Suara dentaman musik yang memekakkan telinga itu mereda, seiring dengan pintu kelab yang telah ditutup. Para tamu sudah meninggalkan lokasi, sebagian besar dalam keadaan mabuk, sebagian yang lain tersenyum lebar, meninggalkan beban mereka di belakang punggungnya. Elana yang sedang dalam perjalanan menyeberang untuk kembali menuju toilet perempuan menoleh ke arah area kelab yang sangat luas. Matanya mencari-cari keberadaan Sachi, tetapi tidak menemukannya.
DJ yang memainkan musik nan memekakkan telinga itu sudah meninggalkan posnya, begitupun dengan bartender yang sedari tadi bertugas di belakang bar panjang berwarna hitam gelap di ujung ruangan. Para pelayan yang tampak mendominasi area tempat duduk tamu, sibuk membersihkan berbagai kekacauan yang ditinggalkan di sana. Sampah-sampah sudah dikumpulkan dan seluruh area dibereskan supaya rapi. Nanti ketika jam empat dini hari menjelang, mereka semua akan meninggalkan lokasi dan pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan kelab itu sampai nanti dibuka kembali pukul sebelas malam hari.
Setelah insiden berdarah di toilet laki-laki tadi, Elina menjalani pekerjaannya dengan tenang sampai jam kerjanya habis. Dia tak lelah membersihkan apa yang menjadi tugasnya, bergerak bolak-balik dari toilet perempuan ke toilet laki-laki untuk bekerja, mengabaikan gangguan dari para lelaki mabuk yang hanya untuk berjalan saja sudah sempoyongan tak terkendali, dan terus fokus menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Pekerjaan pembersih toilet ini meskipun sepertinya remeh, tapi pada prakteknya cukup berat. Itu semua dikarenakan para tamu yang hilir mudik terus menerus mengotori toilet bahkan di detik pertama setelah Elina membersihkannya.
Ketika akhirnya jam tiga pagi terlewati dan sekarang kelab ini bersiap-siap untuk tutup, Elina bersigap untuk melakukan pembersihan akhir. Kedua toilet yang menjadi tanggung jawabnya akan dibersihkannya sampai berkilau, hingga ketika kelab malam ini dibuka malam hari nanti, keduanya sudah langsung siap untuk digunakan.
Pukul empat dini hari, ketika semua karyawan sudah bersiap pulang, Elina telah menyelesaikan pekerjaannya. Dia segera menuju ke ruang ganti dan loker, mengganti pakaiannya dan menyimpan seragamnya ke dalam tas. Baju seragamnya ini cukup kotor setelah dipakai bekerja, Elina berpikir untuk membawanya pulang dan mencucinya segera setelah sampai di rumah kontrakannya. Jika dicuci sepagi mungkin, maka di malam hari baju kerjanya itu akan kering dan siap dibersihkan.
"Kerja bagus." Karel, penanggung jawab bagian cleaning service yang bertugas menilai pekerjaannya tiba-tiba muncul menyapa ketika Elina berjalan keluar melewati halaman parkir kelab yang telah tutup.
Elina mendongakkan kepala, dan langsung memasang senyum, menerima pujian itu dengan senang hati. "Terima kasih, Pak," ujarnya riang. Meskipun usia Karel sepertinya masih muda, mungkin masih dua puluh limaan, Elina sengaja memanggil Karel dengan sebutan 'pak' karena lelaki itu adalah atasannya.
Karel tersenyum masam, langkahnya tetap mengiringi di sebelah Elina.
"Tidak usah pakai 'pak', panggil nama saja," ucapnya memberi izin.
"Baik, pak... eh Karel." Elina menjawab dengan gugup, menundukkan kepala canggung.
Mata Karel lalu mengawasi sosok Elina dan menyadari bahwa kesan pertama memang bisa menipu. Sachi membawa Elina datang kepadanya untuk bekerja sebagai pembersih toilet, Karel langsung merasa skeptis gadis sekurus itu dan terlihat lemah mampu menjalankan pekerjaan yang cukup berat dan menguras fisik sebagai pembersih toilet kelab malam.
Tetapi, baru satu malam menjelang dan Karel harus menjilat ludahnya ketika melihat hasil pekerjaan Elina malam ini. Elina menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, dia terus menerus bekerja tanpa lelah, tidak sibuk bermain mata dengan para tamu seperti yang dilakukan pekerjanya yang lain, dan setelah bertahun-tahun bekerja sebagai supervisor yang membawahi para cleaning service di kelab ini, baru kali inilah Karel menemukan pekerja yang benar benar bersemangat dengan hasil yang memuaskan.
