Kediaman Nicholas. Sore hari.
Sepasang mata sudah mengawasi Savvana dengan ketat sejak awal. Menunggunya dalam diam. Dan membiarkan Savvana sadar dengan sendirinya bahwa dia tengah diawasi oleh seseorang ketika sedang menginjakkan kakinya di ruang tengah untuk naik ke lantai atas menuju kamarnya.
"Astaga!!"
Savvana menyentuh dadanya. Dia terkejut melihat sosok diam Nicholas memusatkan perhatian padanya di ruang tengah. Savvana sontak mengecek waktu. Dia yakin tidak mungkin salah menghitung waktu tibanya. Dia juga sudah mengukur jeda waktu yang masih dia miliki untuk membersihkan diri dan mempersiapkan kebutuhan Nicholas.
Waktu ternyata memang masih menunjuk pukul 4.15, seperti yang sudah Savvana perkirakan sebelumnya. Dia juga yakin telah menyeting jarum jam, menit dan detik di jam tangannya pada waktu yang benar. Namun, sosok tenang di depannya membuatnya merasa tidak nyaman.
"Aku yakin, kamu baru akan tiba di rumah pukul 5 lewat 15 atau 20. Tapi, belum mendekati jam pulang kantormu. Kamu sudah berada di dalam rumah untuk mengawasiku dalam diam?"
Nicholas menatap kosong sosok Savvana yang kini sudah menjadi istri sah-nya.
"Aku adalah pemiliknya. Jadi siapa yang berani melarangku pulang lebih awal atau sesukaku?"
Savvana mengulum rapat bibirnya secepat kilat setelah mendengar kesombongan itu.
Dia tahu tak seorang pun dalam kantor Nicholas berani menegurnya. Namun, perlukah Nicholas menunjukkan otoritasnya sejelas itu di depan Savvana dan mengejutkannya?
"Aku akan naik ke atas dan mempersiapkan segalanya."
Savvana memutuskan untuk bersikap baik. Dia tidak tahu sampai kapan Nicholas akan bersikap netral padanya. Dia tak mau memancing emosi Nicholas seperti saat pertama kali mereka bertemu. Kemudian berakhir dengan penyesalan.
Nicholas menahan keletihan dalam memberikan penjelasan.
"Apa kamu tidak melihat bagaimana pakaianku saat ini? Apa menurutmu, aku masih butuh kamu urusi dalam urusan mandi dan berganti pakaian?"
Savvana terlambat sadar bahwa Nicholas ternyata sudah memakai pakaian santainya. Lalu, saat Nicholas menyembunyikan perasaan kesalnya akibat diacuhkan. Savvana menawarkan hal lain.
"Jika begitu, aku akan menyiapkan secangkir teh untukmu."
Nicholas kembali menolak.
"Tidak perlu. Aku sudah meminta Bibi Emma untuk membuatkannya. Kamu langsung saja ke atas dan membersihkan diri."
Kelonggaran ini, meringankan beban Savvana. Dia sudah dipenuhi perasaan letihnya sepanjang hari akibat pekerjaan dan masalahnya dengan Vincent. Kebaikan sederhana ini akan Savvana anggap sebagai peruntungan kecilnya.
Nicholas ternyata tak langsung puas membiarkan Savvana naik dengan hati damai begitu saja. Tepat ketika Savvana baru menyentuhkan tapak kakinya ke anak tangga ke-empat. Nicholas telah mengeluarkan perintah barunya.
"Selesai lakukan semua itu. Temui aku di ruang kerjaku. Sambil membawakan cangkir teh yang Bibi Emma buat."
Savvana spontak panik.
Dia tidak tahu sudah berapa lama Emma membuat teh itu untuk Nicholas. Dia juga tidak bisa berendam sedikit lebih lama untuk melepas stres. Savvana berlarian kecil menuju ke kamarnya. Mengambil pakaian ganti dan mandi bebek.
Emma terlihat terkejut melihat Savvana sudah berdiri di depannya sambil terengah-engah dan tersenyum tipis. Savvana lebih dulu mengatur napas sebelum bertanya.
"Teh untuk Si Tuan-mu sudah siap?" Savvana tak peduli bagaimana tanggapan Emma soal caranya menyebut nama Nicholas. Emma ternyata tak mempertanyakannya. Dia mengangguk pelan. Dan menunjukkan nampannya.
Savvana bergerak maju untuk menjulurkan tangannya ke depan. Bersiap mengambil nampan dan berterima kasih pada Emma yang telah mengukur waktu waktu teh Nicholas dengan sempurna.
"Berikan itu padaku. Dan berikan aku dukungan penuhmu!"
Emma tersenyum samar. Meski tak terlalu paham apa yang sedang Savvana risaukan. Emma tetap memberikan dukungan penuhnya pada Savvana.
"Semangat, Nyonya Muda. Anda pasti bisa. Dan semoga beruntung!"
