Lufat mengangkat kedua tangannya, sebagai tanda menyerah.
Dia sudah mengikuti jejak Nicholas sejak lama. Itu sebabnya, Lufat sangat tahu bagaimana sifat Nicholas dan bersedia setia padanya. Meskipun Lufat harus berakhir dikucilkan oleh keluarganya. Selain ayah dan adik kecilnya yang mungil serta menggemaskan.
Lufat lalu menegakkan tubuhnya.
"Hei! Kita tidak boleh lupa dengan sosok Mala!"
Savvana memeriksa ingatan dalam kepalanya. Dia yakin pernah mendengar nama yang mirip belum lama ini.
"Patmala. Aku sudah memperingatkan Savvana untuk berhati-hati."
Savvana mengawasi ekspresi tegang Nicholas dan Lufat secara bergantian. Meski Nicholas tidak menunjukkannya secara jelas. Savvana entah bagaimana seolah tahu bahwa saat ini Nicholas sedang mencemaskan beberapa hal. Dan berharap hal baik berpihak pada mereka.
Dering intercom terdengar. Nicholas berjalan ke arah mejanya dan mengaktifkan speakerphone saat menerima intercom tersebut.
"Tuan Nicholas. Semua keluarga Anda telah tiba dan berkumpul di ruang tiga. Mereka menantikan penyambutan dari Anda. Para Direksi dan beberapa kepala bagian juga sudah menunggu."
Suara pemberitahuan Rebbeca bagaikan peluit yang mengaba-abakan mereka untuk segera berlari mencapai garis start dan memulai pertandingan.
Lufat bertanya dengan cemas pada Savvana yang sudah ditarik keluar oleh Nicholas.
"Hei! Kamu belum mengajukan pertanyaan. Apakah penjelasan singkatku tadi cukup?"
Lufat terus mengikuti Savvana dari belakang. Dia membiarkan Nicholas membawanya pergi. Namun, dia tetap harus memastikan sesuatu sebelum membiarkan Savvana diperkenalkan di depan semua orang.
Nicholas berhenti setelah mencapai pintu ruang tiga. Dia telah melihat Rebbeca bersiap membukakan pintu untuknya setelah diberi aba-aba. Nicholas melirik Savvana yang tak memberikan reaksi apapun, sekilas. Lalu berpaling pada Lufat.
"Lufat. Dengarkan aku. Jangan terlalu cemas. Aku sudah sering melaluinya. Lalu yang terpenting. Perusahaan ini aku bangun atas jerih payahku. Tak seorang pun bisa merebutnya dariku. Lalu menjadikannya sebagai milik mereka setelah mereka pernah satu kali menendangku, ayahku, dan ibuku keluar dari hidup mereka."
Mata Savvana terbuka lebar mendengar penuturan mengejutkan Nicholas.
Dia pernah diusir keluar. Lalu dia dan keluarganya pernah mengalami kesulitan hidup akibat ulah keluarga besarnya?
Savvana percaya saat ini masa depannya sedang dipertaruhkan.
Lufat yang terpaksa menyerah, sudah tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Dia masuk bersama Nicholas dan Savvana yang cukup percaya diri tampil di depan semua orang penting dalam ruangan itu.
"Siang yang terik hari ini, aku harap itu tidak membuat kalian kesulitan untuk tiba dengan nyaman kemari."
Kalimat pembukaan Nicholas begitu tenang. Lufat mengawasinya dari tempat duduk kosong yang sudah disediakan. Kemudian memberi salam pada anggota keluarganya yang lain.
Naeswari duduk sikap dingin di kursinya. Diikuti Palex, Atau yang bisa lebih sering disapa sebagai Alex. Cucu pertama Naeswari yang paling dia sayangi dan dukung. Sebulan tak bertemu, kedua pasangan ini ternyata terlihat semakin mirip dari cara mereka memandang sinis ke arah Nicholas yang sedang mengucapkan beberapa kalimat sambutan.
Tatapan mata Lufat tanpa sengaja bertemu dengan ibunya, Lestia. Wanita itu telah beberapa lama tidak dia temui setelah lulus kuliah dan menempati apartemen baru. Karena setelah menentukan apa tujuannya di masa depan, Lufat memutuskan untuk bekerja pada Nicholas. Mengabdikan karirnya di perusahaan Nicholas. Dan menentang keras larangan ibunya untuk terlibat dengan anak haram mendiang ayahnya.
