Chereads / Gejolak Cinta Wanita Simpanan / Chapter 4 - Melanggar Janji

Chapter 4 - Melanggar Janji

Langit malam hari ini terlihat begitu indah, bulan purnama yang bersinar terang serta taburan bintang yang menemani sang bulan purnama. Pantulan cahaya bulan purnama begitu terang sehingga menembus kaca jendela kamar wanita cantik itu.

Namun keindahan itu tidak dapat dirasakan oleh Gendis yang sedari tadi menatap kosong kearah langit, seolah dia ingin menanyakan sesuatu kepada kepada sang bulan dan berharap rembulan memiliki jawabanya.

Seperti ada guncangan hebat di dalam hatinya, yang membuat dadanya terasa penuh dan sesak hingga ia terasa sangat sakit. Berbalutkan gaun tidur berwarna cream menutupi kulit indahnya yang seputih salju.

Dia duduk di depan jendela kamar yang sedikit terbuka sehingga angin malam yang dingin berhembus sepoi-sepoi dapat menyapa tubuhnya yang mungil. Rambut hitam sebahu terurai sangat indah mengikuti irama angin malam.

Gaun tidur diatas lutut membuat kaki jenjangnya yang mulus terlihat dengan sangat jelas disaat dia duduk dan menyilangkan kakinya. Namun tubuh mungil yang indah itu tidak sedikitpun merasakan kedinginan. Rasa panas yang dirasakan didalam hatinya mengalahkan dinginnya malam

Tangan mungilnya memegang erat Box silver peninggalan Aditya, dalam lamunannya dia teringat bahwa Roy mengatakan ada surat untuknya didalam box itu.

Jemarinya yang lembut perlahan membuka box silver itu terlihat beberapa foto yang membuatnya bertambah bingung, setelah lembaran foto itu dia mendapati beberapa lembar kertas yang dilipat dengan sangat rapi.

Gendis dengan sigap mengambil kertas itu seoalah tak sabar ingin membaca tulisan yang ada didalamnya. Namun, hatinya menghentikan gerakan jemarinya, ternyata hati Gendis belum siap untuk membaca apa yang tertulis.

"mungkinkah isi surat ini hanya untuk membuatku semakin benci padanya?, oh…, Tuhan tolong beri aku kekuatan untuk membaca surat-surat ini!" ucap Gendis

"Mas…, mengapa setelah kau pergi aku merasakan banyak hal dalam hatiku, yang aku sendiri tidak mengerti, bagaimana aku harus menghadapi semua hal yang membuatku tambah bingung," Gumam Gendis dalam hatinya.

Mata lebar yang indah dengan sclera yang putih bersih dan pupil nya yang hitam pekat seperti pekatnya langit malam tanpa di sadari mengeluarkan air seperti bendungan yang tak sanggup menahan derasnya arus.

Dia sedikit menggigit bibirnya yang seksi untuk tidak menjerit, akan tetapi tetap saja gagal sehingga suara teriakannya itu terdengar oleh Mbok Mi asisten rumah tangganya yang sudah tertidur lelap.

Mbok Mi bergegas keluar dari kamarnya yang terletak dilantai bawah, dia menaiki anak tangga dengan berlari kecil menuju kamar nyonya mudanya itu.

"Non…, Non…," ucap Mbok Mi yang khawatir telah terjadi sesuatu terhadap nyonya mudanya.

Beberapa kali Mbok Mi mengetuk pintu kamar Gendis namun, tidak ada sahutan. Hanya terdengar suara rintihan tangisan dari dalam kamar.

Mendengar nyonya mudanya menangis seperti itu, membuat air matanya membasahi pipi yang sudah berkeriput, seolah ia juga merasakan luka yang sama.

Setelah beberapa saat memanggil nyonya mudanya tidak ada sahutan, dia kembali ke lantai bawah berniat untuk menelpon ibu Bhanuwati yang sedang menginap dirumah orang tua Aditya bersama Nehan.

Tetapi setelah tangan nya meraih gagang telpon, dia melirik jam dinding yang ada diruang keluarga menunjukkan pukul 04:00 wib pagi.

"ternyata sudah dekat waktu subuh, kalau aku telpon ibu sekarang mungkin akan membuat semua orang menjadi khawatir." Gumamnya dalam hati.

Diletakkanya kembali gagang telpon itu dan dia pun hanya mengawasi nyonya mudanya sembari berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.

Walau sudah menangis sampai kehabisan tenaga Gendis namun belum bisa mengobati luka dihatinya, ditambah lagi kenangan masa lalu kembali terusik tentang apa yang terjadi diantara dia dan Aditya.

Malam itu tepatnya tujuh tahun yang lalu dimana Aditya melanggar janji yang sebelumnya mereka sepakati bersama. Malam yang di anggap Gendis sebagai malam petaka.

