Pertemuan pertama Akram dengan Elios adalah lewat sepuluh tahun yang lalu, saat Akram datang mewakili keluarganya untuk memberikan sumbangan tahunan di perayaan ulang tahun yayasan panti asuhan tersebut.
Elios adalah lulusan terbaik di sekolahnya, dengan peringkat nilai tertinggi dan catatan kelakuan yang sangat baik. Begitu Akram mengetahui bahwa Elios sedang berusaha mencari pekerjaan untuk hidup mandiri dan tidak membebani panti asuhan lagi, Akram langsung menawarkan pekerjaan di perusahaannya karena dia melihat potensi luar biasa di balik penampilan Elios yang pendiam dan sangat tenang.
Sekarang, setelah meniti karier dengan kerja keras dan pantang menyerah, Elios telah berhasil membuktikan diri menjadi orang terbaik dan tepat sebagai tangan kanan dan orang kepercayaan Akram.
Insting Akram sangat ahli menilai karakter dan kelebihan orang lain, itulah yang menjadi senjatanya sehingga berhasil membangun bisnis dengan sangat sukses seperti sekarang.
Kemampuannya itu membuatnya mampu memilih dengan akurat sehingga dia bisa bekerjasama dengan orang orang yang tepat serta membuang lebih dini orang orang yang tidak tepat menurut penilaiannya. Akram sangat susah dibohongi dan dia bahkan mampu membaca rencana rencana orang lain terhadapnya selangkah lebih cepat.
Kalau begitu.... apakah Akram tepat menilai tentang Elina? Ataukah seluruh penilaiannya terkaburkan oleh nafsu dan obsesi yang menggelegak tanpa bisa dijelaskan?
"Batalkan semua rencanaku di sisa hari ini dan esok pagi." Akram memutuskan dengan cepat. "Lalu untuk akhir pekanku, aku tidak ingin diganggu sama sekali." ketika mengucapkan kalimat terakhirnya, Akram tidak bisa menyembunyikan seringai penuh antisipasi yang muncul di bibirnya.
Akram tidak pernah merasakan ini dengan wanita manapun sebelumnya. Sebuah keinginan kuat untuk memuaskan hasratnya tanpa batas hingga membuang seluruh urusan pekerjaan terasa begitu mudah baginya.
Mata Elina melebar ketika memandang pintu kamar perawatannya yang dibuka oleh salah seorang perawat untuknya. Jantungnya langsung berdebar, membuat Elina mengepalkan jemarinya di pangkuanny tanpa sadar.
Saat ini dirinya tengah duduk di sebuah kursi roda yang disiapkan untuknya. Sekuat apapun Elina bersikeras bahwa dia sudah sehat dan bisa berjalan sendiri, para perawat itu kukuh pada keputusan mereka bahwa dia harus menggunakan kursi roda.
Akhirnya, setelah perdebatan panjang yang berujung dengan masuknya para bodyguard bertampang dingin milik Akram ke dalam ruangan dan bersikap mengintimidasi, Elina harus menyerah dan membiarkan tubuhnya didorong untuk duduk di atas kursi roda itu.
Pintu ruangan kamar perawatannya memang dibuka, tetapi kali ini sepertinya tetap tak ada harapan untuk Elina, karena sekarang, bukan hanya dua orang bodyguard yang datang menjaganya, tetapi dengan sekaligus. Dua orang berjalan di depannya, dua orang di sisi kiri dan kanan kursi rodanya, dan dua orang lagi ada di belakangnya. Mereka semua menutup ruang kemungkinan bagi Elina untuk menyelinap dan melarikan diri.
Seorang perawat mendorong kursi roda Elina keluar kamar, mereka lalu melalui lorong panjang yang steril dengan warna putih bersih tanpa ada satu manusiapun yang tampak, dan akhirnya berakhir di ujung ruangan, menghadap sebuah lift yang sudah menanti.
Kursi roda Elina lalu didorong memasuki lift oleh perawat itu, diikuti oleh enam bodyguard bertubuh kekar berjas hitam yang memenuhi seluruh ruang lift itu hingga Elina merasa kehabisan napas karena nuansa sesak yang mengganjal paru-parunya.
