Chereads / Pernikahan Paksa : Pengantin Pengganti / Chapter 6 - 006 Arsitektur

Chapter 6 - 006 Arsitektur

Savvana menyentuh dadanya yang berkecamuk.

"Anda jahat! Anda tidak seharusnya memperlakukan istri Anda dengan keji."

Nicholas mengerutkan keningnya. Dia tak paham dimana letak kesalahannya. Semalam, Nicholas sudah memperlakukan Savvana dengan cukup baik setelah dia tahu ini adalah pertama kalinya Savvana melakukannya.

Namun, alih-alih mendapatkan pujian setelah dia memperlakukan Savvana dengan benar. Dia justru diumpat?

"Vana, kamu harus ingat. Ini adalah tanggungjawabku untuk menyenangkan hatimu juga. Tapi, jika kamu masih kurang puas dan ingin mengulanginya. Aku akan meluangkan waktu sepanjang hari imi untuk memuaskanmu. Menggunakan metode lain untuk membuatmu mengelijang seperti semalam jika kamu menganggap itu belum cukup."

Wajah Savvana bersemu merah. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri. Dia juga tak mau mengakui ketertarikan sesaatnya semalam.

"Jangan berhalusinasi, Tuan! Aku tak merasakan apapun. Anda hanya sedang berimajinasi bodoh!"

Nicholas mendengus.

Dia tahu bagaimana cara memanjakan seorang wanita di atas ranjang. Jadi, siapa yang meragukan kepercayaan dirinya ini?

Nicholas mengurungkan niatnya untuk menakuti Savvana dengan cara yang rumit. Dia merangkak ke sisi Savvana untuk turun dari atas ranjang dan membuka gorden. Namun karena tindakannya yang hening dan tanpa pemberitahuan. Savvana sontak mengeratkan cengkraman jarinya di atas selimut. Bersikap awas karena berpikir Nicholas akan mendekatinya untuk maksud kotor.

Nicholas berbalik dan menoleh ke arah Savvana setelah berhasil membuka gorden dan menikmati sinar pagi.

"Apa yang mendorongmu bertambah gelisah? Kamu pikir aku akan menyibak selimutmu, alih-alih tiraiku? Ah, aku jadi semakin yakin. Kamu jadi kesulitan menghapus bayangan indah kita semalam. Dan berharap aku akan mengulanginya?"

Savvana tak berani menjawab. Dia takut Nicholas mewujudkan kata-katanya. Dia tak siap menghadapi Nicholas saat ini. Hatinya sudah kacau. Dia tak ingin membuat hatinya semakin terluka.

Nicholas diam sambil mengawasi Savvana.

Lalu dengan niat baik, Nicholas melempar pakaian Savvana yang dia pungut dari atas lantai, kepadanya.

"Pakai itu jika kamu masih merasa tidak nyaman. Lalu, aku tak akan minta maaf untuk kejadian semalam. Karena aku hanya menuntut hakku!"

Tazz!!

Image dingin, terpelajar dan berkharismatik tentang Nicholas, seketika sirna. Menyisakan ketidakramahan dan mulut nakalnya yang mungkin sudah tak memiliki penawar.

Nicholas melangkah pergi. Meninggalkan Savvana yang kecewa berat. Dan bersiap-siap mandi untuk berangkat kerja sebelum terlambat.

***

Identitas Nicholas yang Savvana ketahui adalah hanya sebatas pekerjaannya.

Nicholas adalah seorang ahli arsitektur terkemuka yang berhasil membangun kerajaan bisnisnya sendiri melalui modal kemampuan hebatnya dalam mendekorasi dan menarik minat konsumen. Maka tak mengherankan jika desain kamar Nicholas dibuat cukup unik dan sesuai dengan kriteria yang dia inginkan.

Memasang satu ranjang besar berukuran king yang sengaja Nicholas permak menjadi lebih lebar sebanyak dua kali lipat. Lalu meletakkannya di tengah-tengah ruangan yang sejajar dengan TV LED berukuran 55 inc yang dia tempelkan pas di ujung lainnya.

Nicholas bahkan telah menyiapkan sebuah wardrobe besar untuk menyimpan seluruh pakaiannya. Memilih nuansa abu-abu dan putih sebagai warna yang paling mendominasi di dalam kamarnya. Serta karpet putih yang tidak dia inginkan jika sampai kotor atau berdebu tebal.

Laki-laki dengan tinggi 180cm. Mengenakan kemeja putih dan dasi biru yang sewarna dengan jasnya yang masih dia letakkan di atas meja kecil di wardrobe. Laki-laki itu berjalan keluar dari dalam kamar mandi setelah selesai berpakaian lengkap.

Melirik Savvana yang masih duduk dengan posisi sama seperti sebelum dia meninggalkannya.

Aku hanya menuntut hakku. Aku hanya ingin menyingkap tirai. Dan bukan pakaianmu. Aku bukan memaksamu. Tapi memberikan kepuasan yang berharga untukmu.

