Chereads / Kelahiran Kembali Sang Manusia Serigala / Chapter 17 - Keputusan Pahit

Chapter 17 - Keputusan Pahit

Di sebuah kota, Rachel meninggalkan kakaknya...

Waktu itu suasana kota yang Rachel  dan Datura lewati sungguh mengagumkan. Ini seperti di dunia modern yang ada di mimpi-mimpi Rachel di awal kehidupan. Atau mungkin dunia modern di dalam mimpi-mimpinya tersebut memang sudah ada, hanya saja dirinya tidak tahu karena tidak pernah keluar dari pedesaan.

Kereta kuda terus melaju di atas jalanan mulus perkotaan, tak ada percakapan apapun antara Rachel dan kakaknya, begitu pula dengan sais yang membawa mereka. Seperti apa yang dituturkan sang ibu, perjalanan menuju Ancala Tunggal memang memakan waktu sangat lama. Sampai di pusat kota, sais pun menghentikan laju kudanya dan berujar pada dua gadis muda yang Ia bawa. 

"Nona-nona, seperti perjanjian kita, saya hanya mengantarkan Nona-nona sampai daerah sini saja. Selanjutnya silakan mencari alat transportasi lain atau tempat penginapan," ucap sang sais dengan ramah.

"Maaf, Tuan. Apakah Anda punya rekomendasi di mana kami bisa menginap? Kami rasa kami butuh istirahat sejenak," Rachel hendak beranjak tetapi Ia masih belum siap menghadapi apa yang ada di depannya.

"Oh, biasanya para penumpang yang saya bawa menginap di depan sana," sais menunjuk bangunan yang tinggi menjulang sembari melajukan kereta kudanya pelan-pelan.

"Terima kasih, Tuan. Kami akan menginap barang semalam dan melanjutkan esok pagi," ucap Rachel dengan lega.

Saat tiba di depan pondok penginapan yang sangat megah, yang mereka pastikan sebagai penginapan para bangsawan yang tengah menempuh perjalanan, sang sais pun menghentikan kereta kudanya lalu turun untuk membukakan pintu joli untuk kedua penumpangnya.

"Nona-nona, sebagai orang yang lebih tua saya hanya bisa berpesan pada Anda semua, jagalah diri Anda bagaimana pun caranya. Di kota ini banyak sekali godaan, jangan lengah sampai tempat tujuan Anda," ujarnya.

"Ah, bukankah kota memang pusat keramaian untuk anak-anak muda? Godaan atau bukan, tergantung bagaimana kita menyikapinya," tanggap Datura. 

"Mm.... Oh iya, terima kasih atas bantuannya, Tuan. Kami akan melakukan apapun yang terbaik menurut kami," Rachel tidak enak hati atas ucapan kakaknya pada kusir tersebut. 

Bagaimana pun Ia adalah orang tua yang sudah berpengalaman, apalagi pekerjaannya berada di jalanan, sudah pasti kusir itu makan garam tentang keadaan sekitar.

"Selamat istirahat, Nona-nona. Semoga selamat sampai tujuan," ucap sais setelah tersenyum menanggapi ucapan Rachel.

Mereka membawa kantong bekal masing-masing menuju pintu masuk pondok penginapan, petugas menyampaikan harga yang harus mereka bayar setelah menyambut keduanya dengan sangat ramah. Rachel takjub oleh pelayanan para petugas, Ia yakin pasti karena pakaian yang dikenakan oleh dirinya dan kakaknya membuat segan.

Keduanya sepakat untuk menginap di kamar terpisah demi ketenangan masing-masing. Toh, tidak ada keharusan dari ibu mereka untuk selalu bersama. Secara tidak langsung, baik Rachel maupun Datura mencium aroma persaingan di antara mereka. Di mana wasitnya tak lain adalah sang ibu.

"Selamat beristirahat, Nona-nona. Jangan buka pintu kamar Anda sekalian sebelum matahari terbit," ujar sang resepsionis.

"Hah? Memangnya kenapa?" Datura mengerutkan dahi, sementara Rachel hanya memandang petugas tersebut dengan heran.

"Karena sudah menjadi kaidah rumah penginapan ini, risiko akibat pelanggaran menjadi tanggungan masing-masing," jawabnya.

Dengan masih menyimpan pertanyaan, Rachel pun memasuki kamar yang ditunjukkan oleh petugas. Datura menggerutu pelan karena tidak suka pada apa yang Ia dapatkan.

"Mengapa orang-orang tidak juga berhenti mengatur? Kukira akan bebas aturan saat aku menjadi orang kaya."

Hanya karena pakaian dan bekal saja, sontak membuat sifat asli manusia berubah. Datura lupa bahwa apa yang Ia kenakan adalah pemberian ibunya, Ia lengah hingga akhirnya menyombongkan diri. 

