuntungan pribadi."
Nicholas beranjak dari posisinya. Berbaring di atas tempat tidur double-king-nya. Lalu berhenti mengajak Savvana mengobrol serius. Setelah dia yakin Savvana butuh waktu lebih lama untuk berpikir keras seorang diri tentang isi perjanjian mereka.
Savvana terpana membaca isi perjanjian pernikahan mereka dan merenung. Savvana tidak bisa tidur semalaman hanya untuk memikirkan jawabannya. Dia sudah memikirkan berbagai macam altenatif.
Ada banyak alasan untuk menolak waktu pernikahan 5 tahunnya bersama Nicholas. Ada banyak juga halangan yang pasti muncul ketika dia harus menjalani pernikahan mereka dalam waktu singkat, terlebih lagi bila terlalu lama.
Savvana menemukan banyak masa depan buruk jika dia tetap mempertahankan ini. Hingga persyaratan pernikahan ini memberatkan hatinya.
***