Keputusan keluarga sudah mutlak, seminggu kemudian Danique terpaksa menyuruh Rachel untuk mengurus surat pernikahan. Danique tak mau repot melakukan apapun, Ia hanya mau menerima hasil beres.
"Kita harus ke Rumah Sakit untuk periksa kesehatan," Rachel menyodorkan berkas yang belum lengkap.
"Mengapa harus ke Rumah Sakit segala? Tinggal minta suratnya saja apa susahnya?" gerutu Danique.
"Kalau begitu suruh pengacaramu mendapatkan suratnya," Rachel menyahut dengan kesal.
Ia sudah bolak balik ke kantor pemerintahan dan di sana masih harus melengkapi surat dari Rumah Sakit, sementara Danique hanya duduk manis menunggu hasil jadi. Lelaki itu tidak punya niat sama sekali, semua urusan dilimpahkan kepadanya. Danique sangat terpaksa menerima tuntutan keluarganya untuk menikahi gadis itu.
Betapa bahagianya Rachel ketika mendengar jawaban 'ya' dari Danique, tetapi ternyata inilah hasilnya, semua keperluan dilimpahkan kepadanya. Rachel duduk menyandarkan punggung sejenak untuk sedikit mengurangi rasa lelahnya. Setiap Ia merasa lelah mengurus keperluan pernikahan, Ia selalu mengingat momen bahagia itu meskipun hanya berlangsung beberapa detik saja.
Malam itu adalah malam di mana Danique melamarnya setelah Rachel memperkenalkan diri di depan keluarga inti Danique. Kedua orangtua Danique hanya mengangguk-angguk memaklumi saat mendengar pengakuan bahwa Rachel hanyalah anak sebatang kara yang besar di panti asuhan. Kakak-kakak dan adik Danique saling berpandangan tidak yakin akan memiliki ipar seperti itu, namun keputusan ada di tangan kedua orangtuanya.
"Apa Kau menerima Rachel dengan segala kondisi yang ada padanya, Danique?" tanya kakak perempuannya.
"Ya," jawab Danique dengan malas. Jawaban itu sudah disetir oleh ibunya.
"Wah, keren," gumam adiknya.
"Kalau begitu lamarlah Ia," kini ibunya yang bersuara.
Danique bangkit dari duduknya, melangkah sekitar satu setengah meter ke depan Rachel dan menekuk satu lututnya.
"Rachel, maukah Kau menikah denganku?" sembari membuka kotak kecil berisi cincin, Danique mengucapkan pertanyaan sakral itu.
"Ya, aku mau," Rachel menjawab dengan lugas dan sungguh-sungguh.
Malam itu, Danique telah melamarnya di depan keluarga inti lelaki itu. Hanya acara yang sangat sederhana yang tidak dihadiri oleh siapapun, namun bagi Rachel momen itu adalah momen yang sangat mengesankan.
Buumm
Bunyi debum pintu ruangan Danique membangunkan Rachel dari lamunannya. Lelaki itu menatapnya penuh selidik.
"Bagaimana? Kau sudah menghubungi pengacaraku?" tanya lelaki itu.
"Oh, tunggu sebentar," ujar Rachel.
"Ck, sejak tadi apa yang Kau lakukan," lelaki itu pun masuk kembali setelah mendecak dan menggerutu.
Rachel pun mulai menelpon seperti yang Danique inginkan, Ia sudah biasa menghubungi orang-orang penting untuk urusan pekerjaan, namun kini keperluannya sangat berbeda.
"Surat kesehatan dari Rumah Sakit untuk keperluan apa?" tanya lelaki ahli hukum itu ketika Rachel mengutarakan maksudnya.
"Sebagai syarat administrasi pernikahan, Sir," jawab Rachel singkat.
"Oh, ya ya ya. Pak Danique mau menikah rupanya. Saya kira kemarin baru saja cekcok dengan calon tunangannya. Ekhm, kalau begitu tolong email-kan saja nama terang kedua calon pengantin."
Pengacara Danique malah mengajak mengobrol panjang lebar. Dengan cekatan Rachel pun mengirimkan lampiran email kartu identitas Danique dan dirinya ke pengacara itu.
Tak lama kemudian suara lelaki itu muncul kembali, "Ini, kok malah kartu identitas Anda yang saya terima, Miss Juvenil?"
Rachel yakin lelaki itu mengatakannya sembari mengerutkan dahi.
"Iya, yang akan menikah dengan Pak Danique adalah saya, Sir," jawab Rachel singkat.
Rachel sudah menduga bahwa semua orang akan terkejut ketika mengetahui bahwa dirinya-lah yang akan menikah dengan lelaki itu. Perempuan yang tak lain adalah asisten pribadi yang diperlakukan oleh Danique bak wanita nakal di depan umum, namun dihina dan dicampakkan ketika mereka hanya berdua.
