"Sudah ada yang bayarin? Kalau boleh tahu siapa, Sus?"
Anna tergelak saat mengetahui administrasi perawatan ayahnya sudah ada yang membayar. Padahal Rita waktu itu mengatakan sudah lepas tanggung jawab dan tidak mau dibebankan lagi.
"Beliau tidak menyebutkan nama, Mbak." Wanita berpakaian serba putih itu menjawab.
"Apa seorang wanita?" tanya Anna lagi.
"Seorang pria, Mbak. Mungkin keluarga, Mbaknya."
Sekali lagi Anna dibuat kaget, bahkan selama ia tinggal di Jakarta tak pernah mengetahui jika sang ayah ada kerabat di sini.
Anna melenggang dengan banyak tanda tanya di kepalanya. Meskipun begitu, orang itu sudah sangat membantu Anna. Ia benar-benar penasaran siapakah orangnya?
Cuaca panas membuat tenggorokan Anna menjadi kering seolah meraung-raung meminta minum. Gadis itu mampir ke warung yang ada di pinggir jalan. Kemudian membeli satu botol air mineral. Anna kembali berjalan sembari mencari tempat duduk.
"Apa ayah punya saudara atau teman dekat di sini?" gumamnya setelah meneguk setengah dari airnya.
Gadis itu kembali memeriksa uang yang ada di tas berukuran sedang. Hadiah pemberian sekolah karena beberapa waktu lalu telah kembali membangkang nama sekolah. Uang yang tadinya mau Anna pakai untuk membayar biaya rumah sakit, kini terlihat menganggur.
"Jadi uangnya bisa aku pakai buat ngekos sama Saga." Anna memang berencana mencari tempat tinggal. Ia merasa tidak nyaman terus-menerus merepotkan Nyonya Livia dan terlebih lagi sikap Juna yang selalu dingin membuatnya bertambah tidak enak pada pria itu. Bisa saja Juna terganggu oleh kehadirannya.
***
Ini adalah hari terakhir Nyonya Livia berada di rumah. Ia dan Raja akan berangkat ke Amerika nanti malam sesuai jam penerbangan pesawat. Suaminya sudah menunggu di sana. Sementara Juna, akan tetap tinggal di Indonesia sampai masa sekolahnya selesai. Anak itu yang menolak untuk pindah. Entahlah, mungkin masih belum bisa melupakan kenangan tentang ayahnya di sini atau mungkin ada hal lain. Anak itu terlalu tertutup.
"Kamu jangan pindah dulu ya." Nyonya Livia berharap Anna mau mendengarkan alasan keinginannya.
"Sebenarnya Juna berubah sejak kamu datang ke sini."
"Berubah?" Anna mendongakkan kepala.
Nyonya Livia melihat ada sedikit perubahan dari Juna. Anak itu tidak lagi makan di kamar bahkan sesekali pergi ke dapur untuk mengambil minum padahal dulu paling enggan. Dan setelah Nyonya Livia cari tahu, semua itu karena kehadiran Anna. Pernah suatu ketika ia memergoki Juna sedang melihat Anna dari kejauhan dan yang lebih membuat ia terkejut, ia mendapati foto Anna ada di layar laptopnya.
Meski Juna tak mau bercerita. Namun, Nyonya Livia tahu bila ada sesuatu yang Juna sembunyikan. Atau yang lebih tepatnya anak itu sedang menyembunyikan perasaannya terhadap Anna.
Hari ke hari, Nyonya Livia bahkan sudah bisa melihat Juna tersenyum. Saat Anna sedang mengangkat galon, saat itu Juna menyembulkan senyumnya. Mampu terlihat dengan jelas oleh sang ibu.
Juna dan Raja itu bukan saudara kandung. Juna adalah anak tunggal begitupun dengan Raja. Sejak kematian ayahnya Juna, Nyonya Livia menikah lagi. Ia menikah dengan kakak iparnya dan mungkin itu yang membuat Juna beberapa waktu lalu marah pada Livia. "Kenapa harus omnya sendiri yang menjadi ayahnya?" Ditambah lagi, usia kematian ayahnya belum genap satu tahun hal itu membuat Juna tidak suka dengan ayah tirinya. Ya, Juna tidak habis pikir kenapa sang ibu harus menikah dengan omnya sendiri.
