Chapter 23 - Biru Safir

Di saat yang sama, Rachel menyeret lengan Rhea hingga serigala Danique menubruk tembok. Seketika tembok itupun jebol.

Pendar-pendar kekuningan menyelimuti tubuh Rachel yang telah berubah ke wujud aslinya, rambutnya kuning emas dan iris matanya biru safir. Wujud yang sama dengan yang Rhea saksikan malam itu.

"Danique," peringat Rachel.

Rachel sangat khawatir karena sebentar lagi para karyawan yang mendengar suara benturan keras itu pasti mendekat. Seketika Danique kembali ke wujud manusianya, Rachel dengan sigap mengambil pakaian di lemari khusus yang tidak seorangpun tahu --kecuali dirinya dan Danique bahwa isinya adalah pakaian.

Danique mengenakan pakaian sementara Rhea masih meringkuk dan menggigil, wanita itu nampak kehilangan kesadarannya karena sangat takut dan syok. Manusia manapun pasti juga takut melihat perubahan manusia menjadi binatang buas. Rachel mendekat dan secara refleks Rhea beringsut mundur. Ada sedikit kecanggungan di wajahnya, Ia gengsi karena Rachel menolongnya.

"Pergilah, tutup mulutmu rapat-rapat dan jangan pernah kembali lagi," ucap Rachel pada Rhea. Ia sengaja menyalurkan sangat sedikit tenaganya kepada wanita itu supaya memiliki kekuatan untuk berdiri dan berjalan.

"Si... siapa sebenarnya kalian?" tanyanya dengan terbata.

"Kami bukan manusia biasa sepertimu, maka dari itu menyingkirlah," jawab Rachel menegaskan perintahnya.

Rhea keluar ruangan dengan langkah seperti hendak roboh. Tak lama kemudian beberapa karyawan datang entah khawatir atau hanya penasaran pada apa yang terjadi. Benturan yang sampai menghancurkan tembok tadi pasti sangat keras.

Rachel dan Danique dengan lihai menjelaskan kepada karyawan hal yang sekiranya masuk akal. Mereka pun mengangguk-angguk ketika melihat ujung meja dan tembok itu hancur. Tembok hancur terkena benturan meja yang tengah mereka tata tapi mereka mendorongnya kebablasan.

"Ahh, akhirnya," Danique menggaruk frustasi setelah semua karyawan pergi lagi.

"Aku yakin wanita itu tidak akan kembali lagi," ucap Rachel.

"Ya, tetapi tidak ada jaminan bahwa Ia akan tutup mulut," tanggap Danique.

"Bisa-bisanya Kau lepas kendali, dasar bodoh," Rachel menggerutu. 

Ia sudah sangat geram pada kejadian barusan, mau disesali bagaimanapun, waktu tidak akan terulang dan kejadian itu tidak akan bisa dicegah.

Danique mengambil handphone dan mengetikkan ancaman kepada wanita itu supaya tutup mulut. Tidak ada untungnya memberitahu semua orang tentang apa yang dilihatnya, mereka pasti malah akan menganggapnya berhalusinasi karena tidak ada bukti.

"Kalau Kau membiarkannya pergi, bagaimana dengan hubunganmu dengannya?" tanya Rachel. Ia sengaja memancing.

"Aku sudah tidak mengakuinya lagi semenjak mataku ternodai oleh apa yang Ia lakukan," tanggap Danique.

"Tetapi bukan berarti aku menginginkanmu menggantikannya, Rachel," Danique melanjutkan dengan menatap wajah Rachel lekat-lekat.

"Kau tidak bisa menganggap aku sebagai serigalamu yang sudah mati," lanjutnya.

"Aku tidak sepicik itu, Danique," desis Rachel. 

Betapa sakitnya mendengar tuduhan itu dari bibir Danique padahal beberapa menit yang lalu Ia berusaha keras menyelamatkan mantan wanitanya tanpa membuatnya terluka. Jika wanita itu terluka apalagi sampai tewas, sudah pasti Danique yang akan dituntut oleh keluarganya.

Rachel menyemprotkan pewarna rambut dan baru sadar orang-orang yang barusan datang pasti telah melihat wujud asli dirinya yang secantik peri. Ia memejamkan mata, mengerahkan kekuatannya untuk menghapus memori manusia-manusia itu.

Hari ini baik kinerja Danique maupun Rachel sangat berantakan. Lelaki itu sama sekali tidak berhasil menyusun proposal yang seharusnya akan diajukan kepada tamunya dari luar negeri besok pagi. Lagi-lagi yang dikorbankan untuk naskah penting itu Rachel dan sekretaris direktur. Sementara Danique hanya duduk di meja kerjanya sembari memijit-mijit keningnya.

"Tidak biasanya Anda memakai lensa biru safir, Miss Juvenil," ucap lelaki muda itu.

Ah, sial. Rachel belum memakai lensa coklat.

