"Kau akan terus menangis seperti ini?" celetuk Danique.
Rachel menoleh, betapa tidak punya empatinya lelaki itu. Setelah membuat semua isi apartemen Rachel hancur termasuk benda-benda berharganya, lelaki itu masih bisa bicara demikian.
"Apa maumu?" Rachel menahan diri untuk tidak memaki.
"Aku butuh istirahat," jawab Danique dengan nada seperti tidak punya dosa.
Lelaki itu memang hampir setiap detik membuat Rachel menghela napas supaya otaknya tidak lumpuh. Kelakuannya tidak mencerminkan manusia sama sekali. Lagi-lagi Rachel memejamkan mata menata emosinya, "Pulanglah," ucapnya kemudian.
"Aku tidak ingin pulang, mari kita tidur di hotel saja," dengan bibir yang sangat ringan Danique berkata lagi.
Malam itu, mereka pun akhirnya tidur di hotel setelah Rachel memesan tukang perkakas panggilan untuk sedikit membereskan isi apartemennya. Namun naas, akibat salah ucap Rachel hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Malam ini adalah malam paling sial yang ada di hidupnya, Ia harus satu kamar dengan manusia paling menyebalkan itu.
"Kau tidur di ranjang saja, aku tidak apa-apa tidur di sofa," ujar Rachel.
"Memangnya kenapa? Lagipula aku tidak punya selera kepadamu," ketus lelaki itu.
Bukan karena apa-apa, menurut Rachel tidur satu ranjang dengan lelaki yang bukan siapa-siapanya adalah hal yang sangat tabu. Ia tidak pernah melakukan hal itu seumur hidupnya. Bahkan satu ruangan pun tidak pernah. Ini adalah pertama kalinya dalam hidup Ia tidur satu ruangan dengan laki-laki.
Rachel memesan baju baru untuk pergi ke kantor karena tidak ada baju yang tersisa, meskipun baju-baju di apartemen mungkin masih utuh, tetapi pasti sudah kotor oleh debu pecahan keramik atau plastik bahkan kaca. Mereka berangkat bekerja seperti biasa, dijemput oleh Samuel setelah sarapan pagi dengan menu prasmanan.
Pagi-pagi sekali, Mrs. Van Berend datang ke kantor Danique. Keduanya menghela napas lega terutama lelaki itu.
"Ah, untung sudah di kantor," gumam lelaki itu.
Mrs. Van Berend datang dengan pakaian sangat mencolok namun hampir semua karyawan di gedung pencakar langit itu tidak heran, karena Mrs. Van Berend sudah biasa tampil seperti itu. Ia bahkan pernah masuk majalah sebagai Top Women Up 50 dalam bidang fashion.
"Mom kenapa datang lagi?" Danique merajuk seperti biasa sembari menatap pakaian ibunya dengan malas. Kerlap-kerlip dari pakaiannya menyilaukan saat terkena sinar lampu.
"Ah, Mom akan mengundang Rachel makan malam bersama keluarga kita," jawab Mrs. Van Berend. Sontak mulut Rachel dan resepsionis langsung membentuk huruf o kecil.
"Ia tidak pantas menerima undangan seperti itu," Danique membanting pintu di depan wajah ibunya.
Rachel langsung bisa menduga pasti ada hal yang tidak disukai Danique ketika makan malam berlangsung, apalagi ada dirinya. Biasanya di dalam keluarga bangsawan, makan malam adalah pembukaan rapat pleno keluarga di mana yang muda mendengarkan keputusan tak terbantahkan dari yang tua.
"Semua manusia pantas menerima undangan apapun," sanggah ibunya sembari membuka kembali pintu ruangan Danique.
"Rachel, Kau berkenan datang untuk malam nanti? Kami akan mengirimkan sopir supaya menjemputmu, tulislah alamatmu," perempuan yang rambutnya beruban namun ditata dengan sangat rapi menyodorkan kertas dan pena.
"Sungguh kehormatan bagi saya, Bu. Jika Pak Danique berkenan, saya akan datang," jawab Rachel.
"Halah, anak itu. Jangan tentukan keputusan pribadimu berdasarkan sifat kekanakannya," Mrs. Van Berend melirik anak lelakinya.
Akhirnya Rachel memutuskan untuk datang dan mencatat alamat apartemen-nya untuk perempuan itu. Ia yakin pasti akan sangat menyenangkan. Bukan perkara makanannya yang Ia rindukan, tetapi baginya keluarga adalah sesuatu yang sangat berharga. Sudah hampir seratus tahun Ia tidak memiliki keluarga. Berada di tengah keluarga Danique pasti sedikit mengobati kerinduannya meskipun lelaki itu tidak sudi meliriknya.
Setelah pulang bekerja tanpa mampir ke mansion Danique, Rachel langsung menuju apartemennya membawa gaun malam yang sudah Ia beli siang tadi di toko dekat kantor. Bagian dalam apartemennya sudah bersih, beberapa perkakas sudah diganti. Peti bayi yang sangat berharga itu pun sudah diperbaiki meskipun hasilnya tidak sempurna.
