President suit room hotel bintang lima yang mereka sewa telah disiapkan sedemikian rupa untuk pasangan pengantin yang baru saja meninggalkan ruangan pesta. Wangi bunga yang sangat segar menyeruak, ranjang dan bak mandi telah ditaburi mawar merah dengan pencahayaan yang lembut.
Alunan musik pesta pun seketika senyap saat pintu kamar ditutup dari dalam. Rachel terkesiap saat tiba-tiba Danique menepiskan pegangan tangannya. Mereka hanya berdua dan kini tak perlu lagi memasang wajah ceria di depan para tamu.
Danique melepas dasi dan melemparkannya kasar ke sembarang arah.
"Danique, tuduhan itu tidak benar," Rachel tergopoh-gopoh di belakangnya.
"Bagaimana caranya aku mempercayaimu?" desis Danique menatap wajah Rachel dengan tajam. Lelaki itu telah terpancing oleh ucapan-ucapan teman-temannya.
"Aku bersumpah tidak ada lelaki satu pun yang pernah menyentuhku," ucap Rachel.
"Aku tidak butuh sumpahmu, buktinya mereka mengatakan begitu," Danique tidak peduli.
"Mereka tidak mengenalku dan aku tidak mengenal mereka. Bagaimana bisa mereka menuduhku seperti itu?" Rachel membalik pertanyaan.
Danique terdiam sesaat, Ia menatap Rachel dengan kedua tangan tertahan di dalam saku celananya. Langkahnya perlahan mendekat ke gadis itu.
"Tidak ada satu wanita cantik pun di kota ini yang lolos dari mata lelaki-lelaki itu. Teman-temanku selalu tahu jika ada wanita cantik, dan mereka sudah dipastikan bisa mendapatkannya," Danique mengatakan itu dengan suara ditekan.
"Ap... apa maksudmu?" mengapa Danique tiba-tiba membahas soal wanita cantik?
"Tidak usah berpura-pura, mereka bilang Kau cantik. Siapa di antara mereka yang sudah menidurimu?" Danique semakin menggeram karena Rachel memasang wajah polos.
"Tidak ada, aku tidak pernah tidur dengan siapapun kecuali dengan dirimu, di... di hotel waktu itu," jelas Rachel. Mendengarnya, Danique mengerutkan dahi.
Rachel menghela napas, Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan bahwa tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menyentuhnya. Apa yang dikatakan Danique tentang tidur, sudah pasti lelaki itu merujuk pada kegiatan berhubungan badan.
"Tidak usah berlagak polos!" geram Danique.
"Memang itu kenyataannya," sahut Rachel.
"Mengapa teman-temanku bisa berkata seperti itu?"
"Hanya karena Kau tidak beruntung menjalin hubungan dengan para mantanmu, jangan anggap aku murahan seperti mereka!"
PLAK
Telapak tangan yang lebar itu telah meninggalkan bekas menyengat di pipi kiri Rachel. Ia tidak menyangka Danique akan sekasar itu kepadanya, padahal beberapa menit yang lalu lelaki itu baru saja bersumpah tidak akan menyakitinya.
"Danique," lirih Rachel.
"Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu," tanggap Danique.
"Mengapa Kau tega melakukan ini? Apa salahku?" Rachel tidak bisa menahan air matanya, malam pertama menjadi pengantin baru, lelaki yang menjadi pasangannya sudah bermain tangan dengannya.
"Kau sudah hidup ratusan tahun, bagaimana bisa aku mempercayaimu bahwa tidak ada satupun lelaki yang menyentuhmu?"
Jadi itu yang Danique khawatirkan? Danique takut dibohongi oleh wanita, itulah sebabnya Ia sudah lebih dahulu tidak mempercayai Rachel.
"Aku berani bersumpah," Rachel memberanikan diri menatap Danique dengan tajam.
"Sumpah-sumpah, itu terus yang Kau ucapkan," ucapan Rachel hanya mendapat decihan dari Danique.
"Mari kita bertaruh, kalau aku memang benar, kita akan segera dipisahkan dan Kau akan menyesal," Rachel merapalkan sumpah itu dengan bibir bergetar.
"Kalau Kau terbukti tidak berdarah, salahkan dirimu sendiri jika apa yang Kau dapatkan hanyalah penghinaan dariku," desis Danique dengan nada mengancam.
Malam itu air mata Rachel tidak bisa berhenti mengalir. Rintik hujan di luar jendela terdengar sendu, semburat cahaya bulan sama sekali tidak nampak. Di luar sana hanya ada kegelapan dan basah. Ia membaringkan tubuhnya di sofa setelah menghapus riasannya dan menggosok gigi. Danique tidak mungkin sudi tidur bersanding dengannya dan Ia tidak ingin memulai pertengkaran lagi, Ia memilih tidur di sofa.
