Chereads / THE DARKNESS AKRAM / Chapter 3 - KUCING MUNGIL

Chapter 3 - KUCING MUNGIL

Apakah temannya itu berada di antara kepala-kepala yang tampak sedang berasyik beradu di kegelapan remang di balik sofa-sofa besar di area tempat duduk?

Lalu Elina tersadar dari lamunannya dan mengerjapkan mata. Dia menghela napas panjang, dan memalingkan wajah. Bukan urusannya untuk menghakimi pekerjaan Sachi. Setiap orang memiliki alasan untuk melakukan sesuatu dengan kesadaran penuh, sama seperti Elina yang memilih mengambil pekerjaan sebagai pembersih toilet untuk menyambung kehidupannya.

Langkah Elina membawanya menuju ke lorong panjang yang berujung pada tembok buntu di mana sebelahnya mengarah pada toilet untuk tamu laki-laki. Toilet laki-laki itu pasti akan sama dengan toilet perempuan yang dia bersihkan sebelumnya, berwujud ruangan besar, dipenuhi kaca dibagian dindingnya yang dilengkapi dengan beberapa bak cuci tangan dari bahan marmer hitam yang indah. Di sisi lain dari ruangan itu, dipenuhi dengan bilik bilik kecil yang disediakan untuk buang air.

Kenapa sepi sekali?

Berbeda dengan toilet perempuan yang hiruk pikuk sebelumnya, Elina mengerutkan kening ketika menyadari bahwa tidak ada satupun orang yang ditemuinya di lorong menuju toilet laki-laki.

Apakah kaum laki-laki sesuai dengan struktur biologisnya yang memiliki kandung kemih hampir tiga kali ukuran kandung kemih perempuan, membuat mereka bisa menahan lebih lama untuk keperluan buang air?

Karena itukah tidak ada yang menggunakan toilet saat ini?

Sambil bertanya-tanya, Elina membuka pintu toilet laki laki itu tanpa suara, dan langsung terkesiap ketika melihat pemandangan di depannya.

Di dalam toilet itu, ada seorang laki-laki, tubuhnya tinggi mengenakan kemeja putih yang tampaknya dijahit khusus untuk ukuran tubuhnya karena menempel dengan begitu pas dibadannya. Celananya berwarna abu-abu gelap, tampak indah membungkus kakinya yang panjang. Sementara itu, jasnya yang berwarna serupa, telah dilepas dan diletakkan begitu saja di atas wastafel.

Tetapi bukan penampilan lelaki itu yang membuat Elina terkesiap, melainkan apa yang dilakukan oleh lelaki itu.

Lelaki itu tidak sedang sendirian, di tangannya yang kuat di balik lengan kemejanya yang digulung, ada sosok lelaki lain dalam cengkeramannya yang tampak kepayahan setengah mati. Wajah lelaki malang itu tampak penuh lebam di bagian mata yang sudah begitu sembab untuk dibuka, sementara hidungnya mengalirkan darah segar, belum lagi dengan bibirnya yang memar dan pecah, menampilkan darah serupa yang membuat penampilannya sangat menyedihkan.

Tetapi, sepertinya lelaki bertubuh tinggi yang tengah menghajar lawannya itu tidak sebaik hati itu untuk memberi ampun korbannya yang sudah kepayahan. Kepalan tangannya yang kuat bergerak lagi, meninju wajah lawannya dengan keras tanpa belas kasihan, hingga terdengar suara berderak entah gigi patah atau rahang patah yang disambung dengan darah segar yang langsung membanjiri mulut lelaki malang tersebut.

Lelaki malang itu langsung kehilangan kesadaran setelah pukulan telak kejam yang ditimpakan kepadanya, tubuhnya lunglai tanpa daya, dan langsung dibuang dengan kejam ke lantai toilet tanpa belas kasihan.

Suara Elina yang terkesiap membuat lelaki kejam itu menolehkan kepala, mengalihkan perhatian dari korbannya yang sudah tak berdaya dan mengarahkannya pada Elina.

Mata Elina membesar, sementara dirinya masih berdiri terpaku di ambang pintu dengan wajah pucat pasi. Dorongan di pikiran rasionalnya meneriakinya untuk lari, tetapi tubuhnya yang terlalu didera ketakutan membuatnya tak mampu bergerak, terpaku di sana bagai rusa kecil yang ketakutan dibawah intaian singa yang kelaparan.

Tatapan tajam dari mata hazel bening itu membuat Elina terlalu terintimidasi untuk mengagumi ketampanan lelaki itu yang luar biasa. Elina merasakan jantungnya berdebar keras ketakutan, mengutuki dirinya sendiri yang muncul di saat tidak tepat, sekaligus merasa ngeri kalau-kalau dirinya akan berakhir seperti lelaki malang yang sekarang terbaring tak sadarkan diri di lantai tersebut.

Lelaki bermata hazel itu tiba-tiba menyeringai. Matanya telah selesai memindai keseluruhan penampilan Elina, dan menyadari bahwa perempuan itu hanyalah pion kecil dari golongan lemah yang tidak pantas untuk mendapatkan perhatiannya.

"Kau tidak akan membuka mulutmu pada siapapun, bukan, kucing mungil?" Lelaki bermata hazel itu tiba-tiba berucap. Suaranya sama mengintimidasinya dengan tatapan tajamnya, membuat Elina semakin ketakutan.

