Aroma aftershave maskulin berbaur dengan parfum dan rokok klasik tercium samar tanpa bisa dicegah memasuki indra penciuman Elina, membuat Elina merasa semakin terintimidasi dan terancam.
Dia tidak pernah sedekat itu dengan lawan jenis sebelumnya, dan lelaki jahat ini telah menginvasi batas batas yang telah ditetapkan oleh Elina kepada dirinya sendiri dengan brutal dan penuh pemaksaan...
Suara 'klik' perlahan terdengar, membuat Elina mengerjapkan mata dan tersadar dari rasa mencekam yang membuatnya langsung berusaha menjauh, menyingkirkan tubuh Akram yang masih berada begitu dekat.
Kepala Akram menunduk, matanya yang tajam berpadu dengan mata Elina, sementara tak ada satu kalimat pun yang terucap dari bibirnya.
Ditatap seintens itu membuat Elina memalingkan wajah, seluruh jiwanya ingin memberontak, tetapi tubuhnya lunglai didera oleh ketakutan, semakin merasa tak berdaya ketika helikopter itu mulai bergerak naik, mengudara dan meninggalkan landasan diiringi suara berderu yang melingkupi.
"Bangun."
Suara Akram yang tajam kembali menginvasi alam ketidak sadaran Elina dengan kuat, membuat Elina langsung menegakkan tubuhnya dengan tegang, lalu memandang ke sekeliling dengan waspada.
Butuh waktu beberapa saat bagi Elina untuk mengembalikan kesadarannya. Sejenak matanya menatap ke arah Akram dengan bingung, pikirannya masih berkabut, apalagi ditambah suara deru helikopter yang menggema di telinganya dan membuatnya sulit berkonsentrasi. Lalu kesadarannya kembali secara perlahan, membuatnya mendongakkan kepala ketika menyadari bahwa Akram telah berpindah duduk dari seberangnya ke sampingnya.
Bagaimana mungkin lelaki ini bisa berpindah di sebelahnya tanpa Elina menyadarinya? Kenapa tidurnya begitu nyenyak sehingga dia kehilangan pertahanan diri dan membiarkan lelaki itu begitu dekat dengan dirinya?
Elina langsung berusaha menjauh dengan pipi merah padam saat tahu bahwa dia tadi tertidur sambil menyandarkan kepalanya di lengan Akram. Tetapi usahanya sia-sia, lengan Akram melingkar di belakang punggungnya, dan lelaki itu merangkul tubuhnya dengan erat, merapatkan Elina ke dirinya yang kokoh dengan kuat, tanpa kesempatan bagi Elina untuk melawan.
"Kita sudah hampir sampai." Jemari Akram sedikit meremas lengan Elina, sementara kepalanya berpaling, menatap ke arah jendela lebar di samping mereka, menunduk ke untuk melihat pemandangan di bawah mereka.
Rasa ingin tahu membuat Elina melupakan keinginannya untuk menjauh, dia mengikuti arah pandangan Akram dan matanya langsung melihat sebuah pulau kecil yang dipenuhi pepohonan hijau nan rimbun dengan dominasi atap bangunan besar berpagar tinggi seperti benteng dan kastil di masa lalu yang berada tepat di bagian tengah pulau.
Rasa takut kembali merayapi diri Elina ketika menyadari bahwa Akram benar benar mewujudkan perkataannya sebelumnya. Lelaki itu tidak main main ketika menghapus seluruh jejak keberadaan dan kehidupan Elina di dunia ini dan mengatakan akan mengurung Elina sehingga tidak bisa melarikan diri.
Jika dirinya dikurung di pulau terpencil tengah lautan seperti ini, maka sudah pasti tidak akan ada kesempatan bagi Elina lagi untuk melepaskan diri dari cengkeraman Akram.
Apa yang harus dia lakukan?
Jantung Elina berdebar dipenuhi kepanikan tak terkendali ketika membayangkan masa depan yang membentang gelap di depannya.
Segera setelah helikopter yang mereka kendarai ini mendarat di pulau tersebut, maka sudah pasti Elina akan dipaksa melupakan seluruh kebebasan yang dimilikinya.
Astaga. Apa yang harus dia lakukan?
Kembali pertanyaan yang sama berulang di benak Elina, melingkupi jiwanya dengan rasa kalut dan panik hingga dia akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa ketika merasakan helikopter itu mendarat dan cengkeraman Akram di lengannya terasa semakin kencang, bersiap membawanya turun dari helikopter itu.
