Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

JAYDEN, JANGAN MEMBUATKU KELIRU

yestara
--
chs / week
--
NOT RATINGS
17.5k
Views
Synopsis
Terlahir dari latar belakang pilu yang berbeda, membuat hubungan kedua manusia ini selalu bertentangan dengan akal sehat. Kamila rusak karena menunggu lama pacarnya. Jayden semakin kacau, semenjak ditinggalkan pergi oleh sang putri pujaan hatinya. Kamila tukang dagang kopi. Jayden pemilik perusahaan gim. Kamila sukanya teriak-teriak sekencang Lamborghini. Sementara Jayden, malah bisa setenang air di luasnya samudra meskipun seisi bumi telah didominasi oleh para zombie. Kebanyakan, semua tidak selalu berjalan dengan apa yang sudah direncanakan. Karena Jayden, lebih berbahaya dari yang Kamila kira. Serta ampukah dia mengungkap siapa peneror yang mengganggu Coffee Paradise Falls selama ini?
VIEW MORE

Chapter 1 - Welcome to Paradise Falls

Aku melempar secara brutal, sebuah manual milk frother (alat pembuat foam atau buih susu) yang sudah rusak ke dalam tong sampah. Suara yang ditimbulkan sedetik setelahnya begitu nyaring, pada malam yang teramat tenang di protokol yang ada di pusat kota kali ini.

Kulangkahkan kaki yang terbungkus sepatu kets putih tanpa semangat, menyusuri area parkir yang beberapa jam sebelumnya disusupi keramaian, berkat gelaran pesta perayaan ke tiga bulan dibukanya kembali Kopi Paradise Falls.

Baru saja lenganku menggapai dinginnya gagang pintu, tubuh pegal ini terpaksa berbalik (lagi) sebab sebuah SUV hitam mendadak berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Woah! rasanya aku ingin mengceburkan diri saja ke kolam minuman berkarbonasi rasa lemon, agar tidak usah merasa tegang seperti sekarang.

Terlebih ketika pintu kendaraan itu bergeser, menampilkan sesosok pria berseragam rapi hingga—tampak seperti pembunuh bayaran di Film Taken. Terbayang pula dibalik kemeja putihnya itu tersemat rompi anti peluru. Arrggh! Aku terhanyut dalam pemikiran sendiri.

"Perkenalkan, saya Stefan dari kejaksaan setempat, bisa bertemu dengan mbak Kamila?" tanyanya memastikan, seraya mengecek lembaran kertas dari dalam map berwarna hijau. Membubarkan paksa stigma negatif yang mencuat.

"Dengan saya sendiri, silahkan duduk..." balasku setenang mungkin.

Mengarahkannya pada sepasang kursi santai didepan jendela. Tepat ketika keringat dingin mulai bermunculan diujung jemari. Tangan berjam Fossil itu telah terlipat dengan rapi diatas meja, dengan tumpukan berkas lain setebal lima senti yang membuatku takjub.

Dia terlihat menghirup oksigen panjang, sebelum berucap hal yang membuat darahku berdesir dua kali lebih cepat, "Ini mengenai Bagas Adi Rahagi." Dia menatap sekilas menunggu reaksi. Hatiku meremuk saat nama ayah terungkit begitu saja.

"Mengapa?" tuntutku dengan cepat.

"Kasusnya kami tutup, lantaran sudah melewati ambang batas penanganan." Ia mendorong beberapa foto di TKP lanjut berujar, "Kurangnya bukti konkret, serta tidak terlihatnya titik terang bahkan sejak kepolisian melimpahkannya ke kejaksaan delapan tahun lalu, menjadi faktor utama."

Tutupnya dengan mengeluarkan pena berujung runcing dari saku dalam, jas biru dongker licinnya. Dengan berat hati. Terpaksa.

Aku menandatangani surat persetujuan tersebut. Setelah ia memaparkan beberapa kemungkinan. "Ayahmu di tempat kejadian tersebut, sepertinya tidak hanya berdua dengan istrinya saja," Stefan berkata sangsi, sebelum menaiki mobilnya kemudian pergi.

Sampai ketika aku masuk kedalam kedai, merenung diatas sofa merah. Itu terus saja mengganggu. Mataku terarah secara kilat ke arah jam dinding yang tergantung diantara ambalan, jarum pendeknya mengarah pada angka delapan malam.

Lantas teralihkan berkat kehadiran gadis bersurai lurus di bawah pundak, umurnya berjarak sekitar dua setengah tahun di bawahku. Dialah Laura—Adik sekaligus teman seperjuanganku selama disini. "Minumlah!" katanya seraya menyodorkan sebuah cangkir besar melewati hidung, hingga mataku pun terasa juling di tengah.

"Beruntungnya memiliki peri perairan..." ucapku padanya bukan tanpa alasan. Laura acap kali mengingatkan, pentingnya menjaga metabolisme dengan cairan netral kaya manfaat ini. Karena tubuhku pernah terkapar menyedihkan, ketika jogging di Taman Ibukota terkena dehidrasi.

