"Kau... kau tidak akan bisa memilikiku... kau tidak akan bisa!" Napas Elina tersengal sengal ketika suaranya tersedak di tenggorokan, menahan isakan kuat yang hendak menyembur akibat rasa ngeri yang menyelimuti dirinya. "Lebih baik aku mati! Aku tidak akan sudi jadi budakmu!!!" Teriaknya kemudian putus asa.
Tak disangkanya, kalimat terakhirnya itu seperti pemantik yang langsung mengobarkan api kemarahan di jiwa Akram. Lelaki itu langsung menyerang, naik ke atas ranjang dengan kekuatan penuh, membuat Elina memekik ketakutan ketika diterjang tanpa ampun.
Tubuh lelaki itu menindihnya di atas ranjang, kedua tangannya yang kuat menahan kedua lengan Elina, sementara pahanya menekan kuat di sisi samping kiri dan kanan pinggul Elina. Wajah Akram begitu kelam, dipenuhi kemurkaan.
"Jangan coba coba untuk membunuh dirimu sendiri. Jangan coba coba melakukan itu lagi! Sekarang ini nyawamu milikku." Akram mendesis sambil menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya ke wajah Elina hingga hidung mereka saling bersentuhan. "Nyawamu adalah milikku, Elina, akulah yang bisa memutuskan kapan kau bisa mati dan sampai kapan kau harus hidup."
Kepala Akram langsung menunduk, hendak mencium perempuan itu, tetapi Elina bergerak cepat, di detik ketika bibir Akram hampir menyentuh bibir Elina, perempuan itu memiringkan kepala, menghindar tangkas hingga bibir Akram hanya berhasil mendarat di pipinya.
Akram tersenyum dalam diam. Perempuan itu benar benar tidak tahu bahwa sikap membangkangnya itu malah akan membuat akram semakin terobsesi untuk menaklukkannya. Semakin Elina berusaha menolaknya, semakin Akram ingin menguasainya. Semakin Elina berusaha menjauh darinya, semakin Akram ingin menyatukan ke dua inti merema tanpa ampun.
Bibir Akram lalu bergerak dengan menggoda, menyusuri sisi pipi Elina, lalu berakhir di telinga Elina, bergerak mendengus telinga Elinna, menghembuskan napasnya yang panas di sana hingga Elina terkesiap dengan bulu kuduk berdiri.
"Kalau kau berani beraninya mencoba bunuh diri lagi, aku bersumpah akan menghentikanmu di waktu yang tepat hingga kau tak akan mati. Kalau kau berusah melakukan bunuh diri dengan cara apapun, aku tidak akan memberimu ampun. Akan kupertahankan kehidupanmu dalam penderitaan hingga kau akan memohon untuk mati saja. Tapi tak akan kubiarkan kau mati, akan kulumpuhkan tangan dan kakimu hingga kau menjadi perempuan cacat yang tidak bisa bergerak tanpa bantuan. Kau hanya akan menjadi sesosok tubuh yang berbaring bagai boneka, hanya berfungsi untuk memuaskan nafsuku saja. Dan jika aku sudah bosan, aku akan membuangmu tanpa ampun, dan aku pastikan kau hanya akan mati tersiksa dengan kondisi tubuh cacat permanen begitu ketika aku sudah bosan denganmu."
Kalimat ancaman itu diucapkan dengan tenang, tetapi makna yang ada di dalamnya begitu mengerikan setelah dicerna, membuat Elina hanya bisa begidik ngeri. Tubuh Akram begitu kuat di atas tubuhnya, lelaki itu menindihnya dan memastikan bahwa Elina tidak bisa bergerak dengan bebas ataupun memberontak. Elina merasakan jantungnya berdebar keras, bukan karena kedekatan fisik Akram kepadanya, tetapi karena seluruh jiwanya dihujam oleh rasa ngeri tak terperikemanusiaan.
Monster jahat. Hanya itulah satu-satunya kalimat yang bisa menggambarkan betapa gelap dan kejinya hati Akram. Ancamannya sangat mengerikan bahkan hanya untuk dibayangkan sekalipun. Apa yang akan Akram lakukan kepadanya kalau Elina nekad mencoba membunuh dirinya sekali lagi? Apakah lelaki itu akan mematahkan tangan dan kakinya hingga lumpuh? Apakah lelaki itu akan memotong tangan dan kakinya?
