Demi mengistirahatkan pikirannya, Rachel pergi ke bioskop lalu ke tempat hiburan malam. Ia menikmati kebersamaan random bersama orang-orang asing. Tertawa bersama dan menenggak beberapa seloki anggur putih di bar. Di lain kesempatan, Ia pun turut berjoged di tengah musik yang menggebu-gebu.
"Hai, namamu siapa?" teriak seorang lelaki muda, rambutnya acak-acakan namun tak menghilangkan ketampanan di wajahnya.
"Rachel," jawab Rachel singkat.
"Hah?" lelaki itu mendekatkan telinganya ke wajah Rachel.
"RACHEL," jawabnya dengan suara lebih keras, nyaris membentak.
"Dasar tuli!" desis Rachel pelan.
Musik terus berdentum dan Rachel tidak terlalu memperhatikan ucapan lelaki itu yang sepertinya tengah memperkenalkan diri. Ia menyelinap ke bagian lain diskotik, mengikuti permainan seru ala tukang adu nasib yang menghambur-hamburkan uang. Setelah lelah, Rachel pun keluar dari tempat khusus orang dewasa itu.
"Andai aku amnesia dan aku lupa semua takdir hidupku, pasti aku sangat bahagia. Hidup memang sangat seru jika saja aku bukan makhluk terkutuk," racau Rachel.
Ia melambaikan tangan di halte pinggir jalan, menghentikan bus kota yang tengah melaju di tengah keremangan kota yang tak pernah siang. Orang-orang di dekatnya menghindar. Bukan hanya aroma alkohol yang menyeruak dari mulut gadis itu tetapi juga aura khas yang membuat manusia biasa refleks mundur. Mungkin gadis sialan yang kini menjadi kekasih Danique benar bahwa Ia adalah monster, penyihir.
"Turun di sini, Nona," ucap kondektur bus karena uang tunai yang Rachel sodorkan hanya cukup untuk perjalanan beberapa kilometer. Itupun penukaran dalam jumlah kecil ketika Ia sedang mempersiapkan kepindahannya.
Halte tempat pemberhentian selanjutnya tepat berada di depan sebuah mall besar. Lampu-lampu di dalamnya begitu terang sehingga mengundang orang untuk memasukinya.
"Aku akan melihat mode baju terbaru di sini," batin Rachel.
Ini bukan hal pertama kalinya Rachel memperbarui koleksi baju. Ia selalu membeli baju mode terbaru minimal empat bulan sekali. Meski tak selalu nyaman di tubuhnya, namun Ia sangat berhati-hati dalam menyelamatkan identitas aslinya. Ia tidak akan pernah mengenakan baju yang tidak sesuai zaman.
Sepuluh tas berisi macam-macam koleksi pakaian dan aksesoris sudah di tangan, mulai dari gaun malam, baju kasual, jaket, celana, rok, hingga sepatu Ia beli.
"Lapar sekali, tapi aku tidak yakin makanan di sini langsung cocok di lidahku," batin Rachel sembari melangkah ke sebuah kafetaria.
Ia terpaksa mengisi perutnya meskipun dengan makanan yang menurutnya hambar. Bukan masalah kekurangan bumbu, namun selera rasa penduduk di tempat baru ini memang sangat berbeda dengan tempat sebelunya.
"Ah, makan saja," batinnya lagi.
Suapannya berhenti ketika Ia tiba-tiba teringat menu favorit lelaki itu. Ia nyaris muntah saat membayangkan daging mentah masuk ke mulutnya. Selera makannya pun seketika hilang. Ia meninggalkan sisa dan berlenggang pergi setelah membayar.
Tidak sengaja mengingat Danique sungguh menyakitkan. Perjalanan pulangnya dengan bus kota terasa sangat lama padahal apartemen yang Ia sewa tidak jauh dari tempat barusan. Dirinya sangat butuh waktu untuk menyendiri.
"Ada log in baru ke akun Anda, sepertinya bukan perangkat biasa."
Notifikasi pesan muncul di layar handphone-nya.
"Hah, sialan," Rachel mengumpat.
Ia tahu benar bahwa saat ini Danique sedang melacaknya.
Rachel sadar, mau tidak mau Ia harus kembali ke tempat tinggal sebelumnya, kembali bersama lelaki itu, lelaki yang ditakdirkan menjadi jodohnya namun tak mengakui. Ia benci ketika teringat betapa menyakitkannya manusia serigala itu telah menyia-nyiakan hidupnya.
Danique suka menggodanya, juga suka bekerja sama dengannya, namun Ia mengambil orang lain sebagai kekasihnya. Kini lelaki itu memperlakukannya seolah Ia adalah orang yang berbahaya. Rahasia Danique memang ada di tangannya, tetapi bukankah itu wajar karena mereka memang dijodohkan oleh Dewi Bulan?
