Bekerja akan selalu melelahkan bukan? Bahkan saat yang digeluti itu adalah 'passion' dan hobi sekalipun, pasti tubuh kita akan menemui titik jenuh. Aku mengucek mata, menegakan badan dengan malas lantas mematikan alarm ponsel.
Menapak ke atas lantai dengan kaki yang pulih, iya luka di lututku telah mengering sekarang. Sepuluh menit kemudian. "Lau... kamu lihat charger laptop tidak?"
Tanyaku padanya, sambil menggosok rambut yang basah di depan lemari pakaian. Adikku yang tengah menikmati sarapan di meja makan, sontak menghentikan kunyahannya sebelum menolehkan jawaban, "Bukannya selalu ada dilaci di samping vas bunga yah?"
Aku sangat lupa meskipun berfikir keras sampai dahi berkerut, "Entahlah, sepertinya aku lupa menaruhnya terakhir kali..." Refleks menggigit kuku saat kembali mengingat dimana yah? Ini merupakan hari ke tiga sejak kejadian itu.
Laura tentu marah besar, menyayangkan tragedi tersebut. Apalagi saat aku tiba sore hari dengan kondisi wajah lusuh dan penampilan berantakan, ia sempat berfikir—kalau aku habis terlibat demo massa, menolak kenaikan harga minyak goreng di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Tubuh semampai dalam setelan dress berwarna tosca itu, akhirnya pergi ke bawah setelah mencuci piring dan gelas bekas pakai. Aku pun mengikutinya, duduk dikursi kayu panjang di temani smoothies seledri dan timun yang berfungsi sebagai antioksidan.
Pukul sebelas siang lewat beberapa menit, ketukan pada pintu kaca berhasil mengait atensi kita berdua. Sedikit berspekulasi, mengapa ada orang yang datang, disaat di depan pintu jelas ada kata CLOSED. Ya, kedai terpaksa tutup karena hanya tersisa seperempat kilo kopi robusta saja.
Ketukan gelombang kedua terdengar diiringi suara bariton seorang pria, "Permisi..." Laura akhirnya berjalan dan memutar kunci dengan sedikit berhati-hati, "Maaf kami tut—" ujarannya terputus saat itu juga. Aku spomtan menghampiri Laura, yang sedang mematung seperti tugu Pancoran itu.
Tidak lama kemudian pria temannya Nathan menyembulkan kepalanya dari sana langsung berucap, "Maaf mengganggu, bisakah kita bicara?" Dia menatapku. Raut permohonan, yang dilontarkan Jeff atau siapalah namanya ini benar-benar menyedihkan. Aku pun akhirnya mengangguk samar.
Mengiyakan sambil mengarahkannya, guna duduk di salah satu kursi. Diam-diam menghembuskan napas panjang—kukira sebelumnya itu Jayden yang datang. "Lau bisakah kau buatkan kopi?" Adikku langsung bergegas menuju chillers dan memeriksa beberapa bahan yang tersedia di belakang sana.
"Jadi, apa yang mau kau katakan?" tanyaku, saat ia telah mendaratkan bokongnya di kursi.
Pria berkaus putih dengan luaran jaket parka berwarna hijau tua itu tampak tertegun sejenak. "Aku turut merasa bersalah akan kejadian yang timbul karena temanku sepekan lalu. Mohon maafkan kelancangan kita berdua," sesal pria itu kembali.
Menurut psikologi, beberapa orang dapat merasa bersalah meskipun kenyataannya ia tidak melakukan kesalahan apapun. Mengerikan. Jadi, aku menyulam senyum meyakinkan bahwa, "Bukan masalah besar kok, lagipula kita sudah berbaikan..." tuturku.
"Benarkah?!" Pria ini memastikan bahwa pendengarannya, tidak salah dengan satu kata itu. Laura terlihat membawa nampan yang berisi tiga cangkir latte dan menaruhnya. "Iya, dia menolong kakak," potongnya cepat, lalu menaruh piring berisi croissant coklat di tengah meja, duduk bersama.
