Langit tampak gelap. Tak ada bulan dan bintang atau benda lain yang bisa menghibur kedua manusia yang sedang gundah tersebut. Anna beberapa kali menghela napas. Banyak pikiran yang kini menyesakan isi kepala.
"Kita mau ke mana, kak? Ini udah malam."
"Kakak juga gak tahu Ga," jawab Anna dalam hati. Anna bahkan tak punya keluarga satu pun di sini. Mungkin beda jika sekarang ia berada di Bandung, nenek dan tantenya ada di sana semua. Sejak ibu kandungnya meninggal, Anna dan Saga memang ikut sang ayah ke Jakarta.
"Saga kedinginan, Kak," racau Saga seraya memeluk lututnya.
"Sini, kakak peluk." Gadis itu memeluk sang adik dengan erat. Dapat Anna rasakan suhu tubuh Saga yang dingin. Berharap anak ini tidak demam, karena cuaca memang sedang dingin diakibatkan baru saja turun hujan lebat dan kini gerimis masih berjatuhan, entah kapan mau beranjak dari bumi.
"Kita nunggu bis datang ya," ujar Anna beralibi.
Sejatinya ia pun tak tahu apakah masih ada bis yang tiba atau tidak. Ini sudah hampir pukul sepuluh malam, Anna tak yakin jika bis masih akan berlabuh, karena biasanya jam sembilan sudah paling terakhir.
"Emang Kita mau ke mana?" Saga mendongak, melihat wajah sang kakak yang tampak datar.
"Di sini dingin banget kak." Saga mengeratkan pelukannya. Sungguh dinginnya sampai menusuk tulang.
Anna menggosok tangan Saga, agar anak itu dapat merasa hangat. Lalu mengambil syal dari koper dan dilitkan pada leher sang adik.
Sejurus kemudian, mata Anna disilaukan dengan kendaraan roda empat yang secara perlahan berhenti tepat di depannya.
Anna masih belum tahu siapa pengemudi mobil mewah itu. Namun saat kepala menyembul dari dalam jendela mobil, Anna pun kaget.
"Anna!" panggil orang itu.
"K–kak Juna?"
***
Beberapa saat yang lalu, Juna datang menjemput. Pria itu sebenarnya sudah mencari Anna dan adiknya ke alamat rumahnya. Namun, pemilik rumah menjawab tidak tahu mengenai keberadaan Anna. Yang akhirnya, Juna memutuskan untuk mengelilingi kota Jakarta dan saat satu jam lebih, akhirnya ia bisa menemukan kedua orang itu tengah terduduk di halte bis.
Sebetulnya Juna juga tahu jika Anna diusir, semua ini bermula karena ibunya memecat Rita dari rumah. Bukan tanpa alasan, wanita itu mencuri perhiasan Nyonya Livia dan tertangkap basah. Dan tadinya, Reta akan dibawa ke kantor polisi, tetapi wanita itu terus memohon tidak akan melakukannya lagi. Kemudian Nyonya Livia bertanya ke mana uang yang ia titipkan untuk Anna, karena setelah ketahuan mencuri, Nyonya Livia tahu bahwa Rita adalah wanita yang serakah. Jadi ia takut bila uang itu tak sampai pada Anna.
Dan, benar saja, Rita mengaku bahwa uang itu dia habiskan sendiri.
Nyonya Livia mulai curiga dengan Rita yang tak memberlakukan Anna secara tidak adil, sebab ia tahu jika Rita hanyalah berstatus sebagai ibu tiri. Kemudian mana ada ibu yang tega menyuruh anaknya yang masih sekolah bekerja sebagai pelayan di rumah orang.
"Kenapa nomor lo gak aktif?" tanya Juna yang diam-diam melihat ke arah kaca kecil di atas.
"Hapeku mati kak."
"Pantesan." Juna melirih. Namun masih bisa terdengar jelas oleh Anna.
"Eh? Kakak tahu nomor aku?" Anna baru sadar, ia bahkan tak pernah bertukar nomor ponsel dengan Juna. Akan tetapi, kenapa Juna bisa menghubungi nomernya.
"Nyokap gue yang telepon lo. Dia minta gue cari lo," jawab Juna jujur. Nyonya Livia begitu khawatir dengan Anna sampai-sampai terus mengganggu Juna agar Juna mau membawa Anna padanya.
"Nyonya Livia?"