"Juna belum bisa melupakan ayahnya, bahkan dia sempat tidak merestui pernikahan tante dengan omnya. Sikapnya memang seperti itu dari dulu. Namun semenjak kepergian ayahnya, anak itu makin menjadi. Bahkan selalu bersikap dingin pada adiknya sendiri. Meskipun begitu, Juna punya hati yang hangat, kok, Na."
"Setelah sekolah Juna selesai, Tante akan jemput Juna buat ikut Tante ke Amerika. Saat ini saya minta tolong sama kamu buat jaga Juna," lanjut Nyonya Livia seraya mengangkat kedua tangan Anna.
***
Bersiul dan memainkan kunci mobil seraya meliuk-liuk di sekitar. Hatinya agak lega, karena tak mendapati kehadiran Gracia. Sekarang Dewa bisa dengan bebas pergi ke luar.
Saat berjalan menuju pintu, cowok itu berpapasan dengan ibu tirinya. Dewa memutar bola mata malas.
"Hai, Dew," sapa Reta ketika melihat anak tirinya hendak keluar.
"Gak usah so akrab!" balas Dewa ketus.
"Kamu mau ke luar, ya? Ibu sarankan pakai bodyguard–"
"Gak ada bokap, jadi jangan so baik!" bisik Dewa tepat di telinga wanita itu. Kemudian pergi dengan menyenggol bahunya secara sengaja.
"Sialan anak itu. Bagaimana dia bisa tetap bersikap seperti itu." Reta mengelus bahunya yang aga sakit. Sikap Dewa selalu mengesalkan.
"Namun tunggu saja, aku akan membalas sikapmu pada ibumu. Akan kubuat Lili semakin kacau. Ibumu akan mati perlahan!" Tajam Reta. Wanita itu melenggang ke kamarnya dengan perasaan kesal.
***
Anna tak dapat menyetujui permintaan Nyonya Livia untuk tetap tinggal di sini. Selain merasa tidak nyaman tinggal di rumah orang, Anna juga tak mau membuat Juna kerepotan. Meski nanti pergi, tetapi Anna akan tetap mengusahakan untuk mengecek kabar Juna dan melaporkannya pada Nyonya Livia.
Setelah satu jam keberangkatan Nyonya Livia dan Raja, Juna memilih mengurung diri di kamar. Padahal tadinya Anna hendak mengajak cowok itu berdiskusi tentang organisasi di sekolah. Anna tak ada pembahasan lain, entahlah hanya urusan sekolah yang bisa membuat Juna membuka suara.
Saat Anna menuruni anak tangga, hidungnya mengendus sesuatu.
"Bau gosong?" Cepat-cepat Anna pergi ke dapur.
"Kak Juna lagi apa?" Anna melihat Juna perlahan mundur, menghindari cipratan minyak.
"Ya ampun, sini ... sini biar aku aja yang masak." Anna mengambil alih spatula dari Juna dan segera membalik telur yang sudah jadi arang.
"Maaf ya kak, tadi aku belajar dulu. Harusnya aku yang masak dengan segera." Anna meracau di sela-sela aktivitasnya.
"Kak Juna, mau ditambahkan bubuk pedas?"
"Gak usah, gue gak suka pedas," jawab Juna sambil sesekali mencuri pandangan ke arah nasi goreng yang hampir jadi.
Sekian menit memasak nasi goreng, akhirnya jadi juga. Anna menghidangkannya di meja makan dan langsung dilahap oleh Juna.
"Gimana, enak kan kak?" Anna mengembang bibirnya melihat Juna sepertinya begitu menyukai nasi gorengnya.
Perlahan Juna mendongak lalu berkata,
"Lumayan." Juna kembali mengunyah.
***
Di sela-sela Anna sedang mencuci piring, tibalah Saga menarik ujung bajunya.
"Kak, Saga minta ajarin ngerjain PR dong," kata anak itu seperti ingin terburu-buru membawa kakaknya untuk ikut dengannya.
"Iya bentar ya. Kakak lagi cuci piring dulu. Kamu tunggu aja di kamar," jawab Anna tak lupa menyelipkan senyum manis dari gigi kelincinya.
"Iya deh. Saga masuk kamar dulu," kata Saga dengan wajah sendu. Anak itu melenggang kembali masuk ke dalam kamarnya.
Usai beres dengan dapur, Anna segera menuju kamar Saga. Saat hendak masuk, ia tersentak dengan keberadaan Juna di dalam.
Juna sedang mengajari Saga, bahkan Saga terlihat nyaman dengan cara Juna mengajarkannya.