"Minumlah." Akram berdiri di tepi ranjang, menawarkan gelas itu pada Elina yang kini telah berbaring miring meringkuk memunggunginya. Perempuan itu telah menarik selimut di kaki tempat tidur untuk menutupi tubuh telanjangnya, pundaknya yang penuh dengan jejak dan bekas ciuman Akram tampak bergetar, menahan isak tangis.
Elina mengabaikannya, memilih menangis dalam diam dan memunggunginya. Dan Akram memutuskan memberinya sedikit waktu untuk menangis.
Bagaimanapun juga, Elina adalah seorang remaja tanpa pengalaman apapun. Apa yang dilakukan Akram padanya mungkin membuatnya ketakutan setengah mati. Tetapi, Akram tidak menyesal telah memaksakan dirinya terhadap Elina. Karena dia menginginkan Elina, dan cepat atau lambat, entah itu dengan pendekatan halus yang lama atau pemaksaan kasar yang cepat, perempuan itu tetap saja akan berakhir di atas ranjangnya. Nanti, setelah Elina bisa menguasai dirinya dan berpikir jernih, Akram akan menyadarkan Elina betapa beruntungnya dia karena Akram memutuskan untuk memilih Elina untuk melayaninya.
Akram lalu meletakkan gelas berisi air yang ditolak Elina itu di meja kecil yang terletak di samping ranjang. Dia kemudian melangkah ke kamar mandi, hendak menyegarkan diri sebelum kemudian ingin menghabiskan dini hari ini untuk memuaskan dirinya bersama Elina lagi.
Langkah kaki Akram ringan ketika dia melangkah memasuki kamar mandi, menyalakan keran shower air hangat yang langsung menciptakan uap yang memburamkan dinding kaca kamar mandinya. Akram hendak melepas celana panjangnya ketika tiba-tiba suara sesuatu yang pecah terdengar menembus indra pendengarannya.
Mata Akram melebar, sementara pikiran waspadanya yang tertuju pada Elina membuatnya langsung bergerak cepat, membuka pintu kaca geser kamar mandi yang berkabut itu dan meloncat keluar dari kamar mandi.
Sejenak langkah Akram tertegun ketika menatap pemandangan di depannya yang sama sekali tidak dia sangka sangka.
Pecahan gelas yang tadi ditawarkannya pada Elina kini tampak berkeping-keping di lantai. Dan perempuan itu sudah tidak ada di atas tempat tidur lagi. Tubuhnya yang masih terbalut selimut tampak lunglai, duduk sambil bersandar di kaki tempat tidur. Sementara di satu sisi tangannya tampak menggenggam pecahan kaca tajam yang tampak penuh dengan warna merah yang masih basah, dan di tangannya yang lain... tampak sayatan lebar di nadi pergelangannya yang mengalirkan darah segar, mengucur membasahi lantai.
Jantung Akram seolah dilepas paksa dari rongga dadanya, benaknya dipenuhi oleh emosi bergolak yang tidak dia kenal sebelumnya. Bergegas Akram menghampiri Elina dan memeluk perempuan itu. Tangannya mengambil pecahan kaca penuh darah yang masih tergenggam di jari Elana dan membuangnya jauh-jauh. Elina benar-benar pucat pasi dan tubuhnya terasa dingin. Tetapi perempuan itu masih bernafas meskipun semakin lama semakin terasa lemah.
"Elios! Elios!" Akram berteriak keras dengan panik, memanggil asistennya yang dia tahu selalu berjaga tak jauh dari dirinya.
Hanya beberapa detik sampai pintu kamar itu terbuka dan Elios muncul di balik pintu kamar yang dibukanya dengan keras hingga tersentak. Nada panggilan Akram sudah jelas menunjukkan sesuatu yang darurat, membuat Elios tak segan merangsek masuk ke dalam kamar pribadi tuannya itu.
Tetapi apa yang terpampang di depan matanya sama sekali tidak disangkanya. Tuannya, Akram, tampak berlutut di lantai, memeluk perempuan itu yang saat ini begitu pucat dengan darah mengalir dari nadinya yang terkoyak.