Masih jelas di ingatannya saat Aditya menyentuh tubuh mungilnya yang indah, sekuat apapun Gendis mencoba melawan dan menepis sentuhan itu namun Aditya lebih kuat dalam mendekap istrinya.

Beberapakali Gendis menampar wajah suaminya untuk menyadarkan Aditya namun, usahanya itu tidak berhasil. Aditya seperti orang yang sudah kerasukan setan, tatapan matanya yang tajam seolah ingin menelan wanita yang ada dihadapanya.

Setiap cumbuan yang diberikan Aditya kepadanya terasa seperti pisau yang menyayat tubuhnya, setelah lelah bergelut berusaha melepaskan diri namun tetap saja tidak berhasil, dia hanya bisa pasrah terhadap apa yang terjadi.

Namun, hatinya terus menerus mengutuk pria yang ada di hadapannya itu. Dan pada malam itu Aditya dan Gendis bersatu untuk pertama kalinya setelah dua tahun usia pernikahan mereka.

***

Begitu kesal dan marahnya Gendis mengingat kejadian malam itu, hingga dia tak menyadari sang fajar sudah menyapanya dengan hangat namun, iya belum juga beranjak dari tempat duduknya.

"Non…, Non…," terdengar suara Mbok Mi memenggilnya dari balik pintu kamar memecah keheningan yang semalaman dilaluinya.

"Makan paginya sudah sudah siap, Nyonya mau makan di kamar?" ucap Mbok Mi.

"Tidak mbok…, saya akan turun sebentar lagi, terimaksih ya mbok," sahut Gendis.

"Baik Non," ucap mbok mi sembari melangkah kecil kembali kedapur untuk melanjutkan pekerjaannya.

Pagi yang cerah tidak mampu merubah hati Gendis menjadi secerah mentari. Dia pun meraih ponselnya dan menelpon sahabatnya sebagai tempat curahan isi hatinya.

"Hallo,..Ayesha apa kamu ada waktu hari ini?, Aku ingin bertemu dan berbincang denganmu!" ucap Gendis.

"sepertinya hari ini aku punya banyak waktu untukmu sahabatku," jawab Ayesha sambil sedikit menggoda Gendis.

"baiklah sebentar lagi aku akan menemuimu, bye," Gendispun memutuskan panggilan telponnya setelah Ayesha menyelesaikan ucapannya.

Dia berjalan kecil menuju ruang makan tidak sengaja melihat mbok mi memandangnya dengan cara tak biasa, itu membuatnya sedikit bingung.

"mbok kenapa?" Tanya Gendis sembari menghampiri mbok mi yang sedang mengerjakan pekerjaannya, "mbok mi sakit?" Tanya Gendis kembali.

Namun mbok mi hanya menggelengkan kepalanya sambil menahan tangis, bagaimana tidak hancur hatinya melihat nyonya mudanya bersikap seoalah semuanya baik-baik saja, sementara dia mengetahui apa yang terjadi semalam.

"kalau mbok mi sakit istirahat saja, pekerjaan rumah bisa dikerjakan nnti kalau mbok mi sudah merasa lebih baikan, sehat itu lebih penting loh mbok," Gendis menyelesaikan ucpannya sambil memegang tangan mbok mi untuk memastikan kondisi simbok yang sudah seperti keluarganya sendiri.

"saya sehat Non…," sahut mbok mi

"simbok ke dapur dulu Non,"ucap Mbok mi melepaskan dengan lembut pegangan tangan Gendis sambil beranjak menuju dapur.

Gendis tidak mengetahui bahwa Mbok Mi mendengar suara tangisannya tadi malam, sehingga dia bingug dengan sikap simbok pagi ini.

Terdengar suara telepon rumah berdering, dengan sigap simbok berlari kecil untuk mengangkat telepon itu, dia tidak ingin Gendis yang sedang menikmati sarapannya terusik dengan suara telepon.

"Hallo…" ucap simbok setelah meraih gagang telepon,

"Hallo mbok ini ibu, nyonya ada dirumah atau tidak? Karena dari tadi saya telepon ke ponselnya tapi tidak ada jawaban," sahut Bhanuwati.

"Nyonya sedang menikmati makan paginya bu, mungkin ponselnya tertinggal dikamar, sebentar saya panggilkan nyonya muda bu," jawab simbok,

"tidak mbok biarkan saja Gendis menikmati makan paginya, tolong sampaikan saja saya menelpon ya mbok, saya tutup telponnya ya mbok assalamu'alaikum," ucap Bhanuwati.

Mbok Mi meletakkan telopannya kembali setelah menjawab salam, serta bergegas menyampaikan pesan Bhanuwati kepada nyonya mudanya.