Savvana menunjukkan getir-getir perasaan kacaunya secara samar. Dia tak bisa mengatakan bahwa dia sangat menderita dan hampir menggila. Lalu, pernyataan pertama Tiara adalah benar. Nicholas memang menjadikannya sebagai pelampiasan atas kebenciannya pada sikap tak bertanggung jawab Arianna. Meski Savvana dengan yakin bisa berucap bahwa Nicholas tidak pernah menyukai Arianna. Lantaran mereka sudah memutuskan untuk menikah sebelum dipertemukan secara langsung.
Tiara masih menantikan jawaban baik dari Savvana.
Dia sudah mendengar kabar dari ibunya bahwa calon suami Arianna sangat menawan. Sangat merugi jika Arianna sampai menyia-nyiakan laki-laki tampan dan kaya macam Nicholas.
Sosok Vincent mengejutkan mereka. Hadir tanpa tahu kapan tiba. Dan sudah sampai sejauh mana menguping pembicaraan mereka. Suara marah Vincent menusuk ulu hati Savvana dengan tepat.
"Kamu sudah menikah dan tidak memberi kabar?" ucapan dingin itu membuat Savvana merinding. Dia tak mengira pertemuannya dengan Vincent tiba secepat ini.
"Kita bicara dan luruskan salah paham ini!"
Vincent menarik paksa Savvana untuk ikut bersama dengannya. Membawanya pergi ke tempat sepi dan bicara berdua tanpa penghalang.
"Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu pindah rumah? Kenapa kesaksian dari Om dan Tante-mu membuatku sangat kebingungan? Lalu, apa yang kalian berdua bicarakan tadi? Pernikahan siapa yang kalian bahas?"
Savvana sulit menutupi rasa gugupnya. Dia sadar, dia tak bisa menghindari Vincent. Dia juga tak bisa menutupi kenyataan pahit ini darinya.
"Vincent..."
Savvana berusaha mencoba sebaik mungkin untuk bicara baik-baik. Namun semua kata-kata jujur yang Savvana persiapkan, tersedat di lidahnya.
"Vincent..."
Pikiran buruk menyerang Vincent dan menghujam hatinya.
"Vana, tolong jawab pertanyaanku dengan benar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Om dan Tantemu bilang kamu sudah menikah? Apa itu benar? Kamu sudah menikah dengan laki-laki lain dan mengkhianati cinta tulus kita berdua?"
Savvana menunduk dalam. Dia merasa sangat bersalah. Dia juga sepenuhnya menganggap dirinya sama buruknya seperti Ruben, pacar Tiara, yang tega mengkhianati hubungan mereka.
"Vincent. Dengarkan aku baik-baik. Ini mungkin mengejutkan. Namun tak ada yang salah. Aku memang sudah menikah. Aku sungguh-sungguh minta maaf."
Vincent memukul tembok dengan keras.
"Vana! Tolong jangan bercanda! Kamu anggap apa hubungan kita selama ini? Kamu menikah diam-diam tanpa sepengetahuanku. Aku hanya sedang dinas keluar kota selama dua minggu. Aku kembali. Dan mendapati pacarku sudah menikah dengan laki-laki lain? Kamu ingin aku percaya itu semua?!"
Vincent mendekatkan wajahnya.
"Vana, aku mohon jangan perlakukan aku begini," dia menyentuh wajah Savvana. Dia juga memohon keseriusan Savvana, "Kenapa? Kenapa kamu sama sekali tidak menyangkalnya? Kamu serius dengan perkataanmu? Kalian sudah menikah? Padahal kita telah memutuskan akan menikah tahun depan jika tak ada penghalang?"
Vincent mengalami depresi. Dia marah dan sangat kecewa. Dia juga tidak bisa menerima kenyataan pahit ini meski harus. Mata Vincent berubah menjadi berkaca-kaca. Setelah dia tidak mendapatkan satupun kalimat sangkalan dari Savvana.
Mata Vincent membulat besar. Dia mendesah panjang. Dia mempertahankan pengendalian dirinya dengan sekuat tenaga.
"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang sepele? Kamu menikah dengannya saat kamu masih bersamaku! Kamu juga sudah mengingkari janjimu untuk sumpah setia padaku!"
Vincent dan Savvana sudah berpacaran selama lima tahun. Mereka juga sudah mengikat janji untuk akan terus bersama. Bahkan sampai maut memisahkan mereka.
Vincent bahkan tak pernah satu kali pun berpikir bisa menemukan wanita lain, selain Savvana.
"Vana... tolong katakan sesuatu! Katakan bahwa semua ini adalah bohong. Kamu tak mungkin sudah menikah. Kamu juga tak mungkin meninggalkanku! Bukan begitu?"
Sangkalan demi sangkalan yang Vincent layangkan, menyakiti Savvana.
"Aku minta maaf, Vincent. Aku sudah menikah. Tak ada yang bisa kulakukan."
Savvana terisak. Dia meratapi kemalangannya. Dia juga sangat mencintai Vincent. Hingga berat meninggalkan pria itu, meski harus.
Surat perjanjian pernikahan antara Savvana dan Nicholas terbentang jelas di dalam pikiran Savvana. Oleh sebab itu, dia tak bisa mempertahankan hubungannya dengan Vincent. Dia juga tidak bisa menjadi wanita jahat yang mengharapkan Vincent menunggu-nya selama lima tahun.
"Vincent, ini adalah harapan besar dan kesungguhanku. Temukan wanita lain yang tepat untukmu. Lalu, lupakan aku." Savvana menghilangkan kesempatannya untuk mengadu. Membiarkan Vincent menganggapnya sudah berkhianat. Dan ini adalah jalan terbaik untuk mereka agar Vincent mudah melepas sekaligus melupakannya.
Vincent terpuruk di tempatnya.
Sementara Savvana menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri. Pergi menjauhi Vincent dengan hati masih tercabik-cabik. Vincent merasakan dunianya hancur berkeping-keping.
Dia terlambat menghalangi kepergian Savvana. Ketika sadar dan bermaksud untuk mengejar Savvana. Tangan Vincent sudah ditahan kuat oleh Virni yang baru tiba untuk mengajaknya bicara.
"Vincent. Mau kemana kamu? Kamu sudah kembali dari tugas dinas. Tapi belum memberikan laporan?"
Vincent menatap Virni frustasi. Suasana hatinya sudah buruk. Pertanyaan Virni menambah kemelut beban pikirannya.
"Virni, aku akan memberikan laporannya nanti. Segera. Setelah aku menyentuh meja kerjaku."
Virni masih saja berusaha mencegah kepergian Vincent.
"Ada apa? Apa kalian bertengkar?"
Virni sudah melihat dari kejauhan bagaimana serius pembicaraan Vincent dan Savvana. Virni pun memberanikan diri mendekati Vincent setelah tahu mereka berpisah bukan secara baik-baik.
Vincent mendesah. Dia tak punya keinginan untuk berbagi cerita. Mengejar Savvana pun, setelah Vincent pikirkan ulang. Semua itu, terasa akan percuma.
"Kami baik-baik saja. Jadi, singkirkan tanganmu. Dan jangan perlihatkan keakraban kita di depan orang lain."
Virni melepas tangannya. Dia menyimpan kejengkelannya setelah ditinggalkan acuh oleh Vincent.
***