Rachel langsung berganti baju dan merias dirinya. Tepat saat Ia turun, sopir keluarga Van Berend tiba di lobby apartemen.
"Miss Juvenil?" lelaki berkacamata hitam itu bertanya.
"Ya, benar, Sir," sahut Rachel sembari mengangguk sopan.
Mobil mewah itu membawanya ke sebuah mansion yang sedikit lebih besar dari mansion Danique. Rachel memencet bel saat mobil menurunkannya di depan pintu masuk. Pelayan membuka dan membungkuk mempersilahkan masuk. Beberapa pelayan lain membawanya ke sofa di sudut ruangan untuk menunggu keluarga berkumpul. Pelayan yang lain bergegas ke dalam memberitahu tuan rumah bahwa dirinya sudah tiba.
Mrs. Van Berend keluar dengan penampilan sangat anggun.
"Oh, Rachel. Akhirnya Kau datang juga, Nak," Ia memeluk Rachel.
"Iya, Bu. Selamat malam," sapa Rachel.
"Tunggulah sebentar. Ayahnya Danique masih harus menggunakan obat tetes mata dan kaos kaki," ujar perempuan itu.
Tidak berselang lama, anak-anak dan beberapa cucu Mr. Van Berend pun berkumpul. Seorang lelaki yang menggunakan kursi roda pun masuk ke ruang makan, beliau adalah kakek Danique. Meski usianya sudah sangat lanjut, namun lelaki itu memiliki sorot mata yang tajam. Rachel diperkenalkan oleh Ibunya Danique sebagai teman baik Danique sekaligus pacar barunya. Danique yang mendengar itu langsung mendelik tidak terima pada ibunya. Tetapi Ia tidak memiliki daya apapun untuk menyanggah. Di forum ini kedudukan orangtua adalah sangat istimewa dan tidak bisa dibantah.
"Ia calon suami cucuku?" tanya kakeknya Danique.
"Belum, Pa. Baru jadi pacar Danique. Itu yang kemarin hamil 'kan sudah tidak bisa dinikahi Danique lagi. Sekarang yang ini beda lagi," jelas ayah Danique. Lelaki lanjut usia itu mengangguk-angguk.
Ibunya Danique yang duduk di sebelah Rachel berbisik, "Maklum, Kakeknya Danique sudah seratus tahun lebih. Ia sudah pelupa."
Rachel tersenyum, usia lelaki itu juga sepantaran dengannya. Jika Dewa Langit tidak menularkan keistimewaan kepadanya, mungkin tubuh dan wajahnya sudah keriput seperti kakek itu.
"Kau sudah ada rencana menikah dekat-dekat ini, Rachel?" tanya Bibinya Danique.
"Belum Bibi," jawab Rachel singkat karena tidak ingin terlalu mencolok, Danique pasti akan mengamuk lagi jika dirinya menjawab panjang lebar.
"Oh, kebetulan sekali."
"Kebetulan sekali." Sahutan-sahutan riuh itu memenuhi ruangan.
Tanpa memperhatikan dan memperdulikan Danique, orangtua dan bibi-bibinya melamar Rachel untuk lelaki itu. Rachel terdiam, Ia tidak tahu harus menjawab apa. Inilah apa yang ditakdirkan Dewi Bulan, Danique yang tak lain adalah Pangeran Cuon yang terlahir kembali benar-benar jodohnya. Keluarga lelaki itu ingin sekali mengambilnya sebagai menantu dengan berbagai alasan.
Menurut Ibunya Danique, Rachel cocok jadi menantunya karena sangat cantik dan pintar. Menurut salah satu bibinya, Rachel memiliki sikap yang luwes. Menurut Ayah Danique, Rachel cocok dengan anaknya karena terbukti setia.
"Ia anak baik," Kakek Danique menilai hanya dengan tatapan matanya.
"Kakek, aku tidak sudi menikah dengannya. Aku akan mencari pengganti Rhea secepat mungkin tetapi bukan Ia orangnya," seru Danique. Ia berdiri di tengah-tengah acara makan malam.
Semua orang melotot padanya, bukan sekali dua kali lelaki itu bertingkah tidak sopan, Rachel bahkan sudah hapal dengan sifat kekanakannya.
"Danique, duduk!" seru ayahnya sembari menunjuk lelaki itu. Napasnya tersengal-sengal karena malu pada saudara-saudaranya.
"Mengapa Kau menolak dengannya? Ia sangat cocok untukmu. Ia tidak memiliki kekurangan apapun," ujar Bibinya.
Ibunya Danique merangkul Rachel karena Ia tahu gadis itu pasti sangat malu dengan apa yang Danique ucapkan.
"Danique, menikahlah dengannya. Kau pasti akan bahagia. Ia tidak menolakmu, jadi Kau tidak perlu menolaknya," Kakek Danique berkata dengan tegas meski suaranya sudah sangat parau.
***