Ada dua jenis manusia. Manusia yang beruntung dan manusia yang kurang beruntung. Dewa adalah salah satu manusia yang diperkirakan orang adalah manusia paling beruntung. Sejak kecil sudah terlahir dari keluarga berada. Apa-apa yang diinginkan tak perlu di dapat dengan susah payah, akan langsung terlihat di depan mata. Orang-orang mencap pria itu memiliki kekuasaan atas orang lain. Kesalahan adalah kebenaran dan kebenaran adalah kesalahan jika menurut Dewa begitu. Dewa tumbuh menjadi pria arogan dan ingin menang sendiri. Itulah yang orang lihat.
Siapa yang perlu disalahkan? Orang tuanya atau Dewa sendiri? Sejatinya sudah hukum alam Dewa menjadi seperti itu. Sejak kecil dia kekurangan kasih sayang orang tuanya terutama dari sang ibu yang kini belum pernah diketemukan bahkan wajahnya saja Dewa tidak tahu. Satu lembar foto pun Dewa tidak memilikinya.
Meskipun di luar terlihat menyebalkan. Namun, percayalah. Saat malam tiba atau lebih tepat saat sepi mencekik, Dewa tidak bisa lagi menghibur diri. Tiba-tiba saja, dia menjadi sosok paling lemah. Dia sangat rindu sosok yang bahkan belum pernah bertatap wajah dengannya. Dewa rindu manusia yang bahkan tidak tahu mati atau jasadnya masih ada. Sayap-sayap harapan masih mengepak, menginginkan sebuah temu.
Apakah orang di luar sana akan tetap menilai Dewa adalah manusia paling beruntung?
Dewa merasa dirinya adalah manusia paling kurang beruntung, karena sampai detik ini masih belum bertemu ibunya bahkan dalam mimpi pun Tuhan masih kunjung mempertemukan.
Dua pria berbadan kekar menunggu di depan mini market saat Dewa masuk ke dalam. Berdiri dan menatap lurus ke depan, itulah yang sedang mereka lakukan.
Di sisi lain, Dewa tampak memborong camilan yang ada di rak. Tak lupa dengan minuman kaleng bersoda juga ia masukan. Hari ini ia akan menghabiskan hari liburnya di rumah Glen, karena Dewa tak suka sendirian ia tak suka kesunyian.
Saat Dewa berjalan untuk melihat-lihat, tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian bak pengemis menarik-narik sisi bajunya.
"Anda siapa?" tanya Dewa sembari menepis tangan orang itu. Dia kelihatan kotor dan tak terurus. Wajahnya dekil dan aroma tubuhnya sedikit tidak sedap. Mungkin orang itu jarang mandi atau tidak pernah mandi.
Dewa semakin bingung ketika wanita itu hanya menggerakan kedua tangannya seolah memberi bahasa isyarat.
Sambil mulai menangis, wanita itu kembali mendekati Dewa dan memeluknya. Namun segera Dewa dorong dengan kasar.
"Ini apaan si!" Sentak Dewa kesal.
Wanita itu kembali menggerakan tangannya.
Dewa tahu orang bisu ini agaknya tidak waras. Keputusan membiarkan kedua bodyguard-nya tetap di luar adalah kesalahan. Jika saja mereka ada, pasti dengan mudah Dewa bisa pergi dari sini.
"Lepasin!" Untuk yang kesekian kalinya Dewa membuat wanita asing itu tersungkur.
***
Keputusan Anna kembali, karena banyak kenangan di rumah ini. Ia dan Saga tumbuh di sini. Rasanya sulit jika harus benar-benar pergi.
Kamar Anna sudah di tata dengan rapi oleh ibu dan saudara-saudaranya. Hanya saja sudah tidak ada rak buku seperti dulu.
Anna mengembuskan napas panjang. Kemudian melemparkan dirinya ke kasur.
"Semuanya masih sama," lirih Anna. Netranya memandang langit-langit yang tampak usang jika masih belum di ganti mungkin saja tiga atau lima bulan kedepan, langit-langit itu akan runtuh menimpa dirinya.
Suara derap langkah yang terdengar mendekat membuat atensi Anna teralihkan. Sejurus kemudian seorang wanita bermata tajam membuka pintu.
