Darah menggenang di hamparan tanah lembab hutan Ancala Tunggal. Serigala jelmaan Pangeran Cuon tak lagi bernyawa di pangkuan Rachel. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dilakukan setelahnya. Ini kesalahan besar, Ia telah membunuh lelaki yang Ia cari, jodohnya sendiri yang ditunjukkan oleh ibunya.
Rachel bingung bagaimana Ia mengatakan pada ibunya saat kembali nanti, perempuan paruh baya itu pasti sangat kecewa padanya. Bagaimana Ia tidak membunuhnya jika yang ada di hadapannya adalah seekor serigala?
Tiba-tiba bumi yang didudukinya berguncang hebat, suara gemuruh memenuhi angkasa, pepohonan bergoyang-goyang bahkan beberapa ada yang roboh, petir menyambar di sana sini dan hujan lebat pun terjadi. Rachel berlari kesana kemari mencari keselamatan, seketika Ia lupa pada makhluk yang baru saja dipangkunya.
Ia berpikir untuk menuju daratan yang lebih tinggi lagi namun segera mengurungkannya setelah menyaksikan apa yang ada di jauh sana berguguran, puncak Ancala Tunggal longsor sedangkan bumi yang dipijaknya masih saja berguncang. Bencana besar kembali datang.
Dengan tekad yang bulat, Ia pun memanjat pohon karena tidak ada pilihan lagi. Air mulai meninggi dan menghanyutkan segala yang ada di permukaan. Rachel terus mencengkramkan tangannya erat-erat di batang pohon tempatnya berlindung. Ia pasrah pada apa yang terjadi selanjutnya jika pohon yang berayun-ayun itu tumbang.
Tubuh tak bernyawa serigala itu tak lagi nampak entah hanyut ataupun terkubur oleh lumpur.
Waktu demi waktu berlalu dan bencana besar itu perlahan reda. Cahaya matahari mulai menerangi sekitar dan menampakkan pemandangan yang telah berubah total. Pohon-pohon yang tumbang melajur di sana sini tak beraturan, sampah dedaunan bercampur lumpur serta bangkai binatang berserakan, tak ada pemandangan yang lebih buruk daripada hamparan bumi pasca bencana. Rachel memutuskan untuk turun dari pohon dan menapaki tanah berlumpur di bawahnya.
Ia akan pulang meski membawakan kekecewaan untuk ibunya, "Ibu, maafkan aku."
Tak ada perbekalan yang tersisa karena di saat bencana terjadi Ia terlalu sibuk menyelamatkan dirinya. Rachel berjalan langkah demi langkah, menyusuri jalan keluar hutan yang dikira-kiranya sendiri karena Ia pun tidak lagi mengenali sekitar.
Di luar hutan seperti sudah tak ada lagi kehidupan, tak ada manusia ataupun hewan yang berkeliaran, hanya sampah-sampah yang berserakan dan bangkai binatang kecil.
Di perkampungan kaki gunung, hanya ada mayat-mayat yang bergelimpangan di antara puing-puing bangunan yang telah roboh. Entah apa dosa manusia, Tuhan mengirimkan bencana dahsyat yang memusnahkan segenap makhluknya dalam hitungan detik. Rachel tak menemukan seorang manusia pun semenjak turun dari gunung. Kakinya yang kotor dan terluka, Ia biarkan begitu saja dan terus dipaksanya untuk melangkah meski terseok-seok.
Hari demi hari Ia lalui tanpa makanan dan minuman. Ia terus berjalan mengandalkan instingnya. Bangunan tempat Ia menginap kemungkinan besar juga sudah runtuh, namun Ia tetap bersikukuh untuk mencari keberadaan kakaknya. Ia yakin kakaknya tidak pergi saat Ia berangkat. Namun tak ada apapun yang Ia temukan selain reruntuhan dan mayat manusia lain, mayat kakaknya pun Ia tak menemukannya.
Dengan putus asa Rachel melanjutkan perjalanan, bumi seakan rata, tak ada lembah ataupun bukit yang Ia lalui. Lautan lumpur membentang di hadapan matanya. Tak ada sisa dari bencana alam yang terjadi kesekian kalinya. Gempa, banjir, tanah longsor, dan tsunami sangat sering melanda tanah tempatnya hidup. Kini bencana itu kembali datang dan melenyapkan segalanya, melenyapkan kebahagiaannya, keluarga kecil, impian, dan masa kecilnya. Ibu dan kakaknya pun tak pernah ditemukan.
Rachel terus berjalan mencari pertolongan, namun tak ada manusia yang masih hidup yang bisa ditemuinya. Rasa lapar Ia tepiskan dan sesekali diredanya dengan buah mentah dari pohon yang masih berdiri. Ia terus berjalan hingga akhirnya berada di tempat yang kerusakannya tidak terlalu parah. Beberapa manusia di sana hanya kehilangan tempat tinggal. Sesekali Ia mampir ke kerumunan orang-orang berharap bisa mendapatkan sesuap makanan. Hanya itu cara Rachel bertahan hidup.
