Hari itu, pagi-pagi sekali Haur Sani membangunkan kedua putrinya. Dua gadis itu terkantuk-kantuk saat ibu mereka memaksanya untuk bangkit dari tidurnya. Alam sekitar masih sangat petang karena matahari sama sekali belum menampakkan cahayanya. Hanya cahaya remang bulan yang sedikit menembus pepohonan.
"Datura, Rachel, bangunlah. Kalian tidak mau ketinggalan rombongan kereta kuda, bukan?" seru Haur Sani lagi.
Setiap pagi ada rombongan kereta kuda yang berangkat menuju kota. Mereka akan berpisah di ujung pedesaan lalu menuju tujuan masing-masing. Penduduk desa selalu keluar berombongan demi menghindari perampok.
"Ah, Ibu. Ngantuk sekali," keluh Rachel sembari menggeliat.
"Rachel, ayolah. Bangun, Nak. Kau dan Kakakmu harus berangkat pagi ini," Haur Sani tak menyerah.
Rachel berkali-kali menggeliatkan badannya tanpa langsung membuka mata. Sedangkan Datura yang selalu bersemangat, lebih dulu bergegas ke sumur di sisi rumah untuk mandi. Gadis sulung itu mandi dengan persiapan yang sempurna, Ia telah menyiapkan air dan ramuan sejak kemarin. Ia melulurkan ramuan yang telah dibuatnya dengan campuran tumbuhan, madu, serta susu ke seluruh permukaan tubuhnya. Aroma segarnya tercium sampai ke dalam rumah.
"Kakakmu sedang mandi. Kau sarapan dulu supaya tidak menghabiskan waktu terlalu banyak," Haur Sani mengatur anaknya.
Mendengarnya, Rachel bersemangat. Apalagi saat berjalan menuju dapur Ia menghidu aroma daging dengan bumbu yang lezat. Lagi-lagi ibunya memasak daging. Rachel bersenandung riang karena akhir-akhir ini Ia dimanjakan oleh makanan enak. Ia mulai menyuapkan makanannya dan menikmati masakan ibunya.
Sampai Ia selesai sarapan, Datura belum juga selesai mandi. Haur Sani mendekat ke sisi putri bungsunya dan menghela napas, Perempuan paruh baya itu nampak sekali sedang menyusun kata-kata untuk disampaikan ke putrinya.
"Rachel, ada hal yang perlu ibu katakan padamu sebelum semuanya terlambat," ucap Haur Sani dengan suara nyaris berbisik.
"Apa, Bu? Aku tetap berangkat bersama Kakak, 'kan?" sela Rachel.
"Tentu saja, Nak," sahut Haur Sani. Ia tersenyum dan menjeda kalimatnya sejenak.
"Ibu yakin Kau belum mengetahui hal ini, tetapi ibu yakin Kau akan menerima faktanya. Sudah sangat lama ibu memendam rahasia ini dari siapapun, Rachel," bisik Haur Sani.
"Rahasia? Rahasia apa, Bu?" Rachel terkesiap dan mencondongkan wajahnya ke ibunya. Ia juga berbisik mengikuti cara bicara perempuan paruh baya itu.
"Rahasia bahwa Kau sebenarnya adalah Putri Kaisar yang memimpin kekaisaran terbesar di dunia ini," ucap Haur Sani.
Rachel mengerutkan dahi tanpa bicara, tentu saja Ia tidak percaya.
"Aku anak ibu," sangkalnya.
"Iya, tapi baik Kau maupun Datura bukan anak kandung ibu. Ibu tidak bisa beranak, Nak. Karena ibu tidak pernah kawin," sanggah Haur Sani dengan nada sangat prihatin.
Udara di sekeliling Rachel seakan membeku, Ia menggigil dengan apa yang dicerna oleh indra pendengarnya. Sejak Ia mulai bisa mengingat, Ia selalu tinggal bersama ibunya di rumah kecil yang tua ini. Lalu tiba-tiba perempuan itu berbicara bahwa Ia bukanlah anaknya.
"Saat Kau bayi, ibu menemukanmu hanyut terapung di sungai. Waktu itu ibu sedang mandi, Ibu melihat peti yang sangat mewah hanyut di sungai dan ibu mengejarnya. Sekarang peti itu masih ibu simpan," ucap Haur Sani. Ia pun beranjak menuju kamarnya meninggalkan Rachel yang masih terdiam.
Rachel terburu-buru mengikuti saat sadar ibunya sudah tidak ada di hadapannya lagi. Di kamarnya, perempuan paruh baya itu tengah menarik sesuatu dari kolong dipan. Sebuah peti yang sengaja dibungkus kain hitam dan banyak debu di mana-mana kini terlihat oleh pandangan Rachel.
Di bawah temaram lampu minyak, Haur Sani pun membongkar isi kain hitam itu. Rachel takjub dengan peti bayi berlapis emas itu. Ukirannya sangat indah dan menunjukkan sebuah tanda kekaisaran yang kini hanya Ia ketahui dari mulut ke mulut.