Perkataan itu terus berkeliaran dalam benak Savvana. Baik yang sudah Nicholas ucapkan dan bisa Savvana baca hanya dari tatapannya semata. Saat Nicholas mulai menganggap rendah dan bodoh dirinya yang terjerumus dalam hubungan anehnya bersama Savvana.

Aku membencimu. Kamu pria jahat. Kamu juga sudah merengut kehormatanku. Bersikap kejam dengan memaksaku menikahimu tanpa cinta.

Nicholas menyadari keegoisannya. Namun dia tak bersedia mengakuinya.

Dia menatap ke sekeliling. Dia pun mencari apa yang dia butuhkan. Jas dan tas kerjanya. Dia mengambil dua benda itu lalu meninggalkan kamarnya.

Savvana mengusap-usap tubuhnya yang menggigil hebat akibat belum berani beranjak atau berpakaian kembali sebelum dia memastikan Nicholas telah menjauh darinya. Savvana dengan sisa keprihatinannya, meringkuk lemah untuk mengambil pakaian baru lalu membersihkan diri.

Dia masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajah lebih dulu. Belum keluar sampai perasaannya membaik.

***

Elsa yang menyadari Savvana tidak pernah keluar kamar sejak pagi pun bertanya pada sang pengurus rumah.

"Apa dia belum keluar juga dari dalam kamarnya?" tanya Elsa.

Pertanyaan ini sudah Elsa lontarkan beberapa kali. Dia penasaran tentang apa yang menantu tak diinginkannya lakukan seorang diri dalam kamar. Dia juga cemas jika wanita malang itu mencoba bunuh diri dan mempermalukan keluarganya.

Emma, sang pengurus rumah yang telah bekerja selama puluhan tahun, menggeleng lemah. Dia menarik sudut bibirnya ke samping dan berekspresi datar.

"Saya sudah sempat mengetuk pintu untuk menawarinya sarapan, Nyonya. Namun dia sama sekali tidak bereaksi. Seolah menjadi bisu dan tidak ingin bicara dengan siapapun."

Elsa menggigit bibir bawahnya dengan cemas.

"Apa dia benar-benar akan menjadi hantu di rumah ini?" Elsa berucap asal. Meski dia juga khawatir jika hal itu terjadi. Emma sontak terkejut.

"Nyonya! Kenapa Anda bicara begitu? Saya yakin situasinya tak semenyeramkan itu. Lagipula, hantu macam apa yang sedang Anda bicarakan?"

Elsa mengibas tangannya di depan Emma yang berusaha tak memahami maksud sebenarnya Elsa.

"Ah, sudahlah. Jangan ajak aku bicara lagi dan pikirkan cara untuk membuatnya bertahan di rumah ini. Aku tak mau tersebar berita buruk setelah Nicho membawa masuk wanita yang tak jelas asal usulnya itu! Lalu, menyiksanya dengan kejam!"

Emma hendak berbalik. Bermaksud naik ke lantai atas untuk menjalankan tugasnya. Elsa malah menghentikan langkah Emma dan mengurungkan niatnya.

"Berhenti! Aku mengubah perintahku! Biar aku saja yang membujuknya keluar setelah kupikir bujukanmu mungkin tak akan berguna."

Dengan perasaan enggan, Elsa berjalan ke depan pintu kamar putranya. Mengetuk pintu dengan lebih kencang setelah dia pikir itu diperlukan untuk mengejutkan menantu malangnya.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan ini perlu diimbangi dengan sebuah ucapan.

"Hallo... apa kamu masih hidup?" tanya Elsa tanpa sikap mengintimidasi. Niat awalnya hanya untuk bersikap baik. Meski di mata Emma pertanyaan Elsa terdengar mengerikan. Emma mengawasi Elsa dengan ketat.

"Nyonya! Anda tak boleh berkata begitu dan bertanyalah dengan lebih tepat!"

Elsa melonggarkan kewaspadaannya setelah terkejut melihat Emma masih ada bersama dengannya dan mengekorinya bagai anak ayam.

Ketukan kedua kembali Elsa buat.

Tok! Tok! Tok!

"Hei! Jika kamu ada di dalam. Buka pintunya. Kamu tak bisa mengurung diri dalam kamar. Kamu juga tidak boleh sampai mat- maksudku, sakit!"

Emma mendesah panjang. Emma memutuskan untuk menggantikan posisi Elsa membujuk Savvana keluar.

"Nyonya, tolong keluar dari kamar. Anda harus makan dan berhenti mengurung diri."

Elsa menyipitkan mata ketika Emma masih saja bersikap sok di depan majikannya. Namun tidak melarangnya melanjutkan tugasnya.

Savvana akhirnya keluar dari dalam kamar dengan tatapan enggan. Setelah membenarkan ekspresi wajahnya. Dia memang belum ingin bertemu dengan siapapun. Namun, dia juga tidak bisa hanya berdiam diri dalam kamar dan mengabaikan mereka.

"Anda mencari saya, Nyonya?" sembari menunduk sedih dan tidak menatap langsung lawan bicaranya. Savvana berusaha menyembunyikan mata sembab dan wajah muramnya.

***