Savvana kehilangan akal sehat dalam sekejap. Dia tak biasanya begini. Namun, entah mungkin karena suasana hatinya sedang begitu baik atau kacau. Dia merasa sulit untuk mengabaikan ketampanan itu. Meskipun dia adalah wanita sederhana yang jarang menilai seseorang hanya dari fisik tampannya semata.
Hati kecil Savvana meronta-ronta. Dia tak mau mengakui bahwa dia tersipu malu atas pujian Nicholas. Namun, kata-kata itu membuatnya hilang kendali.
"I-ini berkat Rebbeca dan penata riasnya. Mereka sudah bekerja keras. Dan sepatutnya aku mengucapkan banyak terimakasih pada mereka," senyum ceria Savvana yang berusaha menutupi kegugupannya, menyita perhatian Nicholas.
Hingga tanpa sadar Nicholas pun mengucapkan kalimat yang sedikit sarkas.
"Namun, akulah yang membayar dan menyuruh mereka untuk melakukannya."
Nicholas seolah ingin mengatakan bahwa rasa terima kasih yang Savvana lontarkan sebesar itu, seharusnya diberikan padanya.
Savvana bertindak cerdas untuk menyenangkan hati Nicholas.
"Ya. Tentu saja. Jika bukan karenamu. Bagaimana mungkin mereka bersedia melakukannya?" Savvana tak berusaha menjilat. Dia hanya mengatakan hal yang sebenarnya.
Nicholas kembali tenang di tempatnya. Setelah memastikan penampilan Savvana cukup untuknya. Dia salah dalam menilai. Dia sudah pernah katakan ini sebelumnya. Bahwa Savvana sebetulnya memiliki pesonanya sendiri yang akan menonjol jika wanita itu meningkatkannya.
Nicholas yang piktor, justru membayangkan ulang bagaimana malam panas mereka malam itu.
Hingga kemudian, suara rendah Savvana tiba-tiba saja membuyarkan lamunannya.
"Siapa saja yang harus aku waspada dan perhatikan? Rebbeca memberikan penjelasan cukup panjang untukku. Tapi dia belum berani memutuskan siapa yang harus aku waspadai. Dan berikan perhatian penuh untuk mencuri simpatinya."
Bukan tanpa alasan Nicholas membawa Savvana ke acara kantornya hari ini.
Kantor mereka memang hanya akan melakukan pertemuan sederhana bersama beberapa staf. Namun, pertemuan ini dihadiri oleh beberapa direksi penting. Mereka tertarik mengetahui bagaimana istri Nicholas. Dan mungkin ada yang berharap bisa mempermalukannya di depan umum.
"Jika aku memberi kode untuk diam. Kamu harus menurutiku. Jika aku memberi kode untukmu bertindak. Lakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirimu sendiri. Aku percaya kamu pintar dalam berakting seperti yang sudah-sudah."
Savvana memicingkan mata.
"Apa kamu bermaksud menghinaku terkait insiden pernikahan kita?" Savvana menarik napas.
"Aku sudah bilang, aku melakukan itu demi Rinna. Demi keluarganya. Dan demi diriku sendiri yang berhutang besar pada keluarga mereka. Lalu jika bukan karena tuntutan Anda. Saya dan Anda..."
"Cukup!" Nicholas lelah mendengar kalimat itu berulang kali.
"Aku tidak tuli. Dan tidak dungu. Perlukah setiap saat kamu mengingatkanku tentang hal itu?"
Savvana berdecik.
"Dia memang tak pernah bisa berubah. Selalu saja ketus dan menyebalkan. Jika begitu, apa gunanya ketampanannya itu?"
Mata Nicholas memicing setelah mendengar keluhan samar itu.
"Apa kamu baru saja memuji ketampananku?"
Savvana mencibir.
"Kamu salah dengar! Dan hapus informasi salah itu dari otakmu!"
Nicholas tiba-tiba saja menarik Savvana masuk dalam pelukannya. Membuat mata coklat terang itu terkejut. Ketika melihat mata coklat lain yang lebih gelap menatapnya balik dengan penuh keseriusan.
"Berhati-hatilah pada Patmala. Karena dia bisa jadi berbahaya jika lepas kendali."