Ketika memegang cangkir ini, partikel dinginnya membentuk sebuah embun es di luar. Melebur perlahan, saat tangan hangatku menangkupnya dengan kedua lengan. Sedangkan Laura sendiri menikmati larutan Cola, aku bahkan mendengar kaleng tersebut meletupkan suara khas ketika dibuka tadi.

"Air minumnya habis lho diatas! tadi ramai sekali seperti di Dufan," celetuknya, diiringi resonansi kasar kerja mesin kopi. Aku kemudian mengurai senyum singkat. Berinisiatif, "Kita tutup lebih awal saja kali ini, Lau!" Dia terlihat begitu keletihan sekali.

Lagipula mengelola bisnis berdua tidak selalu sehalus butiran garam Himalaya maupun selegit sirup maple. Akan ada halang rintang untuk menguji sekuat apa kita berjuang. Serta sejauh mana kita bertahan. Aku hanya ingin kita selalu beriringan untuk waktu yang lama, sampai melewati garis finish dengan bahagia.

Adikku menyahut dengan tidak kalah antusias, "Baiklah! Aku akan segera closing lalu berg—" perkataannnya terputus. Aku yang hendak meminum air pun tertunda sontak menaruhnya kembali di atas meja. Jemari lentik Laura terulur guna mematikan deru mesin kopi.

Rautnya kembali mendatar tidak seceria beberapa saat lalu, gara-gara gemerincing lonceng yang tergantung di pintu. Tentu saja. CTRINNG! Pintu kaca tebal berbingkai metal tersebut, terbuka setengah bagian. Menayangkan secara lambat, seorang pria berpakaian kasual bomber jacket berwarna kuning, di kombinasikan bersama jeans biru langitnya.

Tunggu dulu, sepertinya dia diekori lelaki berperawakan misterius. Setelah memastikan dengan seksama tujuannya. Barulah Laura berkata, "Mohon maaf kita sudah tutup sebelumnya." Wah! Lelaki yang bersetelan serba hitam di belakangnya menoleh ke arah pintu tempat labelnya masih digantung bertulis 'OPEN'

Baiklah Lau, kita bahkan belum sempat memutarnya tadi. Si pria ramah menautkan alis, "Benarkah? Di sini tertulis kalau tempat ini tutup di jam sembilan malam," ungkapnya dengan menggulirkan lagi jemari pada layar sentuh berwarna monokrom tersebut.

Turut memutar lengan berisinya, guna memirsa jam tangan dengan bingung. "Apakah ini rusak?" Dia berdialog dengan aksesorisnya sendiri, lantas menatap Laura dengan dengan penuh tanda tanya. Adikku terlihat menggelengkan kepalanya pelan.

"Arloji milikmu bukannya rusak, kami memang tutup lebih awal kali ini," jawabnya dengan mimik biasa saja, atau mungkin terlewat bosan saking capeknya. Aku juga merasakan itu.

Si pria seketika terpekur, "Ouh! Sayang sekali," pun memutar badan ke samping tempat lelaki misterius itu berdiri. "Mau cari tempat lain saja?" tawarnya ringan seraya menepuk lengan atas temannya. Untuk beberapa saat tidak ada respon lain, dari lelaki ber-jeans hitam tersebut selain tarikan napas.

Kepalanya terangkat diiringi seulas seringai tipis. "Kita kan sudah jauh-jauh datang, disana kan jelas!" lelaki itu menunjuk arah jendela besar dengan dagunya lanjut berujar, "Tidak terpampang baliho menolak pelanggan kan?" imbuhnya dengan aksen angkuh bercampur puas.

Keras kepala sekali dia. Lelaki misterius itu meninggalkan rekannya, menuju kursi tinggi berkaki besi tanpa sandaran yang ada di pojok, dekat etalase kaca. Melihat Laura yang kehabisan kata-kata, akhirnya kuputuskan menghampiri bongkahan es batu dari kutub utara yang sedang duduk tersebut.

"Terima kasih sebelumnya telah berkunjung," Aku melihatnya membuang muka, tampak kulit cerah bersihnya tersebut dihiasi beberapa lebam keunguan.

"Kami menghargai usaha anda untuk sampai kesini, namun kita benar-benar tidak dalam kondisi baik untuk menerima pelanggan lagi sekarang," jelasku.

Lelaki itu malah membuang napas kasar. Hingga topi hitam, dengan dua ring kecil pada bagian depannya tersebut bergoyang searah. "Semua orang mengatasnamakan menghargai, demi memperhalus suatu penolakan!" cetusnya.

Aku bahkan hanya dapat melihat sebagian wajahnya. Apa-apaan ini? Aku hanya bisa menggerai rambut coklat samar sebahu-ku dengan jemari saat rasa pusing mulai menginvasi seisi otak. "Maaf jika anda merasa seperti itu," kataku jenuh.

Pria misterius ini senantiasa mengamati parkiran. Mengerjap kosong sesekali, pada pohon cemara yang mengitari area depan. "Kenapa semua orang mengusirku?" gumamnya datar.

Aku bahkan meragu, jika lelaki berjaket kulit hitam pekat ini bisa melihat dengan baik. Lagipula siapa yang memakai topi sampai serendah itu? Menutup mata hingga seperempat pipi pula. Kenapa tidak sekalian saja pakai kantung kresek hitam, biar disangka bakso urat gentayangan.