Gendis berusaha menenangkan hatinya setelah dia membaca surat peninggalan Aditya, dia-pun melajukan mobil Mercy bewarna putih dengan kecepatan 120 km/jam.
Mobil mewah bewarna putih itu melaju dengan sangat kencang menuju kediaman orang tua Aditya, pikiranya sudah penuh dengan pertanyaan yang akan ditujukannya kepada ibu Whidyastuti.
Sesampainya dirumah megah bak istana itu, dia langsung mencari ibu mertua yang memang sudah menjadi tujuannya sejak awal.
"Ma…, ma…," terdengar suaranya berteriak mencari ibu mertua,
"Ma…, Ma…," teriaknya lagi.
"Iya sayang," sahutnya dengan sangat terkejut, karena tidak biasanya menantu kesayangannya itu memanggilnya dengan suara yang lantang.
"apa yang sedang terjadi?, duduk dan minum dulu agar kamu bisa lebih tenang" lanjutnya sembari merangkul untuk menenangkannya.
Gendis yang penuh emosi duduk di sofa berwarna golden classic berbahan dasar kayu jepara, dengan ukiran classic serta busa yang sangat empuk menambah kemewahan ruang tamu dirumah yang megah itu.
"Ma, apa sebenarnya yang kalian rencanakan pada malam perayaan anniversary saya dan mas Aditya tujuh tahun yang lalu?" ucap Gendis dengan suara berat menahan emosi yang seperti gunung merapi namun, berusaha untuk tetap merasa tenang.
Whidyastuti mengerutkan keningnya mencoba mengerti maksud perkataan menantunya,
"apa yang kamu maksud sayang," ucapnya sembari membelai rambut menantu yang sudah seperti putrinya sendiri, emosi yang sangat ketara terpancar dari sorot mata Gendis dan itu membuatnya semakin bingung.
"Mama…, kamu datang ingin menjemputku?" ucap Nehan yang melihatnya sembari berlari kecil menghampiri dan langsung memeluknya.
"Mengapa kamu tidak memberi kabar dulu jika ingin datang menjemput kami." Ucap Bhanuwati kepada putrinya.
"Ma, tolong jawab pertanyaanku!" ucap Gendis tegas kepada Whidyastuti tanpa menghiraukan ucapan Bhanuwati.
Mendengar ucapan Gendis serta emosi yang begitu ketara terpancar dari sorot matanya Bhanuwati-pun merasa sangat bingung dan terkejut.
"Malam itu divilla, tepat tujuh tahun yang lalu apa yang mama rencanakan sebenarnya?" ucap Gendis mengulang pertanyaannya.
Kedua ibu itu saling bertatap seolah sedang mencoba mengingat kembali memory yang terjadi pada saat itu,
"Tujuh tahun lalu, divilla…," ucap Bhanuwati
"Bukannya itu malam perayaan anniversarymu?" lanjutnya.
"Ya! Dan sebulan setelahnya aku hamil Nehan,"
Mendengar perkataan Gendis kedua ibu ini langsung mengerti apa yang dari tadi dimaksud olehnya.
"Mbok…," ucap Whidyastuti memanggil salah satu asisten rumah tangganya,
"Tolong bawa Nehan ke halaman belakang dan temani dia bermain sebentar," lanjutnya setelah melihat si-mbok dating menghampiri.
"Baik Nya…," jawabnya sembari meraih tangan mungil Nehan dan berjalan pergi.
"Mama mengerti apa yang ingin kau ketahui," ucap Whidyastuti,
"Namun yang perlu kau ketahui, itu adalah keinginanku juga," ucap Bhanuwati memperkuat ucapan besannya.
Mendengar ucapan itu Gendis menjadi lemas dan seperti tak berdaya.
"Tapi, kenapa kalian tidak meminta pendapatku dulu sebelum memutuskannya!"
"Maafkan kami, sebagai orang tua kami menyadari bahwa hubungan kalian tidak sedang baik-baik saja," ucap Whidyastuti dengan suara lirih menahan tangis,
Dengan sigap Bhanuwati menggenggam tangannya sebagai isyarat menguatkannya.
Sontak saja Gendis yang tadinya lemas merasa bertenaga, dan dia menatap lesu kearah Bhanuwati dan Whidyastuti.
"Kami sadar perjodohan ini tidak membuat kalian bahagia, sehingga kami memikirkan rencana itu," Ucap Bhanuwati,
"Kami kira dengan kehadiran seorang anak akan mampu mencairkan gunung es yang ada di antara kalian," lanjut Bhanuwati menyelesaikan ucapannya.