***
Juna membantu Anna membawa kopernya dari mobil. Katanya ia harus berlaku hangat, Juna sendiri sebenarnya tak tahu harus sehangat apa, sikapnya memang begini. Pria itu melihat Anna terus mengusap tubuhnya, mungkin karena kedinginan. Sedikit bajunya juga terlihat basah. Juna coba-coba melepaskan jaketnya, lalu memakainya pada gadis itu hingga Anna menjadi tertegun. Namun Juna seolah-olah tetap tak acuh dan berlalu bersama Saga.
"Anna, kamu tidak apa-apa kan?" Nyonya Livia langsung menghambur ketika Anna masuk.
"Gak apa-apa kok Nyonya," kata Anna. Ia menerima sambutan hangat dari Nyonya Livia. Wanita ini memang baik bahkan sangat peduli padanya. Anna juga tak menyangka jika dirinya diboyong ke rumah ini, padahal sudah tidak bekerja di sini lagi.
"Kamu ini. Jangan panggil saya Nyonya. Kamu kan sudah tidak lagi bekerja di sini," ujar wanita itu.
"Tapi, saya tidak enak." Anna menggaruk tengkuk sekenanya.
"Udah, panggil saya tante, yaa."
"Ini adik kamu ya?" tanya Nyonya Livia mengalihkan.
"Iya T–tante."
"Tampannya...." Nyonya Livia mengelus puncak kepala Saga hingga anak itu mengembangkan bibirnya.
"Kamu pasti kedinginan. Juna, ajak Anna ke kamarnya. Biar mama urus Saga yah."
"Baik, Ma."
***
Tadinya, ia ingin tidur berdua dengan Saga. Tetapi Nyonya Livia melarang, karena di sini banyak kamar kosong dan Saga akan di khususkan di kamar dengan ruangan yang tidak membosankan. Di kamar itu banyak mainan dan buku-buku dongeng. Kamar itu pernah menjadi kamar Juna waktu dia kecil dulu.
"Lo bisa pake kamar ini." Juna menaruh koper Anna di sudut ruangan.
Anna tak mendengar apa yang Juna katakan, karena saat ini Anna sedang sibuk dengan lamunanya. Dekorasi kamar ini mengingatkan Anna pada almarhum ibunya.
"Dari pada bengong gak jelas, lebih baik lo mandi." Juna berbicara sedikit agak keras hingga Anna tersadarkan dari bayang-bayang masalalunya.
"Iya kak. Makasih ."
***
Seorang pria tengah bersembunyi di dalam lemari. Cowok itu adalah Dewa. Ia kini sedang menghindar dari cewek yang dibawa oleh Tuan Amartha dari Amerika.
"Rese banget sih bokap! Ngapain pake datengin Gracia segala." Dewa mendegkus kesal. Cewek bernama Gracia itu tidak pernah berubah, selalu mengejarnya. Padahal sudah belasan tahun tidak bertemu. Dan Dewa pikir cewek itu sudah melupakannya. Namun, ternyata belum.
"Dewa ... yuhu! Kamu di mana?" Gracia menelusuri kamar Dewa.
"Dewa, pagi ini aku mau ikut kamu ke sekolah." Sesudah mengecek pada bilik kamar mandi, Gracia menengok ke bawah kasur. Namun masih tak ada juga.
"Ayolah, Dew. Keluar!" Pasrah Gracia yang kini terduduk di ranjang milik Dewa. Kemudian matanya memicing ke arah lemari besar yang pintunya tampak bergoyang.
Dalam hitungan detik, Gracia membuka lemari itu.
"Dewa!"
"Apaan si lo." Dewa hampir saja jantungan. Ia segera keluar dari lemari dan memasukan Gracia ke dalam. Kemudian Dewa segera berlari keluar, tak lupa ia segera mengunci pintu kamar agar Gracia tetap di sana. Agar Gracia tidak mengikutinya ke sekolah.
"Dewa buka! Kamu gak bisa kunci aku di sini!" Gracia menggedor pintu. Namun nihil, sepertinya Dewa sudah turun. Yang lebih gawatnya, kamar ini kedap suara dan tak mungkin ada orang yang mendengar teriakan Gracia.
"Matilah aku. Aku akan terkurung di sini sepanjang hari," rutuk Gracia. Gadis itu berlari ke arah jendela, ia melihat mobil Dewa melesat. Ya, Gracia sudah terlambat.