Beberapa hari ini setelah tiga hari vakum dari pekerjaannya, Danique hampir setiap saat mengumpat tidak jelas dan menggerutu. Ia mudah sekali tersinggung bahkan tidak sekali dua kali memarahi karyawan yang berhadapan dengannya.
"Rachel, sini Kau," serunya dari dalam ruangan. Rachel masuk dengan tergopoh-gopoh.
"Iya?" Rachel berusaha berbicara dengan sabar supaya Danique juga tidak terus-terusan mengandalkan emosinya.
"Apa-apaan ini, ulangi. Buatkan yang baru, aku tidak mau bahan presentasi asal-asalan seperti itu," omel Danique sembari menunjuk layar monitor di laptopnya.
Rachel mengangguk lalu membuka laptopnya sendiri dan mengakses software yang terhubung dengan akun Danique juga. Jadi keduanya bisa membuka satu akun di perangkat yang berbeda.
"Cepat perbaiki, sepuluh menit harus selesai," ketus Danique.
Saat Rachel tengah memperbaiki dengan penuh konsentrasi, tiba-tiba Danique muncul lagi.
"Satu menit lagi selesai," ujar Rachel karena merasa sepuluh menitnya belum habis tetapi Danique sudah menagih.
"Sudah jam segini Kau belum juga membawakanku makanan?" ujar lelaki itu.
Oh, Rachel hampir lupa dengan makan siang Danique. Sejak matahari bersinar Ia belum berhenti bekerja, nyaris tak ada jeda antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya.
"Tahan laparmu sebentar lagi."
Rachel pun bangkit dari duduknya dan berlari kecil ke dapur perusahaan. Padahal sebenarnya Danique bisa ke sana sendiri dan mengambil dagingnya sendiri. Namun Danique tetaplah Danique, Ia terbiasa dilayani dan tidak pernah sekali pun mencoba untuk melakukan sesuatu hal sendiri.
Menyikapi sifat Danique yang parah ini, Rachel memilih untuk tidak mendebatnya. Lebih baik Ia berkorban kesabaran, tenaga, dan waktu dari pada lelaki itu memangsa manusia di kantor ini. Bukan hal yang tidak mungkin jika Danique membuka mulutnya mencaplok kepala orang jika Ia hilang kendali.
"Ini. Maafkan aku, Dan. Hanya itu yang tersisa di dapur," ucap Rachel saat membukakan penutup nampan di hadapan Danique. Daging yang Ia bawakan memang lebih sedikit dari biasanya karena Ia terlambat ke dapur.
"Beritahu kepala dapur untuk menambah stok daging lebih banyak," gumam Danique.
"Baiklah. Tetapi rupanya mereka mengendus keganjilanku mengambil daging mentah dari kulkas. Ada yang menanyakan dan kujawab seadanya. Jadi sebaiknya Kau menyediakan oven di ruang kerjamu supaya aku tidak lagi dituduh mencuri daging," ucap Rachel.
Danique mendongak menatap wajah Rachel, Ia mengurungkan gigitan pertamanya pada daging kesukaannya.
"Kau tidak mengatakan bahwa daging ini kumakan mentah-mentah, 'kan?" tanya Danique.
"Tentu saja tidak, bodoh sekali pertanyaan itu," sahut Rachel sembari menggeleng.
"Kujawab bahwa Kau lebih suka memanggangnya sendiri karena itu membuatmu lebih puas. Maka dari itu sediakan alat di ruanganmu untuk menutupinya," ulang Rachel.
Danique mengangguk lega dan melanjutkan makannya, Rachel membereskan bahan presentasi sebelum lelaki itu mengamuk kembali.
Saat jam kerja usai, Rachel merasa penderitaan hari ini telah berakhir. Mereka akan pulang ke mansion lelaki itu lalu dirinya mengurus sesuatu jika Danique ingin lembur. Ia akan pulang dengan sepeda motor matic-nya setelah semuanya beres.
"Kau tidak pernah menginap, malam ini menginaplah," ujar Danique.
"Itu di luar prosedur pekerjaan. Aku tidak mau terus-terusan Kau peras di luar jam kerja," tanggap Rachel.
Bagaimanapun, hubungannya dengan lelaki itu hanya sebatas bos dan asisten pribadinya. Lelaki itu tidak memiliki perasaan apapun kepadanya dan hanya suka memeras tenaga dan pikirannya saja.
"Kau hanya tidur di rumah ini, aku janji tidak akan mempekerjakanmu walaupun Kau di sini," Danique meyakinkan. Rachel hanya memiringkan wajahnya tanda menertawakan tawaran Danique.
"Bukan di kamarku, Kau akan tidur di kamar tamu," sekarang lelaki itu menjelaskan lebih detail.
Rachel tidak menjawab meskipun lelaki itu terus memaksa dan meminta Samuel untuk menahan motor gadis itu, sungguh kekanakan. Akhirnya Rachel mengalah dan menuruti kemauan aneh lelaki itu kali ini saja.
