Samuel membantu Rachel memboyong barang-barangnya ke mansion Danique. Mulai hari itu Rachel harus tinggal bersama Danique. Banyak kenangan yang terpaksa Ia tinggalkan di apartemennya, juga banyak hal yang harus Ia hadapi ke depannya. Rachel tidak tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya bersama pasangannya nanti. Mereka tak ada yang membuka percakapan selama di perjalanan.
"Mrs. Van Berend," sapaan para maid terasa asing di telinga Rachel.
Tidak terasa dirinya kini telah menjadi Mrs. Van Berend. Rachel hanya mengangguk dan tersenyum saat orang-orang di mansion Danique terpana melihat rambut emasnya. Ia membantu para maid yang sibuk menata barang-barangnya. Situasi ini masih sangat asing bagi Rachel, Ia tidak biasa dikelilingi oleh orang-orang yang membantunya. Tetapi kini, para maid itu tidak henti-hentinya menanyakan apa yang Ia butuhkan dan apa yang perlu dibantu.
Rachel selesai menata barang-barangnya dengan sangat cepat berkat bantuan para maid, Ia pun ingin sekali merebahkan badannya. Dengan langkah santai dan bersenandung kecil Ia pun menuju kamar Danique.
"Danique," pekik Rachel berlari ke arah lelaki yang terbujur menggigil di ranjangnya.
Danique menggigil hebat, wajahnya pucat dan berkeringat, tangan dan kakinya dingin. Rachel berlari ke luar kamar memanggil para maid karena Ia tidak tahu apa yang terjadi gerangan. Ia tidak pernah melihat Danique seperti ini. Maid yang nampaknya sudah berumur langsung menuju meja kerja Danique dan meraih kotak kecil. Maid yang lain menenangkan Rachel.
Botol kecil itu hanya disodorkan ke depan hidung Danique dan lelaki itu pun menghisapnya perlahan. Rachel mengerti bahwa itu adalah obat penenang, Ia pun merangkul Danique saat gigilannya perlahan reda.
"Kau akan baik-baik saja bersamaku, Danique," ucap Rachel dengan nada tenang meskipun banyak pertanyaan masih berkecamuk di dalam benaknya.
Danique tak bicara sama sekali, Ia seperti orang yang kehilangan semangat juga tenaga. Lelaki itu kembali mengatupkan bibir dengan pandangan kosong setelah minum. Rachel terus memeluknya dan berusaha menularkan ketenangannya. Danique yang ada di pelukannya saat ini nampak sekali seperti orang yang kesakitan, putus asa, dan sangat hampa.
Lelaki yang biasanya memamerkan kehebatan dan bersikap menyebalkan, akhirnya kini tergolek tidak berdaya di pelukannya.
Setelah hampir satu jam Rachel memeluknya, akhirnya Danique pun tertidur. Rachel memperbaiki posisi tidur lelaki itu dan menyelimutinya supaya nyaman. Kemudian Ia pun bergegas ke tempat para maid sedang berkumpul.
"Mrs. Van Berend, apa yang Anda butuhkan?" maid yang pertama kali melihatnya memasuki pintu dapur pun langsung menawarkan bantuan.
"Ah, panggil aku Rachel saja. Nama Anda siapa, Nona?" ujar Rachel.
"Saya Eimira, Nona Rachel," maid itu membungkuk sopan.
Maid lain yang baru menyadari kedatangan Rachel pun membetulkan posisi masing-masing dengan terburu-buru.
"Nona Eimira. Saya ingin bertanya tentang Pak Danique," ucap Rachel.
Gadis muda itu tidak langsung menjawab, Ia menoleh ke ketua maid, "Mohon maaf saya baru disini, Nona. Saya belum terlalu mengenal Pak Danique."
Mendengarnya, Rachel memilih untuk menuju ke ketua maid yang sedang sibuk dengan buku note-nya.
"Oh, Mrs. Van Berend," sapa perempuan paruh baya itu.
"Panggil aku Rachel saja. Barusan Pak Danique sakit apa, Nona?" Rachel langsung menuju topik.
"Maaf, saya tidak tahu persisnya. Kami hanya diberitahu oleh ibunya Pak Danique untuk memberinya obat penenang setiap kali Pak Danique menggigil," jawab perempuan itu panjang lebar.
Rachel pun mengucapkan terima kasih dan mengangguk meskipun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ia berlalu dari area dapur, meninggalkan mereka yang sedang sibuk menyiapkan makan malam dan menata sayuran supaya awet di kulkas.