Meskipun sudah terhitung sebagai tunangan dan calon pengantin, Rachel masih dipekerjakan seperti biasa sebagai asisten pribadi. Gadis itu tetap mendampingi Danique pulang dan menyiapkan keperluan malamnya dan juga menyiapkan daftar pekerjaan yang bisa dikerjakan di luar kantor. Dalam kata lain, sekarang pekerjaan Rachel bertambah menjadi berlipat-lipat karena harus mengurus keperluan pernikahan mereka berdua juga.
"Tim wardrobe menghubungiku besok pagi kita harus fitting baju," Rachel memberitahu Danique.
"Halah, mengapa harus fitting baju segala? Kirimkan saja ukuran tinggi dan dan berat badanku," Danique melemparkan tanggapan yang lagi-lagi membuat Rachel menelan ludah.
Tujuan Tim Wardrobe untuk fitting baju adalah supaya tidak ada hal yang kurang di saat hari yang sakral nanti, apalagi rencana pernikahan mereka termasuk mendadak. Namun Danique sama sekali tidak bisa diajak kerjasama, Ia hanya mau terima beres. Rachel pun terpaksa hanya mengirimkan ukuran baju Danique kepada tim wardrobe, ketika ditanya tipe kulit Danique, Rachel menunjukkan foto-foto Danique sehingga mereka bisa mengira-ngira warna baju yang cocok untuknya.
Siang itu di sela-sela istirahat jam kerjanya, Rachel berangkat sendiri ke tempat fitting baju. Idealnya sepasang calon pengantin datang bersama, fitting baju bersama, bahkan foto-foto untuk dijadikan kenangan. Namun tidak dengan sepasang calon itu. Calon pengantin wanita datang seorang diri dan selfie-selfie sendiri, memilah-milah gaun yang paling pas di tubuhnya, dan sesekali menjawab ketika ditanya mengapa calon pengantin pria tidak datang.
Handphone-nya berdering. Danique menelpon.
"Hallo..."
"Di mana Kau? Kau bilang sebentar lagi rapat peluncuran produk. Mengapa bahan presentasiku masih acak-acakan?" omelan langsung datang beruntun.
"Aku masih di tempat fitting baju, Dan. Sebentar lagi aku kembali," jawab Rachel.
"Cepatlah, hanya masalah baju. Masih banyak urusan lain yang lebih penting," suara Danique terdengar meninggi.
"Baiklah, sekarang aku pulang," putus Rachel.
Dengan motor matic-nya, Rachel meluncur dengan kecepatan tinggi menuju perusahaan Van Berend. Draft presentasi yang Ia siapkan untuk peluncuran produk memang masih belum sempurna tetapi seharusnya Danique bisa memperbaikinya sendiri karena bukan perkara sulit untuk mengerjakan hal itu. Namun Danique tetaplah Danique, manusia yang kian lama kian hobi memakan hati orang.
Sesampainya di kantor, Rachel menebalkan daun telinganya supaya semprotan panas Danique tidak membuatnya naik darah juga. Masih ada satu jam sebelum rapat yang seharusnya bisa Danique manfaatkan untuk memperbaikinya sendiri. Rachel pun hanya membutuhkan waktu sepuluh menit lalu menyerahkan kembali presentasi yang sudah siap tayang ke Danique.
"Harusnya Kau tahu bahwa pekerjaan kantor lebih penting daripada baju pengantin sialan itu," ujar Danique.
"Semuanya sama-sama penting, aku bahkan pergi ke tempat fitting saat jam istirahat, kurasa itu tidak mengganggu pekerjaan utamaku," sanggah Rachel.
"Ck, sekarang yang ada di otakmu cuma menikah menikah menikah," decih lelaki itu.
Rachel terdiam. Bagaimana Ia tidak selalu memikirkan itu? Mereka adalah jodoh karena Dewi Bulan telah menakdirkan perjodohan mereka. Kedua orangtua bahkan kakek Danique pun menghendaki mereka untuk menikah karena hubungan lawan jenis resmi yang ada di negara tersebut adalah dengan pernikahan. Danique telah menerima keputusan kedua orangtuanya. Seharusnya Rachel bahagia.
"Mengapa Kau bersikap seolah ini adalah kepentinganku saja, Dan," lirih Rachel, suaranya tertekan.
"Bukankah memang begitu," dengan ketus ucapan itu keluar dari bibir Danique.
"Kau telah setuju untuk menikah denganku. Keluargamu pun memintaku untuk menikahimu, mereka memohon padaku untuk bersabar dan aku sudah melakukannya. Tetapi mengapa Kau tidak berubah juga, Dan?" Danique tetap memperlakukan Rachel seolah Ia hanyalah budak yang hasil kerjanya tidak becus.
"Kau pikir aku benar-benar sudi menikahimu? Aku terpaksa menikahimu supaya nama Van Berend tetap ada di belakangku!"
Seketika air mata Rachel tumpah. Ia tidak menyangka jawaban itulah yang keluar dari mulut Danique. Mereka saling berpandangan, netra tajam Danique menghujam maniknya yang sudah berair.
***