"Makan dulu yu, ibu udah masakin buat kamu. Habis makan kamu boleh istirahat." Rita mengembangkan bibirnya.
Ya, Anna merasa heran dengan sikap ibu dan saudara-saudaranya saat ia kembali. Mereka tidak lagi seperti yang dulu. Yang selalu menjadikan Anna pelayan. Justru saat ini malah sebaliknya, merekalah yang melayani Anna.
Anna terbangun dan menganggukkan kepala. Tak menunggu lama, ia pun mengikuti langkah ibu tirinya menuju meja makan.
Di sana Saga tampak menikmati makannya. Bahkan Nina dan Rina tampak begitu akrab dengan Saga.
Anna merasa bahagia. Apakah mereka benar-benar telat menyadari kesalahannya? Apakah mereka benar-benar telah berubah?
***
"Kakak bawa eskrim ga?" tagih Dinda. Meski kakaknya selalu marah-marah, tetapi kadang permintaannya dituruti. Ya, itu hanya kadang-kadang tidak selalu.
Orang itu tampak menulikan pendengarannya. Berjalan begitu saja tanpa menggubris Dinda.
"Kak...." Dinda memanggil sambil merengek.
"Kak–"
"Sekali lagi lo ngeluarin suara, gue banting kursi roda lo!"
"Dasar cacat!" lanjut sang kakak membuat ulu hati Dinda terasa di tusuk pisau tumpul. Kemudian pria itu melanjutkan langkahnya. Namun terhenti kembali dan berkata,
"Sebentar lagi Liam mau ke sini dan lo jangan sampe keluar kamar! Kalau langgar, gue usir lo dari sini biar terlantar sekalian!" katanya dengan kasar. Di matanya hanya ada kebencian.
"Malah nangis! Denger ga?!"
"Iya–kak," sahut Dinda dengan isak tertahan. Rasanya begitu menyakitkan.
***
"Minggu depan kamu sudah mulai ujian, mami gak mau kamu masih terus kalah sama Juna. Pokoknya kamu harus bisa geser posisi dia!"
Anak laki-laki itu hanya bisa menghela napas. Entah sampai kapan hidupnya akan terus belajar dan belajar. Dia sudah mulai bosan dengan omelan ibunya yang tiap kali membandingkan dirinya dengan Juna.
"Sini ponselnya, mami tau kamu itu keseringan main ponsel daripada belajar!" Wanita itu merampas benda persegi dari anaknya.
"Nanti kalau kamu peringkat kedua lagi, mami akan tinggal kamu di sini sama si dinda. Biar mami aja yang berangkat ke luar negeri," ancamnya membuat wajah sang anak bertambah masam. Selang beberapa saat wanita itu keluar dari kamar putra sulungnya. Sebelum itu tampak memberi tatapan peringatan.
"Juna! Juna! Juna!" teriak anak itu seraya melempar bantal ke sembarang arah.
"Liat aja, gue pasti bisa singkirin lo!"
***
Laudia terus memerhatikan Anna yang sedang senyum-senyum seperti orang di pinggir jalan. Laudia penasaran dengan apa yang sedang Anna lamunkan sebenarnya.
"Lo dapat undian?" bisik Laudia tepat di telinga Anna, membuatnya sedikit tersentak.
"Undian apa?" Anna malah heran dengan pertanyaan Laudia.
"Itu lo senyum-senyum mulu."
"Ah, itu karena gue...." Anna malah cekikikan. Laudia bertambah bingung.
"Kenapa si lo?" Laudia jadi gemas sendiri melihat Anna misem-misem.
"Itu lho, La. Gue kemarin nge date–"
"Sama siapa?!"
"Heheh. Kak Prince." Anna kembali mengulas senyum manisnya.
Senyum di bibir Laudia seketika memudar.
"Na, sebaiknya jangan deket-deket sama Kak Prince deh," saran Laudia. Ia tahu betul seperti apa cowok bernama Prince itu. Bahkan menurutnya lebih berbahaya dari dari seorang Dewa Tianframata. Memang dari luar terlihat seperti pria yang lembut dan manis. Namun siapa sangka, Prince mempunyai sisi gelap yang tidak banyak orang tahu.
"Lho kenapa? Oh, atau jangan-jangan Lauida suka sama Kak Prince?"