Ingin sekali rasanya Rachel memiliki hubungan yang baik dengan Danique seperti dulu ketika Ia belum menyadari bahwa lelaki itu adalah reinkarnasi Pangeran Cuon. Rachel tidak memiliki bayangan bagaimana kehidupannya kedepan jika jodoh hidupnya ternyata tidak menginginkan dirinya.
Mungkin semua bisa saja berubah jika Danique membuka hatinya untuknya. Tetapi sampai kapan Ia harus menunggu Danique? Rachel sebenarnya sudah lelah menjalani cinta bertepuk sebelah tangan ini.
Keesokan paginya, keluarga besar Danique masih berkumpul untuk sarapan pagi bersama di hari terakhir mereka menyewa hotel. Danique menarik tangan Rachel kembali ke dalam sebelum pintu kamar benar-benar terbuka.
"Aku hanya akan menganggapmu sebagai istri di depan keluargaku saja, selebihnya jangan berharap lebih padaku," Danique memberikan peringatan.
"Tapi...." tatapan memelas Rachel bertemu dengan netra dingin Danique.
"Sebenarnya Kau tidak pantas bersanding denganku. Ck, merepotkanku saja. Kalau bukan karena ibuku memaksaku...."
"Kita sudah terlanjur menikah. Bagaimanapun, aku adalah istrimu di manapun dan kapanpun," potong Rachel.
Danique menggertakkan giginya.
Tok tok tok
"Danique... Rachel...." suara Mrs. Van Berend samar-samar terdengar dari luar.
Hari itu adalah kedua kalinya Rachel berkumpul bersama keluarga Danique. Kali ini dengan anggota yang lebih banyak karena saudara dan sepupu-sepupu Danique menyempatkan libur kerja demi menghormati pernikahan mereka. Rachel merasa bahagia di tengah hangatnya keluarga besar itu. Ia merasa seperti menemukan keluarga baru yang sudah lama sekali hilang.
"Mom kira kalian belum bangun," gumam Mrs. Van Berend.
"Sudah, Mom," jawab Rachel.
"Nyenyak sekali semalam," Danique merentangkan tangannya sembari melangkah menuju ruang makan yang luas.
"Benarkah? Mom tidak pernah mendengarmu tidur nyenyak, sejak kapan Kau bisa tidur nyenyak? Psikolog itu akhirnya menemukan solusi untukmu?" wajah perempuan beruban itu bahagia mendengar pengakuan anaknya.
"Ck, orang yang mendapat sebutan pakar itu malah menyusahkanku saja," jawab Danique.
Danique divonis menderita gangguan kecemasan saat remaja dan sampai Ia memutuskan untuk berpisah rumah dengan kedua orangtuanya belum juga sembuh. Baru kali ini lelaki itu mengaku bisa tidur dengan nyenyak.
Mendengar percakapan ibu dan anak itu, Rachel juga heran. Berkebalikan dari Mrs. Van Berend, Ia malah tidak pernah mendengar lelaki itu merasa cemas di malam hari. Lelaki itu bahkan seperti kerbau yang harus diseret supaya pergi ke kantor saking pulasnya.
Sorakan dan siulan sontak membahana dari ruang makan yang sudah penuh oleh anak cucu Mr. Van Berend. Mereka berseru memberikan ucapan selamat kepada Danique.
"Bagaimana rasanya semalam? Enak?"
"Kalian menghabiskan berapa ronde?"
Ledekan-ledekan itu terus keluar dari bibir anak-anak sepantaran Danique. Ibu-ibu mereka menegur karena pertanyaan itu tidak sopan dan mengundang keingintahuan anak-anak kecil. Danique dan Rachel hanya tersenyum kalem di depan mereka.
Sarapan pagi itu sangat mengesankan. Rachel banyak mengenal karakter-karakter keluarga Danique seperti malam itu. Pagi ini lebih banyak. Mereka adalah manusia-manusia modern yang isi pikirannya menarik untuk dipelajari.
"Sudah matang rencana bulan madunya?" Bibi Danique mengingatkan.
"Sudah donk, Bibi. Kita sudah siap berangkat 'kan, Sayang?" Danique menoleh dan tersenyum ke Rachel.
"Iya, mungkin Bibi mau nitip sesuatu?" Rachel mengerti Ia harus berlagak seperti gadis kesayangan Danique di depan keluarga lelaki itu.
Di bawah meja, Danique mencolek paha Rachel dan memberikan handphone.
"Ceritakan kalau kita mau liburan ke London," Danique telah mengetikkan pesan.
"Memangnya kalian mau ke mana?"
"Ke... ke kutub selatan," tiba-tiba saja jawaban itulah yang keluar dari bibir Rachel. Sontak seisi ruang makan tertawa mendengarnya.
Danique mendelik mati kutu dengan jawaban konyol Rachel. Ia menggertakkan giginya.
"Rachel...." desisnya di telinga Rachel.
***