Bahkan untuk mati saja, Elina harus berada di bawah kendali lelaki ini.
"kau hanya akan mati tersiksa dengan kondisi tubuh cacat permanen begitu aku selesai denganmu."
Air mata frustasi membuat mata Elina terasa panas. Dia menahannya sekuat tenaga, menggigit bibirnya sampai terasa sakit. Dia harus melawan! Tetapi bagaimana caranya? Akram terlalu mengintimidasi, terlalu kuat untuk dilawan. Dan Elina tidak ingin menangis di depan lelaki jahat ini karena itu sama saja menunjukkan kelemahannya kepada monster itu. Elina menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang bergolak dan isak yang menekan dadanya hingga terasa sesak. Sekuat tenaga dia menahan tangisnya.
Akram sendiri tampaknya tak peduli dengan emosi yang bergolak di dalam jiwa Elina, sementara tubuh Elina yang masih lemah sama sekali tidak berdaya untuk melawan kekuatan Akram yang begitu bugar di atasnya.
"Kau tentu tidak ingin kalau sampai aku membuatmu invalid permanen, bukan? Kalau itu terjadi, untuk bergerak, berdiri atau bahkan untuk buang air saja, kau membutuhkan bantuan dari pelayan-pelayanku, dan kau akan sepenuhnya bergantung pada kebaikan hatiku." Akram menyeringai, tampak senang membayangkan kalimat terakhirnya itu. "Dan aku tentu saja lebih memilih kau patuh sehingga aku tidak perlu terpaksa melumpuhkan tangan dan kakimu untuk mendisiplinkanmu." Akram menghadiahkan kecupan di lekukan antara leher dan pundak Elina, menggigit kembali pada permukaan kulit lembut di sana dengan menggoda. "Aku tidak suka bercinta dengan boneka yang hanya bisa berbaring ketika aku memuaskan diri. Aku lebih suka bercinta dengan perempuan yang bisa menggunakan lengannya untuk mencakarku ketika aku memberinya kepuasan, aku lebih senang memuaskan diri dengan perempuan yang bisa melingkarkan kakinya di pinggangku ketika aku menyatukan diri dengannya."
Pipi Elina merah padam mendengar perkataan vulgar Akram itu. Seketika itu juga, lupa dengan tangannya yang masih sakit dan dibebat di pergelangan, lupa pula dengan tangannya yang lain yang masih disambungkan dengan selang infus, Elina sekuat tenaga menggerakkan kedua tangannya untuk mendorong dada lelaki itu menjauh. Sebuah gerakan yang sia-sia karena tubuh Akram yang sekokoh batu begitu keras dan tidak bisa digeser sama sekali.
Gerakan kasar dan tiba-tiba yang dilakukannya berakhir fatal. Selang infusnya terlepas paksa, menciptakan rasa nyeri mendera seiring dengan rembesan darah di punggung tangannya. Dan ditangannya yang lain, gerakan kasar di pergelangan tangannya membuat jahitan rapuh yang masih belum kering benar terbuka kembali, mengucurkan darah segar yang langsung membasahi perban putih bersih itu.
Elina mengaduh kesakitan karena rasa nyeri yang langsung menggigit di kedua tangannya. Dan Akram langsung mengangkat tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi.
Mata Akram melebar ketika melihat kedua tangan Elina yang sama-sama terluka, lalu beralih ke arah wajah Elina yang berubah pucat pasi.
"Bodoh!" Akram mengutuk ke arah Elina dengan suara kasar, lelaki itu berguling dengan cepat dari atas tubuh Elina, langsung turun dari tempat tidur dan mendarat berdiri di lantai. Akram langsung meraih tombol pemanggil perawat untuk menangani Elina dengan segera.
Sementara itu, pandangan Elina mulai berkunang kunang, seolah-olah semua yang ada di sekitarnya berubah kabur dan buram, diselubungi oleh titik-titik berkilauan yang mengambang dalam gerakan berputar di sekitarnya. Lalu gelap kembali datang memeluk Elina, membuat dirinya kehilangan kesadarannya sepenuhnya.