"Ya Tuhan…, ternyata mereka selama ini mengetahui apa yang sebernya terjadi padaku dan mas Aditya, situasi yang selama ini berusaha kami sembunyikan," batinnya.
Sembari menatap kedua ibunya dengan bola mata yang berkaca-kaca, dia menghampiri dan duduk berlutut dihadapan keduanya.
Dia merasa sangat bersalah kepada mereka, dipikirnya selama ini dia sudah membuat ibunya bahagia dengan pernikahannya.
Dia tidak mengira usahanya dan Aditya untuk mengelabui mereka selama ini sia-sia.
"Lalu…, kenapa kalian tidak pernah bertanya kepadaku ataupun mas Aditya?"
"Kami menyadari, bahwa itu semua adalah kesalahan kami, terutama aku! Sehingga aku tidak memiliki keberanian untuk menanyakan nya" Ucap Bhanuwati dengan matanya berkaca-kaca dan suaranya terdengar lihir.
"Maafkan aku anakku, karena keegoisanku kau harus terpaksa menikahi laki-laki yang sama sekali tidak kau kenal," lanjut Bhanuwati sembari memegang erat jemari putrinya yang berada dihadapannya,
"Begitu juga denganku," sahut Whidyastuti dengan wajahnya yang sudah dibasahi oleh air yang keluar dari bola matanya.
Gendis kehabisan kata-kata mendengar pengakuan kedua ibunya. Dia memeluk keduanya yang tengah berurai air mata karena penyesalan. Seolah dia memafkan dan mengikhlaskan yang telah terjadi.
"Ma…, Maaf jika tadi aku berbicara sedikit kasar, itu semua karena aku merasa sedikit emosi setelah membaca surat yang ditinggalkan oleh mas Aditya untukku." Ucap Gendis setelah melepaskan pelukannya,
"Kau mau pergi kemana?" Ucap Bhanuwati melihat Gendis berdiri dan meraih tas tangannya yang sedari tadi terletak di meja tamu.
"Aku ingin ke suatu tempat untuk menyelesaikan amarahku," sahut Gendis sembari berjalan pergi tanpa berpamitan kepada Nehan.
***
"Mas…, ternyata kita salah selama ini! Kita berfikir bahwa orang tuamu dan ibuku bahagia melihat kita yang pura-pura bahagia dihadapan mereka," ucap Gendis yang berada di atas pusara suaminya.
"Sungguh aku merasa malu kepada orang tua kita, ternyata mereka lebih hebat untuk berpura pura tidak mengetahui atas apa yang sedang terjadi…,"
Dengan menghela nafas panjang seolah dia membuang semua amarah dan kekesalannya selama ini. Dia merasa harus menyelesaikan semuanya disini.
"Baiklah…, Sekarang aku akan mencoba berdamai dengan keadaan,"
"Jika saat ini kau dapat mendengarku, aku mohon maafkanlah semua sikap kasarku kepadamu selama ini,"
"Aku akan menuruti keinginan terakhirmu, aku akan mencoba untuk membuka diri dan mencoba menerima semua keadaan yang telah terjadi, dan aku juga akan berdamai dengan hatiku"
"Dan saat ini harapanku adalah, membesarkan Nehan anak kita dengan baik,"
"Aku berjanji akan merawatnya dengan penuh kasih sayang sehingga dia tidak akan merasakan kekurangan, dan tugasmu adalah melihatnya tumbuh besar dari langit."
"Aku juga berharap, kelak Nehan akan menjadi laki-laki yang baik sepertimu, tumbuh menjadi pria yang bertanggung jawab serta penyayang."
Gendis menangis tanpa henti diatas pusara Aditya, namun kali ini hatinya merasa lebih lega seperti gelas yang kosong.
Dia meras lebih tenang setelah mengungkakan semuanya. Sekarang tidak ada dendam, amarah maupun kekesalan dihatinya.
Dia beranjak pergi meninggalkan pusara Aditya, berjalan santai dan langkah yang sangat ringan, tidak seperti saat dia dating dengan langkah penuh beban.
Seperti anak kecil yang mendapatkan keinginannya, walau telah lelah menangis namun dia merasa ada sedikit kebahagiaan setelahnya, dia seperti mendapatkan apa yang selama ini di inginkannya.
"Mungkin seharusnya dari dulu aku megucapkan semuanya padamu, semoga setelah ini akan menjadi awal yang baru untukku memulai langkah menyongsong masa depanku dan Nehan" Batin Gendis.