Sejatinya tidak ada yang mengajak Dewa untuk ikut makan malam bersama bawahan Tuan Amartha. Namun demikian agaknya Dewa mempunyai niat terselubung saat melihat siapa yang sedang duduk di meja makan.
Tuan Amartha terkejut sekaligus senang saat Dewa ikut makan dan menyapa semua orang yang datang.
"Tumben sekali anak ini." Tuan Amartha membatin.
Bahkan Dewa terlihat menerima Reta yang sedang mengambilkan lauk untuknya. Padahal biasanya selalu menolak. Entahlah apa tujuan Dewa sebenarnya.
Ada yang tiba-tiba tremor mendapati kehadiran Dewa di meja makan. Ada yang tiba-tiba kehilangan selera makan saat hadirnya Dewa.
Dewa terus memerhatikan anak itu. Memerhatikannya sambil memberi pelototan tajam sampai-sampai cowok itu terbatuk-batuk.
"Om, bokapnya Elkan?" tanya Dewa pada seorang pria yang diketahui adalah sekertaris sang ayah di kantor. Pria itu bernama Hans, baru delapan bulan menggantikan Nyonya Kely.
Beberapa bulan lalu, Dewa pergi ke kantor dan Hans menyambutnya dengan baik. Meskipun begitu, tetap saja ia tidak suka dengan pria itu karena merasa didikannya terhadap Elkan kurang baik. Elkan seringkali meniru penampilan Dewa. Bahkan Glen pernah mengira Elkan adalah Dewa saat anak itu berada di lapangan basket. Ya, saking kentaranya berpenampilan layaknya Dewa Tianframata.
"Iya, Tuan Muda. Benar sekali. Apa kalian berteman di sekolah?" Hans tahu jika Elkan satu sekolah dengan anak dari pemilik sekolah tersebut yang tak lain dan tak bukan adalah bosnya sendiri.
"Sudah pasti, Han," sahut Tuan Amartha.
"Gak tuh!" sela Dewa sedikit ketus.
"Pa, kayaknya Elkan mau ke toilet dulu," kata Elkan dan langsung permisi pergi ke kamar kecil.
Dewa menyunggingkan sudut bibirnya ketika Elkan melenggang di tengah makan malam. Sudah pasti anak itu merasa canggung atas keberadaan dirinya di sini. Ia tidak akan membiarkan Elkan makan dengan tenang ketika berada di rumahnya.
Sepulang Elkan dari toilet, Hans nampak memasang wajah kikuk. Semua ini karena tadi Dewa membicarakan keburukan Elkan di hadapan semua orang atau lebih tepatnya mengadu.
Dewa mengatakan jika Elkan seringkali memakai aksesori yang sama dari mulai sepatu bahkan pengikat kepala dan terkadang anak itu juga pernah membuat gaya rambut yang sama dengannya. Dewa memprotes dan meminta Hans untuk menasihati Elkan.
Tuan Amartha tidak menganggap hal ini serius. Ia malah bangga jika ada seseorang yang mengidolakan putranya. Terlebih lagi hanya karena fashion, menurutnya ini tidak perlu di permasalahkan.
Mendengar perdebatan anatara Tuan Amartha dan Dewa, Hans merasa semakin tidak enak. Setelah makan malam selesai ia dan Elkan segera pamit pulang. Tadinya ingin berlama-lama. Namun, setelah kejadian tadi, agaknya ia merasa akan semakin canggung.
"Selamat malam," ucap Hans sambil sedikit membungkukan badannya.
Setelah kepergian Hans dari area rumah, pelayan segera menutup pintunya. Sementara Dewa mulai menunjukkan sikap seenaknya pada semua pelayan agar membersihkan meja serta lantai. Intinya pria itu tak mau ada jejak Elkan di rumah ini.
"El, lain kali kamu jangan nyamain barang seperti punya Dewa, Papa gak enak sama Tuan Amartha," ujar Hans tiba-tiba setelah tadi diam saja.
Elkan menoleh dengan kedua alis saling bertautan.
"Maksudnya?"
Hans tampak mengembuskan napas berat.
"Tadi Dewa bilang, kamu sering niru dia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dewa merasa jijik dengan kamu. Kamu harus berhenti meniru penampilan dia."
"Dia mengatakan semuanya? El gak ada niatan buat niru dia. Apa yang El pake, adalah hal yang El sukai," jawab El membela diri.