"Ah, iya. Aku menyukai warnanya," tanggap Rachel menyembunyikan penyesalannya.

"Sangat indah, pasti koleksi yang langka," lanjutnya lagi. 

Rachel hanya tersenyum berlagak sebagaimana biasanya orang yang dipuji. Mata ini adalah mata seorang peri, mata yang tak seorang manusia pun bisa memilikinya ataupun menirunya. Mata yang bisa menembus pandangan apapun jika pemiliknya menghendaki. Mata yang mungkin sangat disukai oleh Kaisar dan Ratu hingga mereka membuat perhiasan dengan warna senada.

Danique yang kebetulan lewat dan mendapati percakapan keduanya, menghela napas malas. Ia tidak pernah bersikap ramah kepada sekretarisnya, padahal lelaki itu selalu bekerja dengan hasil nyaris sempurna.

"Kirimkan ke emailku jika sudah selesai," ketus Danique.

"Baik, Pak," sahut lelaki itu dengan sopan.

Keduanya menggerakkan jari di atas keyboard dengan lebih cepat supaya lekas selesai. Tidak ada yang betah bekerja di bawah tatapan dingin Danique. Rachel pun yang sudah terbiasa dengan sikap Danique, ingin cepat-cepat pulang. Ini adalah jadwal libur paling sial selama Ia bekerja di perusahaan Van Berend. 

Sudah begitu, Danique meminta Rachel untuk menginap lagi di mansionnya.

"Kau pikir aku tunawisma?" tanggap Rachel dengan sangat jengkel.

Rachel menggertakkan giginya, Ia butuh privasi. Perasaannya benar-benar hancur oleh ucapan Danique. Lelaki itu lagi-lagi menolaknya, parahnya kini dengan cara yang sangat kasar. Rachel menitikkan air matanya di balik kaca helm selama perjalanan pulang ke apartemen.

Sembari berendam melepaskan lelah di tubuhnya, lagi-lagi Rachel memikirkan eksistensi dirinya. Untuk apa Ia diciptakan menjadi makhluk abadi jika yang Ia terima hanyalah kesengsaraan? Dewi Bulan berkali-kali mengutarakan alasan keabadiannya bahwa Ia dipercaya oleh dewa langit untuk menjaga keseimbangan alam di bumi. Tapi Ia merasa selama ini hidupnya tidak ada yang berpengaruh ke lingkungan sekitar.

"Kekuatan ayahmu yang menguasai hampir separuh bumi, menimbulkan perasaan iri Dewa Langit karena kekuatan itu hampir setara dengan kekuatan putra bungsunya. Keluargamu dimintai pertanggung jawaban untuk menjaga perdamaian dan keseimbangan alam di bumi. Sebagai jaminannya, Kau diberi kekuatan oleh Dewa Langit menjadi makhluk abadi dan tidak akan menua sebelum melahirkan keturunan bersama jodohmu," sabda Dewi Bulan menggema di kepala Rachel.

Bagaimana akan menghasilkan keturunan jika Danique sialan itu sengaja melakukan vasektomi? Bahkan alasan Ia menjalani operasi itu tak lain adalah karena tidak ingin memiliki anak. Berapapun wanita yang Ia tiduri, Ia tidak akan menimbulkan kehamilan di rahim si wanita. Danique sengaja melakukan itu supaya bebas tidur dengan wanita-wanita yang Ia inginkan.

"Kau sudah menolakku bahkan sebelum aku memintamu, takdir telah menentukan bahwa Kau memang tidak peduli padaku," Rachel menyeka air mata yang terlanjur mengalir di pipi.

Tetes-tetes air dari tubuhnya membasahi lantai saat Ia beranjak dari bak mandi. Tangannya menyambar handuk dan mengenakannya. Ia mengurungkan membuka lemari baju ketika pandangannya menangkap kotak yang selalu berada di meja rias tanpa pernah dibukanya. Kali ini Ia membukanya, mengambil isinya yang berupa untaian kalung bermata biru safir. Saat Ia mencoba mengalungkan di lehernya, keindahan itu sangat cocok dengan kulitnya.

Rachel menggenggam permata biru safir itu, warnanya sama dengan warna matanya dan untaian kalungnya bermodel klasik. Setiap Ia teringat permata itu, atau bahkan ketika bercermin dengan iris mata aslinya, Ia tidak bisa menghindar dari ingatan masa lalunya beberapa saat sebelum berangkat ke Ancala Tunggal.

Permata itu adalah barang yang dibawakan ayah dan ibunya bersama peti bayi yang membawanya ke Haur Sani. Begitu indahnya, sampai siapapun yang melihatnya pasti ingin memilikinya. Takdir memilih Haur Sani menjadi ibu asuhnya karena perempuan paruh baya itu memiliki hati yang sangat mulia. Ia memberikan kalung itu pada Rachel ketika gadis itu sudah cukup umur.

***