Dia langsung menggelengkan kepala, memberanikan diri meskipun seluruh tubuhnya gemetaran setengah mati.

"Saya... akan menutup mulut...." Elina menatap korban lelaki bermata hazel itu dan mengerutkan kening melihat darah memercik kemana-mana dari tubuh lelaki itu. Matanya mengawasi dengan seksama dan sepercik kelegaan muncul di jiwanya ketika melihat bahwa dada lelaki malang itu masih naik turun karena bernapas.

Setidaknya dia tidak sesial itu menjadi saksi pembunuhan keji di hari pertamanya bekerja.

Tetapi, noda darah termasuk sulit dibersihkan. Noda darah lebih mudah dibersihkan di lantai keramik yang basah, tetapi akan sulit jika sampai noda darah yang terpercik di dinding putih bersih itu sampai mengering. Dipenuhi pemikiran itu, Elina akhirnya memberanikan diri untuk kembali menatap kembali ke arah lelaki bermata hazel tersebut.

Lelaki ini sudah puas menghajar musuhnya sampai kehilangan kesadaran. Seharusnya dia sudah puas dan tidak akan bertahan di sini untuk memukuli korbannya sampai mati, kan?

"Apa... apakah Anda sudah selesai?" suara Elina bergetar ketika bertanya, "Karena saya... karena saya harus membersihkan itu." Dagu Elina mengedik ke arah noda darah yang berceceran di lantai.

Sachi sudah memperingatkannya bahwa para pengunjung yang mabuk biasanya terprovokasi satu sama lain sehingga bisa saling memukul dan melukai dalam pertengkaran berdarah, dan Elina memutuskan untuk mengabaikan itu semua, hanya fokus pada tugasnya sebagai pembersih.

Para tamu di tempat ini adalah raja, mereka boleh muntah, tidak menyiram toilet mereka, membuang sampah atau bahkan saling mengucurkan darah, dan Elina hanya harus membersihkannya sampai bersih, dia harus menjalankan pekerjaannya tanpa terdistraksi karena penilaian apakah dia bisa diangkat menjadi pegawai tetap di tempat ini, bergantung pada hasil pekerjaannya malam ini.

Lelaki bermata hazel itu mengangkat alis, seolah tak menduga bahwa bukannya berlari dan menjerit-jerit histeris, Elina malah menanyakan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Tetapi, lelaki bermata hazel itu memutuskan untuk menanggapi Elina dengan tenang, dia menganggukkan kepala.

"Anak buahku akan membereskan tubuhnya. Kau tunggulah di sini dan bereskan sisanya." Lelaki bermata hazel itu membalikkan tubuh, lalu menyalakan keran air di wastafel marmer hitam di depannya dan mulai mencuci tangannya yang penuh darah.

Akram tidak pernah menemukan sosok menarik seperti gadis pembersih toilet itu sebelumnya. Gadis itu jelas-jelas ketakutan melihat peristiwa berdarah-darah di depan matanya, tetapi alih-alih pergi, dia memilih tetap tinggal dan bersikeras terus melakukan pekerjaannya.

Mata Akram melirik ke arah kaca besar di depannya, mengawasi gadis pembersih toilet yang tampak salah tingkah, berdiri di sana dengan kepala tertunduk dan menuruti perintah Akram untuk menunggu dengan canggung.

Seragam cleaning service yang digunakan oleh gadis itu tampak kebesaran, seolah-olah bukan dibuat untuknya, dan tubuh kurus gadis itu tampak tenggelam di baliknya. Tetapi, mata Akram yang awas tidak bisa melupakan mata gelap lebar yang bening di wajah gadis itu, berpadu dengan indahnya di dalam sebingkai wajah mungil berdagu lancip dengan anak-anak rambut di pelipisnya yang lepas dari ikatan kuncir kudanya.

Akram sudah pernah bercinta dengan banyak perempuan, semuanya berasal dari kelas atas, aktris terkenal, model-model paling cantik, dan perempuan bangsawan sepertinya yang menghabiskan seluruh waktu mereka untuk fokus memoles keindahan tubuh mereka.

Perempuan-perempuan yang melayaninya sebelumnya. selalu sempurna, tiada cela sedikitpun, dan dibalut pakaian kelas tinggi berpadu dengan perhiasan luar biasa mahal yang melengkapi.

Tetapi gadis yang ada di depannya ini terasa berbeda, rambutnya acak-acakan dan keringat tampak membasahi pelipisnya, menunjukkan bahwa gadis itu telah bekerja keras beberapa jam sebelumnya. Pipi gadis itu juga sedikit memerah, dan bibirnya yang mungil yang bergetar ketika berbicara dengan Akram terasa begitu menggoda hingga hampir saja Akram tak bisa menahan diri dari dorongan untuk mencengkeram dagu gadis itu, mendongakkan bibirnya ke arahnya, lalu melumat bibir itu dengan penuh nafsu untuk dicium habis-habisan.

Akram mengambil air dari keran dan menggunakannya untuk membasahi wajahnya. Pikirannya harus didinginkan segera. Dia tidak mungkin bernafsu pada gadis pembersih toilet yang tampaknya masih polos dan tidak tahu caranya memoles diri.