Sang ayah manggut-manggut. Yang dikatakan El benar juga. Seharusnya Dewa tidak mempermasalahkannya, karena setiap orang punya gaya dan daya tarik masing-masing. Namun jika El sengaja melakukannya hanya demi popularitas, maka di sini El lah yang salah. Pasti siapa saja merasa tidak nyaman.
"Pasti gara-gara sepatu yang El pake bulan lalu."
Mendengar El bergumam lantas Hans menoleh sepintas.
"Tapi kan, El juga gak tahu kalau sepatu itu mirip punya Dewa. Lagian kata papa lemited edition dari paris?"
"Oh, apa gara-gara sepatu bermerek itu?"
"Sebenarnya sepatu itu Pemberian Tuan Amartha, dia membeli dua satu lagi buat Dewa dan satu lagi di kasih ke papa buat kamu," jawab Hans. Secara tidak langsung ia juga bersalah, tidak seharusnya memberikan sepatu itu pada Elkan. Atau tidak seharusnya menerima sepatu itu dari Tuan Amartha.
"Lain kali harus hati-hati. Kamu tahu sendiri kan sikap Dewa bagaimana. Satu lagi, jangan menaruh dendam sama sikapnya itu." Hans memperingati. Meski sebenarnya ia sedikit kesal dengan sikapnya tadi. Namun walau bagaiamanapun Dewa adalah anak dari bosnya yang patut ia hormati. Jika bukan karena Tuan Amartha Hans tidak akan di posisi saat ini sekarang.
"Tidak bisa Pa. Aku tidak tahan dengan sikap sombongnya itu." Elkan bersuara dalam hati.
Hans mengurangi kecepatannya. Mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan terlalu membahayakan.
"El, kamu dengar papa kan?"
"Iya, Pa. Baik."
***
Hari ini adalah hari paling mengesankan bagi Anna. Ia merasa saat ini, ia sedang berkencan dengan Prince. Bagaimana tidak, cowok itu memperlakukan Anna seperti seorang kekasih. Jantung Anna tidak bisa tenang karena perlakuan lembut dari cowok itu.
Anna dibuat terperangah saat melihat pelayan hingga manajer kafe mendunduk hormat saat kedatangan Prince
"Ini kafe punya Kak Prince?" tanya Anna spontan.
"Bukan, tapi punya papaku," jawab Prince.
"Pantesan."
Prince membuka kursi untuk Anna membuat Anna lagi-lagi tersipu.
"Mau pesan apa?" Prince mendekatkan kursinya dan membuka menu, memperkenalkan makanan yang menurutnya enak pada gadis itu.
Kala Anna dan Prince sedang memilih menu makanan. Tiba-tiba gadis dengan seragam putih abu-abu datang menghampiri.
"Loh, Kak Anna," kata orang itu.
Anna segera mendongak pada sumber suara.
"Nina?" Anna pun Kelihatan sama Kagetnya melihat keberadaan adik tirinya berada di kafe ini. Yang Anna tahu kafe ini adalah kafe termahal yang pernah ia injaki, karena dilihat dari harga yang tertera dari menunya. Akan tetapi Nina sepertinya sudah sering pergi ke sini. Anna melihat ke kursi ujung, ada beberapa siswa SMA Negeri juga yang sedang makan-makan dan sudah pasti mereka adalah teman-temannya Nina.
"Kakak lagi ngapain di sini?" Nina duduk tanpa permisi. Sesekali mencuri pandang ke arah Prince. Prince pun tampak kebingungan mendapati cewek aneh duduk begitu saja di mejanya.
"Ini... oh, hai, aku Nina, adiknya Kak Eliana." Nina beralih pada Prince. Ia langsung menggait tangannya untuk bersalaman, karena sejujurnya sedari tadi dari kejauhan Nina sudah tertarik pada cowok ini.
"Prince," jawab Prince singkat.
"Kak Anna kenapa gak pulang? Ibu nungguin Kak Anna tau. Dia khawatir banget sama kakak."
"Bukannya kalian udah ngusir aku sama Saga?"
"Oh, hari itu ibu lagi ada masalah. Jadi dia gak sengaja lampiasin amarahnya ke kakak, makanya tanpa sadar nyuruh kalian pergi. Tapi habis itu, kita langsung cari kakak lho, kalau gak percaya tanya aja sama Rangga."
"Aku mohon kakak kembali ke rumah ya." Nina menelungkupkan kedua tangannya sembari memasang wajah melas.
***