Di kamarnya, dengan hati-hati Rachel memastikan tidak ada kamera atau apapun yang digunakan lelaki itu untuk hal-hal nakal. Ia hanya membuka pintu jika yang mengetuknya adalah maid di mansion mewah ini. Jika Danique yang mengetuk, Ia tidak perlu membukanya.
Langkah kaki para maid yang mondar-mandir di ruang tamu, dentingan alat makan, dan tak lama kemudian suara beberapa orang saling bertegur sapa. Rachel menebak-nebak ada arisan keluarga di ruang tamu. Namun telinganya menangkap suara wanita itu. Rachel mengerutkan dahi.
Tak salah lagi, di depan kamarnya yang merupakan ruang tamu yang lebih luas dari lapangan bulu tangkis, sedang ada pertemuan dua keluarga. Keluarga Danique dan keluarga wanita itu. Mereka memilih berkumpul di mansion Danique karena lelaki itu tidak sudi mengunjungi siapapun, apalagi untuk membahas hubungannya dengan wanita itu.
"Ayolah Danique, jangan batalkan pertunangan ini. Rhea 'kan hanya khilaf, Ia sangat mencintaimu," suara wanita yang Rachel yakini sebagai ibu Danique. Lalu didukung oleh ayah wanita itu dan ibunya.
"Jika aku mengatakan tidak, itu berarti 'tidak' sampai kapanpun. Tidak peduli apapun alasannya," sahut Danique menekan setiap katanya.
Hoekkk
Rachel terkesiap saat wanita itu meluapkan mualnya. Awalnya Rachel mengira Rhea muak dengan ucapan Danique, tetapi ternyata wanita itu mual karena makanan. Padahal Rachel yakin sekali makanan di meja sana sudah pasti makanan yang enak, sehat, mewah, dan sangat mahal.
"Kau kenapa, Nak?"
"Antarkan Rhea ke kamar mandi."
"Oh, demamnya tinggi sekali."
Suara-suara kepanikan dari ketiga manusia, --tentu saja tidak ada kepanikan Danique di sana, membuat pertemuan itu sedikit terganggu. Rachel menajamkan telinganya menangkap suara apapun yang mungkin bisa memberinya informasi.
Betapa terkejutnya saat suara lemah wanita itu memberitahu semuanya bahwa Ia tengah hamil.
"Itu bukan anakku," geram Danique.
"Lho, anak siapa lagi kalau bukan anakmu?" ayah wanita itu berteriak tidak terima.
"Aku tidak bisa menghamili siapapun karena barangku sudah divasektomi," ucap Danique tanpa disensor sedikit pun.
"APA?!" mereka hampir bersamaan mengatakannya.
"Danique, mengapa ibu tidak tahu, Nak? Kau sakit apa sampai harus menjalani operasi mengerikan itu?" ibu Danique bersuara dengan setengah menangis.
Rachel langsung membuka situs internet dan dalam hitungan detik Ia mengumpulkan maksud yang Danique katakan. Ia membeku sesaat, menatap layar handphone dengan tidak percaya. Danique tidak bisa menghasilkan keturunan. Entah apa yang menyebabkan lelaki itu sampai melakukannya, tetapi akibatnya sangat fatal bagi dirinya.
Andaikan lelaki itu mau menerimanya sebagai jodohnya, mereka hanya berjodoh dan luntang-lantung di dunia tanpa menghasilkan apapun. Danique tidak bisa memberinya keturunan di rahimnya. Itu berarti kutukannya untuk menjadi makhluk abadi masih melekat. Dewa langit memberinya kehidupan abadi sampai rahimnya menghasilkan keturunan.
Lalu detik ini Ia tahu bahwa Danique tidak bisa memberikannya meskipun mereka berjodoh. Air mata Rachel luruh, cobaan apalagi yang harus Ia hadapi? Ia dihukum karena telah membunuh jodohnya dan tidak dipertemukan selama seribu purnama. Setelah dipertemukan, jodohnya tidak mengakuinya karena telah memiliki kekasih. Lalu kini, saat Ia mencoba bersabar sementara pelan-pelan lelaki itu menjauh dari wanita itu, Ia mendapatkan fakta baru bahwa lelaki itu tidak bisa memberinya keturunan.
Nyaris semalaman Rachel meratapi kenyataan ini sampai di pagi hari pintunya diketuk oleh maid. Rachel menghela napas dan mengusahakan supaya wajahnya berekspresi seolah Ia tidak menguping apapun.
"Apa sih untungnya memaksaku menginap di mansionmu. Merepotkan maid-maidmu saja," gerutu Rachel saat mereka berangkat ke kantor bersama.
"Aku merasa lebih tenang saat tahu Kau ada di sini. Walaupun jauh dari kamarku tetapi itu lumayan membuatku bisa tidur nyenyak," jawab Danique.
Sontak, Rachel mengatupkan bibirnya. Jantungnya berdegup. Tidak ada kebohongan di wajah Danique, bahkan lelaki itu mengatakannya dengan sangat jujur bak anak kecil.
***