"Kenapa kau diam? Cepat siapkan mobil! Cepat!" Akram berseru keras dengan nada tak sabar, membangunkan Elios dari keterpanaannya. Akram lalu bangkit dan membawa Elina yang sudah lunglai, ke dalam gendongannya, melangkah cepat keluar dari ruangan menuju area parkiran mobil, tidak memedulikan tubuhnya yang telanjang dada dan hanya memakai celana panjang.
Dan pada detik itu, Elios menyadari bahwa sejak sepuluh tahun lebih dia mengabdi pada tuannya ini, baru kali inilah Akram yang dikenal sangat dingin, kejam dan tak punya hati terhadap manusia lain, menunjukkan emosi kuat yang Elios pikir tidak pernah ada dalam jiwa Akram sebelumnya.
Mobil hitam itu melaju cepat menembus jalanan di dini hari yang sepi. Elios duduk di sebelah supir yang mengendarai mobil dengan kencang. Sepanjang perjalanan yang mencekam tersebut, asisten Akram itu sibuk menelepon pihak rumah sakit, meminta jalur emergency private yang khusus disediakan untuk petinggi dan pemilik rumah sakit segera disiapkan. Elios juga terdengar meminta kehadiran dokter terbaik rumah sakit untuk bersiaga di sana sebelum mereka datang.
Akram sendiri hanya berdiam diri sambil memangku tubuh Elina yang makin lama semakin dingin di tangannya. Darah Elina tampak mengucur deras dari luka sayatan di pergelangan tangannya, membuat kulit perempuan itu berubah pucat seperti mayat.
Akram menunduk dan menatap wajah Elina, keningnya berkerut dalam ketika aroma anyir darah segar memenuhi indra penciumannya. Dadanya yang telanjang dan bagian lain di dalam mobil mewah ini telah penuh dengan darah yang seolah-olah begitu keras kepala dan tidak mau berhenti mengucur dari luka sayat di pergelangan tangan Elina itu. Sepertinya, bebatan kain yang dibuat oleh Akram di pergelangan tangan perempuan itu tidak berarti banyak untuk mencegah pendarahannya.
Mereka sampai di rumah sakit hanya dalam waktu beberapa menit. Dini hari membuat jalanan sepi, sehingga mereka bisa menempuh perjalanan dalam waktu lebih singkat. Rumah sakit megah ini terletak di dalam komplek perumahan mewah di bagian pusat kota, area paling elit dari seluruh daerah yang tak jauh dari klab malam. Akram memiliki beberapa rumah yang tidak ditinggalinya di komplek perumahan mewah itu, dan kebetulan juga, Rumah sakit itu juga telah diakuisisi oleh perusahaan miliknya sebagai perwujudan ekspansi dan diversifikasi di bidang kesehatan beberapa tahun lalu.
Ketika mereka memasuki gerbang rumah sakit mewah itu, petugas keamanan yang telah mendapatkan konfirmasi sudah berdiri menunggu di area depan, mobil mereka diarahkan ke area basement tertutup yang terletak di bagian samping rumah sakit, langsung mengarah kepada lift besar khusus pasien yang telah dibuka lebar berserta beberapa perawat emergency yang telah menanti.
Begitu pintu mobil dibuka, petugas rumah sakit yang sigap langsung mengambil tubuh Elina dengan hati-hati, sesuai prosedur pemindahan tubuh yang digunakan untuk memindahkan korban luka pendarahan luar. Elina ditidurkan di atas ranjang dorong rumah sakit yang sudah disiapkan. Petugas rumah sakit langsung berkeliling di sekitar pasien, kemudian melakukan apa yang harus mereka lakukan sambil mendorong tubuh Elina memasuki lift dan membawanya naik ke area tempat emergency VIP berada. Salah seorang dokter berucap kepada Elios yang mengikuti mereka untuk segera menyusul ke atas guna mendata informasi pasien sebelum penanganan lebih lanjut.
Akram melangkah keluar dari mobil. Matanya mengarah ke angka lift yang menyala di bagian atas pintunya, menunjukkan bahwa lift itu sudah bergerak naik ke atas. Perhatiannya teralihkan oleh gerakan Elios di dekatnya. Asistennya itu mengulurkan sapu tangan warna putih dengan sopan kepadanya.