"Perbanyak kuahnya, perbanyak kuahnya," suara instruksi pimpinan dapur umum di sebuah pengungsian menggema.
Mereka yang rumahnya tak lagi layak huni berkumpul bersama, masih bisa berkumpul dengan keluarganya dan bercengkarama. Kerusakan di daerah yang Rachel singgahi tidak terlalu parah. Rachel pun mendapat jatah makanan meskipun petugas menatapnya bingung karena Ia tak bersama rombongan.
Setelah berhari-hari berjalan lagi, rasanya Ia sudah berada di ujung dunia lain. Ia menemukan kehidupan yang normal meski status dirinya adalah gelandangan. Siang hari Ia ke pasar dan mencari pekerjaan menjadi pesuruh dengan upah yang sangat tidak layak. Ia hanya mendapatkan sepiring makanan dan secangkir minuman setelah sehari penuh bekerja.
Di suatu malam saat tidur di pinggir jalan tidak jauh dari pertokoan, orang-orang berseragam yang nampaknya bekerja untuk sebuah kerajaan menghampirinya. Ia tidak berlari menghindar seperti gelandangan yang lain. Dilihat dari emblem yang ada di seragamnya, lambang itu adalah lambang dari negara tetangga tempat Ia tinggal. Rachel baru sadar Ia sudah berjalan sangat jauh sampai tiba di negara tetangga.
"Kawan-kawan, sepertinya ini bukan orang gila," seru salah satu yang menunggang kuda kepada yang lainnya. Tatapannya mengunci wajah Rachel. Petugas yang lain pun mendekat padanya.
"Hei, Nona kecil. Siapa namamu?" suaranya lantang. Orang yang ada di sebelahnya mencatat.
"Rachel," jawab Rachel dengan rasa penasaran. Ia berdoa supaya orang-orang berseragam itu bukanlah penjahat.
"Marga?"
"Tidak punya."
"Nama orangtua?"
"Tidak tahu."
"Tempat tinggal?"
"Tidak punya."
Petugas itu menggeleng sembari bergumam, "Semakin banyak orangtua yang menelantarkan anaknya di negeri ini."
Tidak berselang lama, mereka menyerahkan kertas kecil untuk Rachel.
"Ini kartu identitasmu, simpan baik-baik!"
"Terima kasih, Tuan."
Kartu identitas itu benar-benar berharga bagi Rachel. Ia bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak hanya dengan menyodorkan kartu kecil itu. Di bagian atas kartu ada lambang negara dan keterangan daerah yang Rachel tinggali. Sekarang Rachel memiliki kehidupan baru yang harus dijalaninya, kehidupan yang jauh lebih kejam jika dibandingkan dengan saat Ia tinggal bersama ibu dan kakaknya. Ia hidup sendiri tanpa siapapun, tanpa tujuan, dan tanpa tempat tinggal. Calon pasangannya sudah Ia bunuh dengan tidak sengaja, ibu dan kakaknya gugur, rumahnya lenyap ditelan bencana.
Ketika Ia berada di puncak rasa putus asa dan ingin sekali mengakhiri hidupnya karena tak punya tujuan, Ia mendapatkan mimpi yang asing. Ia seolah bertemu dengan Dewi Bulan dalam mimpinya yang menceritakan tentang perjanjian kedua orangtuanya dengan Dewa Langit.
"Hidupmu akan tetap abadi sampai Kau melahirkan keturunan bersama jodohmu, Putri Emas. Kau akan berhenti menua di usia dua puluh satu, usia yang sempurna," sabda Dewi Bulan.
Rachel terbangun dan terkejut rambutnya tiba-tiba berubah warna menjadi kuning keemasan setelah mimpi itu menghantui tidurnya selama berhari-hari. Kalung yang dikenakannya bersinar terang. Dewi Bulan terus mendatanginya melalui mimpinya, memberi petunjuk apa yang seharusnya dilakukan Rachel.
"Pangeran Cuon akan lahir kembali dan Kau bisa bertemu dengannya di malam purnama dalam wujudnya sebagai serigala, jodohmu adalah manusia serigala, Putri Emas."
Itulah awal mula Rachel selalu mengunjungi hutan dan menunggu Pangeran Cuon di setiap malam purnama. Rachel mulai mengunjungi hutan yang sama yang ibunya tunjukkan yaitu Ancala Tunggal. Di sana Ia menemukan kembali perbekalannya yang ternyata masih utuh, hanya saja tertutupi oleh sampah dedaunan.
***