Ketika pintu lift itu terbuka, Elina langsung mengerutkan kening, menggerakkan tangannya dengan refleks untuk menutup wajahnya ketika hempasan angin yang begitu kuat langsung menghantam wajahnya. Suara berisik yang terdengar kencang memenuhi indra pendengarannya, membuat Elina mengangkat tangan yang menutupi wajahnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Matanya langsung melebar ketika melihat sebuah helikopter berwarna hitam legam yang sudah menunggu, baling balingnya yang berputar kencang menciptakan suara berdengung keras berpadu dengan hembusan angin kencang yang memporak porandakan rambut Elina yang telah tersisir rapih.
Perawat di belakangnya mendorong kursi roda Elina keluar dari lift dan barulah Elina menyadari bahwa lift yang membawa mereka tadi bergerak ke atas dan bukannya ke bawah. Mereka saat ini berada di atap tertinggi rumah sakit yang sekaligus digunakan sebagai landasan helikopter. Sepertinya rumah sakit ini termasuk rumah sakit elit berteknolgi modern yang menyediakan ambulance dalam bentuk helikopter untuk keperluan darurat bagi pasiennya.
Kursi roda Elina didorong hingga mendekati helikopter itu, masih dalam pengawalan enam bodyguard tersebut, dan kemudian berhenti di jarak aman. Seorang lelaki yang diketahui Elina sebagai asisten Akram sudah menunggunya di dekat pintu helikopter tersebut, bergegas mendekati Elina yang masih terpana memandang helikopter besar yang dekat sekali di depan matanya dengan tatapan tak percaya.
"Biarkan saya membantu Anda, Miss." Elios mengulurkan tangannya dengan sikap sopan, membuat Elina mau tak mau menerima uluran tangan itu. Dia tidak bisa berbuat yang lain, bukan? Dengan para bodyguard bertubuh yang kekar kekar dan bertampang garang yang mengelilinginya, Elina secara tidak langsung diintimidasi untuk bersikap patuh.
Elios menggenggam tangan Elina dengan hati hati, lalu membimbing Elina untuk berjalan perlahan mendekati helikopter dan dengan sikap tenang membantu Elina untuk menaiki helikopter tersebut dan masuk ke dalamnya.
Elina menghela napas panjang ketika akhirnya dia berhasil masuk ke dalam helikopter dan duduk di bangku empuk yang tersedia di sana. Tetapi ketenangannya tidak berlangsung lama ketika dia menyadari bahwa ada orang lain di ruangan helikopter yang terbatas itu.
Mata mereka saling bersinggungan. Yang satu panik seperti mangsa yang terperangkap, sementara yang lainnya tampak begitu puas sekaligus lapar.
Akram Night ada di dalam ruang helikopter itu, dengan tatapan buas seorang predator yang tidak sabar untuk melahap mangsanya.
"Jangan coba-coba."
Suara Akram terdengar dingin ketika berdesis memperingatkan ke arah Elina yang tengah memandang ke sekeliling, ke arah pintu helikopter yang tertutup rapat, tanpa sadar mencari jalan untuk melarikan diri.
Peringatan yang diberikan oleh Akram dengan suara dalam menusuk itu membuat tubuh Elina membeku, ketakutan merayapi dirinya ketika menyadari intensitas suara Akram yang meskipun diucapkan dengan tenang tetapi menyiratkan ancaman mengerikan yang tidak main main.
Tiba tiba saja, Akram bergerak maju, tangannya terulur ke arah Elina, membuat Elina refleks memundurkan tubuh hingga punggungnya membentur punggung tempat duduknya dan bersikap defensif, menggerakkan lengan untuk memeluk dirinya sendiri. Akram menundukkan kepala, memandang ke arah Elina dengan tatapan tajam, ekspresinya tidak berubah, ketika lelaki itu mengabaikan sikap mempertahankan diri Elina, meraih sabuk pengaman yang tergantung di sisi tubuhnya dan memasangkannya tanpa suara ke tubuh Elina.
Elana menahan napas, sekujur tubuhnya menegang penuh ketakutan dan rasa tidak nyaman ketika menyadari bahwa Akram begitu dekat dengan dirinya dalam proses memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu sepertinya langsung datang dari tempat kerjanya, mengingat pakaian jas setelan tiga potong yang tampak sangat mahal dan rapi yang membungkus tubuhnya dengan begitu pas seolah dijahit khusus untuknya.