Ini mungkin baru satu malam sehingga terlalu dini bagi Karel untuk mengambil keputusan penilaian atas hasil kerja Elina. Tetapi sekarang dia merasa optimis bahwa Elina akan benar-benar diterima di pekerjaan itu setelah melewati tiga hari tahap training.
Karena Elina diam saja ketika melangkah bersamanya menyeberangi halaman parkir kelab yang sangat luas itu, Karel akhirnya membuka kembali percakapan.
"Kau pulang naik apa?"
Elina mendongakkan kepala lagi, mata besarnya tampak jernih dan kebingungan.
"Saya... saya tadi berangkat kemari bersama Sachi, tapi ketika pulang Sachi sudah tidak ada... mungkin... mungkin saya akan berjalan ke halte dan menunggu angkutan umum pertama yang lewat," jawabnya jujur.
Karel mengerutkan kening. "Sachi mungkin pulang bersama salah seorang pelanggannya." Karel berucap dengan nada penuh arti, membuat pipi Elina memerah ketika menyadari maksud Karel.
"Ini masih jam empat pagi dan langit masih gelap. Angkutan umum pertama baru akan beroperasi jam lima pagi. Apa kau tidak takut menunggu sendirian di halte yang gelap itu?" Sambungnya bertanya.
Halte yang dimaksud oleh Karel adalah halte di pinggir jalan yang terletak tak jauh dari pintu depan kelab. Di siang hari mungkin halte itu cukup ramai dengan hiruk pikuk pejalan kaki serta pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar, pun dengan banyaknya mobil yang lalu lalang di jalanan besar yang sangat sibuk ini. Tetapi, pagi ini kondisinya tentu sebaliknya. Suasana sangat sepi, hanya sedikit mobil yang lewat dan kegelapan masih melingkupi suasana.
"Tidak apa-apa, saya tidak takut." Elina menatap Karel dengan tatapan penuh tekad, yang entah kenapa mengetuk hati Karel dan membuatnya tersenyum.
"Bagaimana kalau kuantar kau pulang?" Karel menunjukkan kunci mobil di tangannya, sementara dagunya menunjuk ke arah depan. "Mobilku ada di depan sana," sambungnya.
Mata Elina membelalak lebar, sejenak ada ketakutan yang terbersit di sana. Karel sepertinya orang baik dan lelaki itu adalah bosnya, tetapi tetap saja Elina baru mengenalnya beberapa jam. Membiarkan dirinya masuk ke dalam mobil dengan orang asing yang baru dikenalnya, sudah tentu bukan merupakan langkah yang bijaksana. Apa lagi dengan mengantarnya, Karel akan mengetahui alamat rumahnya. Yah, meskipun alamat rumahnya tertera lengkap di data karyawan, entah kenapa Elina merasa tidak nyaman membiarkan seorang lelaki yang bukan apa-apanya mengantar dirinya pulang.
Sepertinya merupakan keputusan yang lebih baik jika Elina pulang sendiri dengan menggunakan kendaraan umum, karena itulah dia langsung setengah membungkuk sopan ke arah Karel, menjaga sekuat tenaga agar atasannya itu tidak tersinggung.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi saya... saya lebih baik pulang dengan kendaraan umum saja, Anda pasti kelelahan juga dan ingin segera beristirahat, saya tidak ingin Anda harus repot-repot mengantar saya dulu." Setelah berucap terbata dengan postur tubuh membungkuk hormat, Elina cepat-cepat melarikan langkahnya pergi, meninggalkan Karel yang terpana tak sempat memberikan sanggahan.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Elina sampai di kamar kontrakannya yang reyot. Matahari sudah bersinar begitu terang, memberi bantuan pada kaum manusia yang sibuk beraktivitas menjalani hari yang sibuk.
Elina membanting tubuhnya yang kelelahan ke atas tempat tidur, bahkan terlalu lelah untuk mengganti pakaiannya. Tas yang dibawanya tergeletak begitu saja di lantai, sementara mata Elina terpejam rapat.
Ini adalah pengalaman pertamanya begadang dan tidak tidur semalaman, dan tubuhnya masih beradaptasi dengan keadaan itu. Yang dirasakannya sekarang adalah sakit di sekujur tubuhnya, seolah seluruh syaraf di balik permukaan kulitnya berteriak meminta di istirahatkan.