Sedangkan Rachel justru merasa pakaian mewah itu menambah bebannya. Ia mengemban amanah sang ibu untuk menempuh perjalanan menemui sang pangeran. Dengan pakaian itu, Ia harus bertindak layaknya bangsawan yang anggun dan terhormat.

Berbanding terbalik dengan Rachel, Datura justru sangat penasaran dan ingin menerobos aturan tentang menutup pintu sampai matahari terbit. Kebetulan sekali saat Ia barusaja memejamkan matanya dan belum sepenuhnya tertidur, pintu kamarnya diketuk.

Seorang pemuda yang sangat rupawan berdiri tegap di depan pintu kamar Datura. Ia tersenyum pada gadis itu dan menunjukkan karismanya.

"Selamat malam, Nona," ucapnya singkat.

"Se... selamat malam," Datura tidak pernah disapa oleh lelaki, apalagi lelaki muda yang sangat tampan. Ia membuka matanya lebar-lebar mengaguminya.

"Namaku Anthony, boleh aku masuk?"

Awal percakapan yang sangat manis yang membuat Datura semakin yakin bahwa aturan penginapan memang ada untuk dilanggar. Tak ada siapapun yang tahu di tengah malam ini termasuk petugas dan adiknya sendiri. Malam itulah Datura pertama kali mendapatkan kenikmatan yang tiada tara bersama seorang pemuda asing bernama Anthony.

Sementara di kamar yang lain, Rachel tidak hentinya memikirkan bagaimana rupa pangeran yang akan Ia temui di Ancala Tunggal. Ia datang bersama kakaknya dan yang harus ke sana terlebih dahulu adalah kakaknya, begitulah pesan sang ibu. Dengan begitu, gilirannya ke Ancala Tunggal masih lumayan lama dari sekarang.

Pagi hari setelah menghabiskan malamnya yang panjang, saat cahaya matahari masuk melalui celah-celah kosen jendela, Rachel keluar kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya. Memastikan kakaknya sudah siap untuk berangkat.

"Kau yakin akan melanjutkan perjalanan, Rachel? Hahaha, aku sih tidak. Sia-sia saja Kau ke sana," Datura tertawa menyeringai.

Betapa terkejutnya Rachel karena kakaknya telah berubah pikiran. Entah apa yang terjadi pada kakaknya sehingga gagasan itu muncul di kepalanya. Rachel semakin terkejut dan setengah ketakutan saat suara lelaki muncul dari dalam kamar kakaknya. Sesaat Ia paham bahwa sesuatu telah dilanggar oleh Datura.

"Aku tidak akan berhenti sebelum selesai, Kak. Berikan mahkota itu padaku," ucap Rachel dengan suara ketakutan. 

Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada kakaknya, tetapi di sisi lain Ia juga merasa lega karena persaingan secara tidak langsung itu telah dimenangkannya. Kakaknya telah kalah sebelum bertanding.

Datura pun mengambilkan mahkota yang tersimpan di loker untuk adiknya. Kemudian kembali berusaha menghentikan adiknya supaya tidak usah bersusah payah menghabiskan waktu dan tenaga ke gunung angker itu.

"Tidak ada apapun di Ancala Tunggal selain hutan belantara dan binatang buas. Konon, di sana malah ada serigala penunggu yang berkeliaran sampai tepi hutan," ucap Datura.

Serigala? 

Binatang buas itu mengingatkan Rachel pada mimpi anehnya, membuatnya merinding seketika. Ia beberapa kali bermimpi dikejar serigala sampai berakhir diterkam, tetapi anehnya Ia selalu terbangun saat tubuhnya berada dalam cengkraman serigala tersebut.

"Aku akan tetap melanjutkan, Kak," Rachel berkata dengan sangat lirih. Ada semburat ketakutan di wajahnya.

"Kalau begitu apapun keputusanmu, aku hanya bisa berdoa supaya Kau mendapat yang terbaik, Rachel. Terserah Kau mau bagaimana," Datura menyerah.

Setelah pamit pada kakaknya dan menyelesaikan administrasi penginapan, Rachel berkemas dan menunggu kereta kuda yang melintas di depan penginapan. Tak terasa air matanya mengalir, Ia menyesal karena kakaknya tidak mau melanjutkan perjalanan. Rachel baru menyadari inilah aturan mutlak yang diterapkan oleh pihak penginapan, aturan main yang tidak diucapkan oleh ibunya melalui kata-kata.

"Aku tidak akan mengecewakan ibu, aku akan membawa pangeran pulang dan menikahinya demi ibu," gumam Rachel di dalam hati.

Bekal makanan, pakaian, senjata, dan perhiasan telah diberikan oleh ibunya kepada masing-masing putrinya. Sekarang tugas masing-masing adalah berjuang untuk mendatangi pangeran dan mempersuntingnya.

***