Tanpa pikir panjang Rachel langsung menggeledah isi kamar Danique mencari berkas medis yang mungkin berkaitan dengan kejadian pagi ini. Banyak sekali berkas sehingga Ia harus bergerak secepat kilat supaya menemukannya sebelum lelaki itu terbangun. Rachel terpaksa menyorotkan manik tajamnya yang bisa mencari benda dengan sangat luar biasa. Tidak lupa Ia mengunci pintu kamar untuk menghindari maid masuk.
"Ini?" gumamnya saat mata dan tangannya akhirnya menemukan barang yang Ia cari.
Berkas itu berisi catatan yang sangat banyak. Rachel hanya membaca informasi umumnya saja.
Danique menderita gangguan kecemasan yang parah. Rachel menghela napas dengan dada sesak mengetahui fakta lagi dari lelaki itu.
Lelaki itu menderita gangguan kecemasan. Apa sebenarnya yang Ia cemaskan? Hidup Danique sudah sangat sempurna, seharusnya lelaki itu tidak menderita gangguan apapun. Ia pun memfoto berkas vonis dokter itu dengan handphone-nya lalu mengembalikannya ke tempatnya.
"Nona, saya akan keluar sebentar. Jika Pak Danique bangun, tolong beritahukan beliau bahwa saya sedang pergi ke toko pakaian," ujar Rachel.
"Baik, Nona."
Beres, Rachel pun meluncur dengan lancar dengan motor matic-nya menuju alamat Rumah Sakit yang tertera di berkas itu. Dengan segepok uang, Ia bisa langsung bertemu dengan dokter yang bersangkutan. Rachel menjelaskan dengan tenang bahwa Ia adalah istri Danique, baru saja lelaki itu menggigil di mansionnya dan sudah berhasil ditangani sementara dengan obat penenang.
"Kira-kira apa yang menjadi trigger Pak Danique sampai menderita gangguan itu?" tanya Rachel.
"Banyak sekali. Jika kami rangkum, hal yang paling dominan yaitu Pak Danique merasa bahwa tidak ada yang mencintainya," papar dokter yang nampaknya sudah sangat profesional.
'Tidak ada yang mencintainya?' batin Danique. Dalam hati Ia sangat tidak percaya bahwa Danique sebegitunya haus akan validasi. Jelas-jelas semua orang memujinya.
"Saya kira Ia sering gonta-ganti kekasih sebelum menikah dengan saya," Rachel memancing dokter jiwa itu.
"Ya, memang. Saya juga tahu. Tapi menurut Pak Danique, tidak ada seorang pun di antara mereka yang tulus. Tidak hanya persoalan kekasih, Pak Danique juga merasa tidak disayangi oleh keluarganya," tanggap dokter itu.
"Beliau berpikir bahwa orang-orang di sekitarnya hanya sudi melihatnya ketika sukses saja demi bantuan," lanjutnya.
Rachel mengangguk-angguk mendengar pemaparan dokter jiwa itu yang panjang lebar.
"Apa hanya obat yang bisa menangani suami saya?" tanya Rachel panik.
"Tentu saja tidak. Pak Danique juga sudah beberapa kali mengikuti terapi di sini. Namun keadaannya malah semakin parah semenjak dikhianati terang-terangan oleh kekasihnya sekaligus calon tunangannya," dokter menjelaskan sejelas-jelasnya.
Rachel muak mendengarnya tetapi Ia berusaha menahannya.
Menyakitkan. Rachel juga membenci wanita yang sekarang sudah minggat itu.
Setelah selesai mengunjungi psikiater Danique, Rachel tidak lupa mampir ke toko baju. Ia harus membawa pulang baju supaya tidak nampak berbohong.
Awalnya hanya demi membeli sehelai dua helai saja, tetapi jiwa kolektornya berteriak saat melihat pakaian di mall begitu cocok dengan seleranya. Rachel terus berbelanja hingga tidak terasa menghabiskan waktu banyak sekali sampai barang belanjaannya sampai dua kantong.
"Dari mana, Kau?" Danique memasang wajah dingin sesampainya Ia di rumah.
"Dari luar, habis belanja," Rachel menunjukkan dua kantong besar berisi pakaian dan makanan. Ini adalah kebiasaannya sejak dulu bahwa setiap pulang dari manapun sebaiknya membawakan kabar bahagia dan jajan.
"Apakah aku mengizinkanmu pergi-pergi?" Danique menatap dengan netra memperingatkan.
Rachel menggeleng, seharusnya Ia bebas akan melakukan apa saja. Tetapi kini status dirinya sudah berbeda. Ia harus bertanggung jawab pada Danique.
"Tidak, tapi..."
"Masuk kamar," potong Danique dengan dingin.
***