Akram masih tidak melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Elina ketika dia setengah menyeret tubuh perempuan itu berjalan melewati landasan helikopter melewati jalan setapak dengan lantai beton di bawah kakinya dan pepohonan yang berjajar di kiri dan kanan mereka.
Jalan setapak itu mengarah ke gerbang besar yang terbuka, gerbang yang sangat tinggi hingga Elina harus mendongakkan kepala untuk menatap ujung tertingginya. Gerbang itu sendiri sudah terbuka lebar seolah sengaja untuk menyambut kedatangan mereka, dengan dijaga oleh begitu banyak orang berjas hitam dengan wajah kaku yang sekarang sudah Elina kenali sebagai bodyguard dan penjaga keamanan milik Akram.
Dinding memanjang yang bahkan lebih tinggi lagi dari gerbang raksasa itu tampak membentang di depan mereka, melingkar dan berbelok sampai ujung yang tidak bisa dicapai oleh mata Elina.
Namun akan tetapi, dari pemandangan yang dilihat oleh Elina sebelumnya di atas helikopter tadi, Elina tahu pasti bahwa dinding itu dibangun melingkari seluruh penjuru kastil dengan rapat, tanpa ada akses lain untuk keluar masuk selain pintu gerbang raksasa yang dijaga dengan penjagaan ketat berteknologi tinggi.
Tanpa peduli dengan para petugas kemanan yang membungkuk hormat memberi salam kepadanya, Akram bergerak menyeret Elina untuk melewati gerbang raksasa itu, sementara mata Elina masih terpaku dengan kepala menoleh ke belakang, menjerit dalam hati ketika melihat para petugas keamanan itu menutup pintu gerbang tersebut dengan rapat di belakang mereka.
"Sekarang sedang musim hujan, udaranya basah dan lembab dan kadang kadang badai bisa menerjang pada saat saat tertentu. Aku menyarankan ketika hari sudah gelap kau tidak berkeliaran di sekitar rumah karena siapa yang tahu kalau tiba tiba badai datang dan kau terjebak di hutan yang mengelilingi rumah ini. Berada di luar rumah ketika badai berlangsung mungkin tidak akan membunuhmu, tetapi percayalah, itu akan menjadi pengalaman yang sangat mengerikan serta traumatis bagimu." Akram berucap dengan nada dingin ketika mereka melangkah memasuki pintu rumah yang terbuka.
Di ambang pintu, tampak beberapa pelayan yang berdiri menyambut, dan sekali lagi Akram mengabaikan mereka, membawa Elina menyusuri tangga besar yang langsung terbentang di tengah ruangan di hadapan pintu depan yang terbuka lebar.
Elina tak berdaya, langkahnya terseret mengikuti langkah Akram yang lebar menaiki satu persatu anak tangga dengan cepat. Mereka akhirnya sampai di anak tangga terakhir, mendarat di lantai dua dan berhadapan langsung dengan lorong lebar dengan pintu-pintu kamar yang tertutup berjajar di kiri dan kanan, berpadu dengan lukisan berbingkai emas yang tampak seperti karya seni mahal di sepanjang tembok lorong tersebut. Karpet bulu tebal berwarna merah tua terbentang melapisi lantai lorong, tampak kontras dengan dinding yang bertutup pelapis nuansa kayu dengan aksen uliran emas di bagian atas dan bawah dinding.
Ketika Akram membawa Elina melangkah melalui lorong itu, Elina serasa melangkah memasuki bangunan dari masa lampau dengan nuansa kastil abad pertengahan. Sayangnya, matanya tidak sempat mengawasi sekeliling karena langkah Akram semakin cepat menyeret lengannya mengikutinya melewati lorong yang terasa sangat panjang itu.
Napas Elina terengah engah ketika langkah Akram melambat ketika mereka sampai di ujung lorong lantai dua itu. Tetapi, bukannya memberi kesempatan kepada Elina untuk beristirahat, Akram membawa Elina kembali melangkah menaiki sebuah tangga tersembunyi yang terletak di ujung ruangan.
"Lantai tiga adalah lantai pribadiku. Dan itu akan menjadi tempat tinggalmu di rumah ini." Akram menjelaskan dengan nada tenang ketika langkah mereka kembali berhenti di ujung teratas.