"Menolong... menolong apa?" Laura masih berkutat dengan ponselnya, yang mendadak berdenting, sementara aku tanpa bisa menjelaskan kepadanya lebih dulu—memutar kepala ke arah pintu yang mendadak terbuka. Aku membentangkan gigi dengan girang padanya, "Hai... " sapaku pertama kalinya.
Untuk sekarang, tidak apa-apalah datang tanpa mengetuk pintu, maupun permisi lebih dulu. Toh, aku memang menunggunya beberapa hari belakangan ini. "Jayden, ada angin apa kau kesini?" tanya Jeff tidak mengerti.
"Ini barangmu," ujarnya sambil menaruh tas kain besar, berisi sepuluh kilo biji kopi yang kumaksud. Aku berterima kasih sekali.
"Hutangmu jadi banyak padaku!" keluh Jay lagi ketika berdiri tegak, sambil menepuk-nepuk telapak tangganya seolah menyingkirkan debu. Terlihat mata Jeff sibuk menyorot kesana kemari, ia yang berada ditengah-tengah posisi kami—mungkin saja, sedang puyeng setengah mati akibat percakapan singkat yang tidak berhasil di proses dengan benar tersebut. "Hei! Apa yang terjadi disini?" Dia makin penasaran.
Dengan singkat Jay langsung berucap kalau, "Aku pergi." Refleks membuatku seakan ingin menawarkannya. "Kau tidak ingin minum dulu?" Dia menggeleng dan bilang ada urusan, hingga berlari kecil untuk mencapai mobilnya yang di berhentikan di luar area parkir.
Jeff sontak menggerutu sebal, hingga wajahnya kusut sebab Jayden benar-benar tidak meresponnya sama sekali—meski itu hanya seujung kuku pun tidak. "WOY JAYDEN!!" dia berteriak keras sekali, sampai rahang dan urat-urat lehernya menampakkan diri.
Jeffrey hanya melambai dengan cepat, sebelum memasuki mobilnya sebagai respon. Dia terlihat buru-buru, sikapnya berubah drastis, tidak semenyenangkan sejak terakhir kali kita berinteraksi. Yah meskipun, tidak bisa dibilang menyenangkan juga sih secara garis besar tapi aku berani bilang kalau,
"Anak itu masih saja dingin," Jeff mencebik setibanya di ambang pintu. Kami kembali duduk didalam ruangan, menyesap latte yang mulai mendingin. Di meja ini pula dia memperkenalkan diri secara formal bahwa namanya adalah Jeffrey.
"Jadi, kau temannya Jayden?" Aku memulai obrolan karena ia terlihat kaku sekali. Jeffrey menarik napas panjang, hingga hembusan itu terlihat begitu berat.
Ada yang ganjil menurutku dari reaksi yang ditampilkannya barusan, sesudah mengganguk tepatnya, "Iya sejak lulus SMA," katanya seraya membuang pandangan pada cangkir miliknya yang baru tercicip sedikit lalu mengusap wajahnya sekilas.
"Oh begitu yah, berarti kau sangat dekat dengannya dong?"
Aku penasaran. Jeffrey meneguk salivanya sendiri, seakan membasahi tenggorokannya yang serak kemudian menjawab dengan lesu, "Dulu sih iya, akan tetapi beberapa bulan ke belakang—aku nyaris tidak mengenalnya lagi." Ia memutarkan jarinya pada bibir cangkir, seraya melipat bibir penuhnya ke dalam.
Obrolan ini semakin menarik untuk disingkap lebih jauh. "Ohh ya, kenapa?" tanyaku tidak kalah antusias. Meneguk cairan pahit, dengan sensasi manis di ujungnya ini, untuk bersiap mendengar fakta lain mengenai Jayden.
Meskipun Laura terlihat biasa saja, namun aku yakin. Dia sedang memasang telinga lebar-lebar, terlihat dari posisi duduknya yang mulai berubah. Aku yang menyadari pun hanya tersenyum simpul dengan tipis, tipis sekali hingga sulit terlihat.