Jika saja, Nicholas tahu bagaimana marah dan kata-kata kasar Lestia tentang dirinya meluncur mulus ke telinga Lufat.
Pria bermata hitam dan santai seperti ayah tirinya itu akan yakin. Saudara tiri malangnya itu akan sangat terpukul dan melampiaskan kemarahannya pada sembarang wanita dan menjadi penyendiri.
Sosok hangat Savvana ketika pertama kali Lufat melihatnya. Lufat berharap wanita itu tetap akan hangat meski menerima banyak serangan dari berbagai pihak yang mengharapkan kejatuhan mereka.
Lufat memang belum sempat bertukar pikiran dengan Savvana. Lantaran dia lebih dulu menjadi pembicara tunggal di tengah-tengah keterkejutan istri baru Nicholas mendengarkan dengan cermat, beberapa pelik kehidupan masa lalu keluarga suaminya.
Nicholas selalu menjadi pembicara baik dengan caranya sendiri. Dia bukan seorang pria pembual. Namun dia pandai menjanjikan masa depan cerah pada seluruh direksi dan karyawan yang telah mendedikasikan uang dan tenaga mereka ke perusahaan.
Lufat tersenyum lebar setelah tak sengaja melihat kehadiran adik manisnya yang telah berusia 12 tahun. Namun secara mengejutkan malah ikut diajak ke pertemuan seserius ini. Lufat bertanya-tanya. Ide menyebalkan siapa ini sebenarnya berasal?
Senyuman ceria dan jenaka Cherril meluluhkan hati Lufat yang sedang panas. Lufat memberi salam samar pada ayah tirinya, Chaden. Pria yang dengan tenang duduk di samping Cherril. Dan menjaganya dengan baik. Setelah percaya Cherril dibawa ke sana bukan tanpa alasan.
Nicholas turun dari mimbar dan memberi salam pada keluarganya.
"Nenek," sapa Nicholas tanpa mengharapkan balasan. Naeswari sungguh-sungguh mengacuhkannya.
Salam Nicholas kemudian berpaling ke anggota yang lain.
"Paman. Bibi. Dan Kakak."
Suasana sangat aneh di tengah-tengah mereka. Bahkan di sekitar mereka. Savvana yang sedang bersama Nicholas, tak berani mengangkat matanya ke depan sebelum diperkenalkan.
Tatapan tak senang Naeswari berpindah ke Savvana. Chaden menepuk pundak Nicholas dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
"Senang melihatmu tetap sempurna, Nicho. Kamu pernah jatuh. Kamu pernah kehilangan segalanya. Namun kini kamu bisa membangun perusahaanmu sendiri."
Hanya Chaden seorang yang selalu memperlakukan Nicholas lebih baik. Dia tak pernah mengungkit masa lalu ibu Nicholas. Dia juga tak pernah secara terang-terangan mengungkit perselingkuhan ibu Nicholas dengan kakaknya.
Mungkin, diantara mereka, Chaden-lah yang paling dewasa dan bisa berpikir jernih.
"Papa. Siapa Om ini? Kenapa dia memanggil Omma dan yang lain cukup akrab? Apa dia juga adalah keluarga kita?" Suara mungil Cherril mendorong semua orang menoleh ke bawah.
Meski tak pernah diperkenalkan atau dideskripsikan dengan jelas, Nicholas tahu bahwa gadis pendek yang berada di depan matanya itu adalah Cherril. Adiknya yang lain. Berbeda ayah dan ibu. Bisa dikatakan juga sebagai adik sepupu?
Suasana sedikit berubah ketika gadis cilik itu mulai bergabung.
"Cherril," Lufat mendekat. Dia berjongkok di depan Cherril yang masih meraih tangan ayahnya untuk meminta penjelasan.
"Om ini adalah kakak Cherril. Dia kakak kedua Cherril sebelum Kakak Lufat."
Gadis berkepang dua itu mengerjap. Matanya berbinar cerah. Hingga rasanya sulit menyatukan hubungan darah antara gadis manis ini dengan keluarganya yang garang.
"Kakak di atas kakak Lufat?" gadis manis itu mengerjap. Lufat mengangguk pelan.
"Ya, Cherril. Kakakmu. Panggil dia begitu. Dan bersikaplah ramah."
Lestia menyeret Cherril ke sisinya.
"Cherril. Jangan percaya ucapan kakakmu, Lufat, barusan. Dia hanya bicara omong kosong yang tidak benar!"
***