***
Savvana menerima sambutan cukup hangat ketika dia percaya semua itu bisa dia dapat berkat Nicholas. Kedudukan Nicholas di kantor ini sangat tinggi. Jadi seperti yang pernah Nicholas sampaikan. Tidak banyak yang berani mengangkat tinggi wajah mereka ketika mereka berdua lewat.
Savvana kembali bertemu dengan Rebbeca yang menemani mereka sampai ke atas. Mengantar mereka ke ruang kerja Nicholas. Dan menyiapkan secangkir kopi serta teh untuk mereka berdua.
Savvana terlanjur mendesah panjang lebih dulu setelah dia menemukan tempat paling nyaman untuk menghindari tatapan menyelidik dari banyak pasang mata. Nicholas memperhatikan gelagat lega Savvana dan menurunkan suhu AC ruangannya menjadi lebih dingin. Setelah melihat Savvana mengibas-ngibas wajahnya karena terlalu tegang dan takut membuat kesalahan.
"Kamu sudah bekerja dengan baik. Jadi tidak perlu terlalu tegang."
Seseorang masuk tanpa mengetuk pintu dan berhampiri Nicholas.
"Nick, kudengar istrimu datang. Dimana dia dan bagaimana rupanya karena aku tidak sempat melihat jelas wajahnya di resepsi pernikahan kalian beberapa hari lalu?"
Mata Savvana bertemu dengan seorang pria berwajah cerah dan jas abu gelap formal. Terlihat sedang mengatur napas. Setelah datang untuk mendapatkan berita terkini. Mata hitam itu berkedip dua kali setelah baru sadar bahwa Savvana pasti sudah ada di sana bersama dengan Nicholas.
Perhatian serius Lufat terpecah. Dia memperbaiki sikap serampangannya. Dia kemudian mendekati Savvana.
"Saya, Lufat. Asisten pribadi Nick. Sekaligus adik tirinya. Aku sangat senang melihatmu di sini, Vana. Namamu Savvana, bukan? Jika tidak keberatan tolong izinkan aku memanggilnya demikian?"
Nicholas mengingatkan.
"Jaga sikapmu, Lufe! Kamu akan membuatnya ketakutan dan menganggapmu aneh."
Lufat melirik Savvana yang masih tenang duduk tanpa prasangka buruk.
"Aku percaya dia tak mungkin begitu. Dia terlihat bisa memahami kata-kata serta niat baikku."
Savvana berucap samar sambil melirik Nicholas.
"Aku... baru tahu kalau kamu punya saudara tiri."
Nicholas dan Lufat saling pandang.
Mereka tidak mirip. Jadi bila tidak dijelaskan. Tak seorang pun akan tahu bahwa mereka memiliki hubungan keluarga yang bahkan sangat rumit.
"Lebih tepatnya, aku adalah anak dari pernikahan pertama ayah kami dengan ibuku. Lalu, Alex. Kakak laki-laki-ku pun tak memiliki kemiripan dengan kami. Jadi kesimpulannya, meskipun misalkan kami punya ikatan kandung. Tak ada satupun dari kami bertiga yang mirip."
Untuk kali ini, barulah Savvana terlihat dungu.
Dia tak paham apa yang Lufat bicarakan. Dia juga tak kenal siapa itu Alex. Dan dia yakin pria itu tak datang pada acara pernikahan mereka. Lalu, ayah kami? Ibuku? Dan saudara tiri?
Kenapa ada banyak sekali hal-hal yang tidak Savvana pahami.
Lufat melirik Nicholas penuh arti.
"Nick! Jangan katakan bahwa kamu belum cerita apapun padanya?"
Nicholas diam. Dan diam-nya itu mengartikan segalanya. Bahwa benar dia memang belum cerita apapun. Padahal pertemuan keluarga akan Nicholas hadiri bersama Savvana.
Lufat mengambil tempat duduk terdekat dengan Savvana. Dia mempersiapkan diri menjadi pengkhotbah. Dia juga bersedia menjawab apapun pertanyaan yang akan Savvana ajukan padanya.
Savvana masih memperhatikan dalam diam ketika Lufat mencoba bersikap kooperatif.
Nicholas membiarkan Lufat menjadi pembicara. Dia ikut mendengarkan. Dan siap mengoreksi jika Lufat menggunakan trik nakal untuk mengelabui Savvana.
***