"Bu, Ibu tidak sedang bersandiwara 'kan?" Rachel tergagap.
Beberapa waktu yang lalu ibunya menunjukkan bahwa Ia menyimpan pakaian-pakaian yang sangat indah, setelah meminta Ia dan kakaknya mengunjungi dan melamar pangeran. Kini perempuan itu berkata bahwa dirinya bukan anak kandung dengan menunjukkan peti bayi berlapis emas.
"Tidak, Rachel. Ibu bersumpah. Demi apapun, sebenarnya ibu tidak rela mengungkapkan ini semua. Tetapi ibu yakin suatu hari nanti Kau juga akan menyadari dengan sendirinya," Haur Sani menghela napasnya yang tersengal.
"Lihatlah warna bola matamu, ibu yakin permata ini dipilih karena cocok dengan bola matamu," Haur Sani pun menunjuk permata-permata yang menghiasi peti berwarna biru safir. Sangat indah dipadukan dengan emas yang juga mengkilap.
"Ibu, maaf aku tidak percaya dengan ini semua. Aku lebih yakin bahwa aku adalah anak ibu," ucap Rachel.
Haur Sani tersedu dan merangkul Rachel beberapa saat.
"Andai di dunia ini dibolehkan untuk berbohong, ibu akan tetap berbohong dan mengakui kalian semua anak ibu sampai kapanpun," gumam Haur Sani.
"Lalu Kak Datura anak siapa, Bu?" Rachel tersadar bahwa bukan hanya dirinya saja yang tidak diakui anak oleh ibunya.
"Ssst, Datura adalah anak yang tidak diinginkan. Ia lahir di luar hubungan pernikahan. Kedua orangtuanya membuangnya, mereka masih sangat muda. Jangan katakan ini pada kakakmu, Rachel. Karena ini adalah aib, pasti sangat menyakitkan jika kakakmu tahu," papar Haur Sani.
Rachel pun mengangguk. Percaya atau tidak pada ucapan ibunya, Ia tidak akan mengatakan apapun pada kakaknya. Tangannya membelai permukaan peti yang sangat indah, mengagumi di tengah ketidak percayaannya. Sesaat pikirannya tertuju pada hal konyol, mengapa ibunya tidak menjual peti ini saja? Pasti harganya sangat mahal dan mereka tidak lagi tinggal di rumah tua ini.
Haur Sani membukanya, ada tumpukan beberapa buku dan sebuah liontin di sana. Matanya berwarna biru safir, seperti hiasan di peti.
"Ini adalah kalung yang ada di lehermu waktu itu, ibu sengaja menyimpannya," ucap Haur Sani. Ia mengambil lalu memasangkannya pada Rachel.
"Itu buku apa, Bu?" Rachel tidak tertarik pada apa yang ibunya lakukan. Pikirannya masih menyangkal segala apa yang beberapa menit lalu dicerna telinganya. Ia mengalihkan topik ke tumpukan buku.
"Ini adalah buku-buku yang ibu tulis sendiri, tentang dirimu, orangtuamu, istana, kekaisaran, semua ada di sini," ucap Haur Sani. Ia memaksakan senyum.
Ibu meminta Rachel untuk membawa buku-bukunya bersama bekal perjalanan. Mungkin untuk bukti jika Pangeran Cuon menanyakannya. Pembicaraan keduanya tidak berakhir memuaskan, Rachel belum juga tergugah hatinya. Ia masih bersikeras bahwa Haur Sani adalah perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya.
Datura masuk rumah dengan aroma tubuh yang sempurna, tetesan-tetesan air dari rambutnya membasahi lantai tanah mereka. Haur Sani pun menyudahi obrolannya dengan Rachel sembari memberi isyarat supaya Rachel menyimpan rahasia tentang Datura barusan.
"Giliranmu, Rachel," seru Datura memberitahu bahwa Ia sudah selesai mandi.
Rachel pun beranjak dari kamar ibunya, Haur Sani membantunya mengemasi buku-buku itu dan memasukkannya ke kantung bekal Rachel tanpa sepengetahuan Datura.
Saat kecil dan masa-masanya senang berkunjung ke rumah teman, Rachel memang sering mendengar rumor bahwa kerajaan yang mereka tempati ini sebenarnya berada di bawah sebuah kekaisaran. Namun Rachel tidak terlalu memikirkannya karena itu tidak penting, Ia pikir itu hanya bahan obrolan orang dewasa saja yang menggandrungi dongeng.
Kaisar dan Ratu wafat karena istana dilanda beberapa bencana sekaligus. Tentara jiran yang menyerang, para pemberontak yang mengkudeta, pengkhianat istana, parahnya saat itu juga terjadi bencana alam dan semuanya menjadi porak poranda. Hanya sangat sedikit manusia yang tersisa di lingkungan istana. Setelah itu, kerajaan-kerajaan yang bernaung di bawah kekaisaran terpecah dan tidak lagi berada di bawah naungannya.
***