Sesampainya di apartemen, Rachel langsung menghempaskan tubuhnya di sringbed. Ia mengerang frustasi. Tidak ada gunanya hidup abadi jika Ia tidak menikmatinya. Andai kematian adalah satu-satunya jalan menyelesaikan masalah, maka Ia menginginkan itu. Tetapi siapa bilang kematian adalah solusi? Akan ada banyak kehidupan lagi setelah kematian yang merupakan penghakiman atas perbuatan di kehidupan sebelumnya.
Andai pagi itu Ia tidak meninggalkan kakaknya, andai yang berangkat ke Ancala Tunggal adalah kakaknya, mungkin nasibnya tidak seperti ini. Mungkin juga kakaknya tidak membunuh Pangeran Cuon seperti dirinya. Rachel menyesal karena sangat ceroboh dan terlalu ambisius, Ia tanpa pikir panjang meninggalkan kakaknya di tengah perjalanan.
Bel apartemennya berbunyi, ada orang yang berkunjung ke tempatnya. Rachel beranjak dari tempat tidur lalu mengintip siapa pengunjung yang datang. Beberapa orang yang berseragam, entah polisi, entah tentara. Atau mungkin bukan keduanya.
"Selamat siang, dengan Nona Rachel Michelia?" ucap salah satu tamu berseragam itu menyebut identitas baru Rachel.
"Selamat siang. Benar, Sir," tanggap Rachel sembari menatap satu persatu dengan ragu.
"Kami dari petugas keimigrasian diamanahi untuk menangkap Anda atas upaya tinggal secara ilegal. Anda dipulangkan ke negara asal Anda secara tidak hormat beserta deportasi selama tiga tahun," papar petugas tersebut.
"Hh?"
Rachel mengerutkan dahi, Ia merasa sudah memiliki kartu penduduk negara ini. Siapa yang berani mengusiknya dengan mengirimkan orang pemerintah ke sini?
"Harap kemasi barang-barang Anda karena kami akan mengirimkannya ke negara asal Anda," petugas mengakhiri pembicaraan.
"Tapi, Sir. Saya memiliki kartu tanda penduduk. Bagaimana bisa saya dituduh tinggal secara ilegal di sini," bantah Rachel.
"Bisa tunjukkan kartu tanda penduduk Anda?"
Setelah Rachel menunjukkannya, petugas langsung memeriksanya dengan alat canggih yang dibawa, sangat canggih hingga bersifat portabel. Petugas itupun tersenyum ramah sebelum menyampaikan hasilnya kepada Rachel.
"Terdapat keganjilan dalam kartu ini, Nona. Kami juga akan menangkap oknum yang bersangkutan yang membantu pembuatan kartu ini," ucap petugas.
"Sir, yang bersalah hanya saya. Mengapa pengacara itu juga ditangkap?" Rachel merasa bersalah jika harus menyeret orang lain ke dalam masalahnya.
"Negara kami tidak mentoleransi kecurangan, Nona. Segala bentuk pemalsuan termasuk dalam kecurangan, pengacara yang Anda maksud juga telah melakukan kecurangan."
Tiga menit setelahnya semua petugas yang datang membantu mengemasi barang-barang Rachel, lebih tepatnya memaksa Rachel untuk segera angkat kaki. Belum genap dua puluh empat jam Rachel pindah ke tempat ini, Ia sudah diusir kembali. Ini adalah pengalaman pertama kali selama Ia berpindah-pindah puluhan kali dalam hidupnya.
Ia dipulangkan secara paksa dengan pesawat milik pemerintah dan dikawal oleh beberapa petugas. Perjalanan udara yang sangat jarang dilakukannya, mengingatkan pada perjalanan buruk pertama kali dalam hidupnya. Awalnya perjalanan itu sangat indah. Namun sebuah pilihan kakaknya membuatnya harus mengambil keputusan, Ia harus meninggalkan kakaknya di tengah perjalanan.
Itu benar-benar buruk, karena perjalanan itu adalah penyebab Ia terakhir kali melihat kakaknya. Datura telah memutuskan, dan takdir telah menentukan.
Rachel meneteskan air mata bukan karena diusir dari tempat barunya, tetapi karena teringat kakaknya. Seharusnya gadis itulah yang kini bersama Pangeran Cuon. Ambisinya saat itu kini menghasilkan penyesalan. Semenjak ibu menomor satukan Datura untuk mempersunting Pangeran, Ia menganggap itu adalah persaingan di mana ibunya memihak Datura. Oleh karena itu saat Datura memutuskan berhenti, Rachel sangat antusias untuk melanjutkan perjalanan.
***