Savvana mengulas senyum lebih tulus. Menghembuskan napas kegetirannya. Dan mempersiapkan hati. Savvana kemudian berjalan dengan perasaan lebih tenang menujuk ruang kerja Nicholas. Dan mengetuk pintu setelah siap menghadapi suaminya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk," suara berat Nicholas terdengar sampai ke luar.
Savvana melangkah masuk untuk pertama kalinya di ruang kerja Nicholas yang berada di samping ruang tengah. Savvana dengan hati-hati meletakkan teh yang dia bawa di atas meja kerja kayu Nicholas.
Mundur beberapa langkah untuk menunggu reaksi darinya. Dan memperhatikan sejenak suasana ruang kerja Nicholas yang beberapa kali sudah membuatnya menatap iri pada keberuntungan yang dimiliki oleh suami sementaranya.
Nicholas yang asyik menikmati teh sorenya, diam-diam mengawasi rasa tertarik Savvana.
Dia ikut menyadari. Bahwa ini adalah pertama kalinya Nicholas mengajak Savvana bicara di ruang kerjanya. Lalu mungkin juga ini adalah pertama kalinya, Savvana melihat ruang kerja suaminya. Setelah Nicholas dengan tegas meminta semua orang untuk tidak sembarangan masuk tanpa izin darinya.
Nicholas menghentikan sejenak pekerjaan mendesainnya. Dia mengambil cangkir teh yang Emma buat. Dia juga terlihat sangat tenang ketika menatap lurus istri kedua-nya yang menahan gugup.
"Aku memanggilmu kemari untuk sebuah tujuan."
Karena terburu-buru dan takut kehabisan waktu. Savvana menghilangkan kesempatannya untuk mengeringkan rambut. Dia terbiasa keramas setelah pulang kerja. Dia hanya sempat mengeringkannya sebentar secara asal menggunakan handuk kering. Kemudian buru-buru ke bawah untuk mengambil teh dan masuk ke ruang kerja Nicholas.
Rambut yang basah itu ternyata membuat karpet merah Nicholas ikut basah. Savvana akhirnya, memejamkan matanya sejenak.
"Aku terburu-buru ingin menyelesaikan tugasku. Aku kehilangan banyak waktu untuk mengeringkan rambut,"
'Maka adalah wajar jika kamu memakluminya.' Savvana ingin sekali menambahkan kalimat itu. Namun, membatalkannya.
"Karpetmu akan cepat kering seiring berjalannya waktu. Jadi jangan cemas karena aku sudah mencuci bersih rambutku."
Sifat higienis Nicholas sulit lepas dari memori otak Savvana. Karena dia ingat betul bagaimana Nicholas buru-buru pergi ke kamar mandi setelah mereka menghabiskan malam panas mereka malam itu. Nicholas terlihat jelas sengaja menyegarkan diri di bawah pancuran shower agar mungkin keringat Savvana tidak menempel pada tubuhnya sebelum tidur.
Padahal pada kenyataannya, mereka masih menggunakan sprei dan selimut yang sama. Tanpa menggantinya.
Ingatan menyebalkan itu masih tersimpan erat dalam benaknya. Namun demi harga dirinya yang masih tersisa. Sebisa mungkin, Savvana berharap dia bisa melupakan segala moment menyakitkan itu. Dan menganggapnya tidak pernah terjadi.
Nicholas mengesampingkan sejenak ucapan Savvana terkait karpet basahnya.
"Kamu harus ikut aku dalam pertemuan perusahaan. Kemudian menunjukkan sisi terbaikmu di depan seluruh karyawanku."
Savvana mengerjap.
Dia baru saja masuk kerja setelah cuti. Dia juga tidak bisa sembarangan membolos jika dia tidak ingin mendapat sorotan penuh dari kepala bagian divisi-nya.
"Kapan kamu membutuhkanku?" Savvana terpaksa menyetujui permintaan itu dengan berat hati.
"Besok siang. Dan akan lebih baik jika kamu sudah mengikutiku sejak pagi ke kantor."
Savvana mengerjap dua kali. Ini berbeda dengan harapannya. Dia pun merasa cemas. Cemas membayangkan apa saja yang harus mereka lakukan ketika sedang bersama sepanjang hari.
"Rebbeca akan mengurus segalanya. Kamu hanya perlu mengikuti arahannya. Dan tampil anggun."
Savvana mengerutkan kening.
"Rebbeca?"
Nicholas menatap Savana lebih dalam.
"Ya. Dia adalah sekretarisku. Dia juga adalah orang kepercayaanku. Jadi, pastikan kamu bersikap tepat dan tidak merepotkan."
Savvana menelan bulat keinginannya untuk mencoba bernegosiasi.
Nicholas sudah mengusirnya pergi setelah puas menyampaikan apa yang dia ingin katakan.
***