Mata Jeffrey tertuju sejenak pada Adikku. Tatapan singkat yang sulit diartikan apa maksudnya. Kemudian pria di depanku membasahi bibirnya sekilas selagi bicara, "Sekarang dia menjadi setengah iblis dan setengah malaikat," jelasnya penuh penghayatan.
Entah mengingat susunan kalimatnya yang terlalu implisit atau justru ia memang merindukan Jayden yang dulu di kehidupannya, wajahnya langsung digelayuti kabut. "HAH?" Aku dan Laura terkesiap di tempat duduk masing-masing.
Jeffrey segera mengibaskan lengannya di udara, "Sudahlah tidak usah dipikirkan," jedanya, "Sekarang Aku ingin mendengar apa yang terjadi padamu dan Jayden?" tanyanya. Begitulah percakapan ini dimulai, kami menceritakan beragam hal, hingga langit pun men-jingga. Iya selama itu, dan tidak terasa.
Jeffrey terdengar terkekeh di sana, "Kurasa dalam hitungan jam saja, kita terasa lebih dekat."
"Kamu benar, aku tak menyangka bahwa 'kita' akan mengobrol senyaman ini," balas Laura.
Tentu saja, hanya mereka yang asik mengobrol seolah dunia ini hanya dihuni berdua, dan yang lainnya hanyalah dahan pohon begitu? Sementara aku berdiam di sudut menghadap jendela, kemudian diamuk habis-habisan oleh pak Johan dan bu Dinda—lewat sambungan telepon.
Padahal ini bukan kesalahanku, tapi orang tua memang suka begitu mengutarakan kekhawatiran. Aku paham. Jadi kudengarkan saja, sambil mengevaluasi sebagai pelajaran di kemudian hari. Aku tidak akan pergi ke pasar sendirian!
"Aku membaca daring mengenai sejarah tempat ini," Jeffrey menjedanya sebentar, "Kopi ini sepertinya sudah melegenda, lalu mengapa pekan lalu justru adalah perayaan ke tiga bulan-nya?" sambungnya memiringkan kepala, lalu menahan pipinya dengan sebelah tangan.
Laura tampak membenarkan posisi duduknya, "Pendiri tempat ini adalah Andara Sky, Nenek kak Mila. Dilanjutkan oleh ayahnya—Hadi Suroso. Namun belum genap empat tahun berjalan, kedai tutup sejak wafatnya Ibu dari kak Mila. Setelah kedai terbengkalai beberapa tahun, barulah setelah lulus S2 kakak memutuskan mengelolanya kembali."
Aku sekarang sedang diwawancarai Hendery, lewat nomor telepon yang berbeda. Setelah manggut-manggut seperti sudah menelan per di lehernya. Jeffrey bertanya, "Lalu dimana rumahmu?" Matanya mengikuti pergerakan adikku.
Laura menjangkau satu croissant di atas piring. "Aku tinggal di sini dengan kak Mila..." jawabnya seraya menjejalkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Jeffrey mengarahkan ibu jarinya pada tepian mulut Laura. "Ternyata kalian adik-kakak ternyata..." katanya, setelah membersihkan coklat tersebut, "Ada sisa makanan di sana." imbuhnya lagi ketika tangannya telah kembali keatas meja, Jeffrey biasa saja.
Langsung membuang arah pandangan ke sisi lain—menjelaskan, "Aku hanyalah adik angkatnya, dan baru tinggal serumah sejak dua tahun lalu..." Adikku mendadak termenung, sebelum menambahkan dengan suara serak, "Dia juga menggagalkan acara pengakhiran hidupku kala itu."
Aku tidak menyangka Laura kembali menyinggung hal tersebut, yang sedikit banyak adalah masa-masa kelam, yang menghampiri hidupnya. Aku tidak ingin, dia terlalu terbuka dengan orang yang baru di kenalnya; enam jam lalu tersebut.
Jeffrey merespon dengan wajah serius, "Kau benar melakukan percobaan bunuh diri?"